KREATIVITAS DALAM BERMAIN

Posted: April 20, 2011 in Uncategorized

HAKEKAT BERMAIN

Bermain menurut Mayesty adalah kegiatan yang anak-anak lakukan sepanjang hari karena bagi anak bermain adalah hidup dan hidup adalah permainan.[1] Anak usia dini tidak membedakan antara bermain, belajar dan bekerja. Anak-anak pada umumnya sangat menikmati permainan dan akan terus melakukannya dimanapun mereka memiliki kesempatan. Piaget dalam Mayesty mengatakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan menimbulkan kesenangan/kepuasan bagi diri seseorang; sedangkan Parten dalam Dockett dan Fleer memandang kegiatan bermain sebagai sarana sosiaisasi, diharapkan melalui bermain dapat memberi kesempatan anak bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, dan belajar secara menyenangkan.[2] Selain itu, kegiatan bermain dapat membantu anak mengenal tentang dirinya, dengan siapa dia hidup serta lingkungan tempat dimana dia hidup. Menurut Bettelheim kegiatan bermain adalah kegiatan yang “tidak mempunyai peraturan lain kecuali yang ditetapkan pemain sendiri dan tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas luar”.[3] Sedangkan menurut Dockett dan Fleer berpendapat bahwa bermain merupakan kebutuhan bagi anak, karena melalui bermain anak akan memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kemampuan dirinya. Bermain merupakan aktivitas yang khas dan sangat berbeda dengan aktivitas lain seperti belajar dan bekerja yang selalui dilakukan dalam rangka mencapai suatu hasil akhir.[4] Beberapa teori klasik dan modern tentang bermain yang dapat dibuat sebuah bagan sebagai berikut.[5]

Teori Klasik Penggagas Tujuan Bermain
Surplus energiRekreasiRekapitulasi

Praktis

Schiller/SpencerLazarusHall

Groos

Mengeluarkan energi   berlebihMemulihkan tenagaMemunculkan instink nenek moyang

Menyempurnakan instink

Teori Modern Peran Bermain dalam Perkembangan
PsikoanalisaKognitif-PiagetKognitif- Vygotsky

Kognitif-Bruner/

Sulton-Smith Singer

Mengatasi konflik traumatik, copingterhadap frustasiMempraktekkan dan melakukan konsolidasi konsep- onsep serta keterampilan yang telah dipelajari     sebelumnyaMemajukan berpikir abstrak; belajar dalam kaitan

ZPD; pengaturan diri

Memunculkan fleksibilitas perilaku dan berpikir, imajinasi dan narasi    mengatur kecepatan stimulasi dari dalam dan dari luar

Berdasarkan pengertian bermain diatas, dapat di uraikan bahwa semua aktivitas yang dilakukan oleh anak pada hakikatnya adalah bermain yang menjadi kebutuhan dasar bagi setiap anak, baik itu bertujuan ataupun tanpa tujuan, yang didalamnya mengandung berbagai unsur kesenangan dan kegembiraan. Dalam bermain juga banyak memberikan kesempatan anak untuk mengembangkan seluruh potensi dalam dirinya dan menggali kekuatan yang ada dalam diri anak.

Tujuan Bermain pada Anak Usia Dini

Pada dasarnya bermain memiliki tujuan utama yakni memelihara perkembangan atau pertumbuhan optimal anak usia dini melalui pendekatan bermain yang kreatif, interaktif dan terintegrasi dengan lingkungan bermain anak. Menurut Catron dan Allen penekanan dari bermain adalah perkembangan kreativitas dari anak-anak.[6] Semua anak usia dini memiliki potensi kreatif tetapi perkembangan kreativitas sangat individual antar anak yang satu dengan anak yang lain. Jadi dapat dikatakan bahwa dengan bermain anak dapat mengembangkan potensi kreatifnya, anak dapat berkreativitas dalam setiap kegiatan bermainnya. Adapun fungsi bermain pada anak menurut Wolfgang dan Wolfgang, diantaranya.[7]

1. Dapat memperkuat dan mengembangkan otot dan koordinasinya melalui gerak, melatih motorik halus, motorik kasar dan keseimbangan, karena ketika bermain fisik anak juga memahami bagaimana kerja tubuhnya.

2. Dapat mengembangkan keterampilan emosinya, rasa percaya pada orang lain, kemandirian dan keberanian untuk berinisiatif, karena saat bermain anak sering bermain pura-pura menjadi orang lain, binatang, atau karakter orang lain dan anak juga belajar untuk berempati.

3. Dapat mengembangkan kemampuan intelektualnya, karena melalui bermain anak sering melakukan eksplorasi terhadap segala sesuatu yang ada dilingkungan sekitar sebagai wujud dari rasa keingintahuannya.

4. Dapat mengembangkan kemandiriannya dan menjadi diri sendiri, karena melalui bermain anak selalu bertanya, meneliti lingkungan, belajar mengambil keputusan, berlatih peran sosial sehingga anak menyadari kemampuan dan kelebihannya.

Karakteristik Bermain pada Anak Usia Dini

Jeffree, McConkey dan Hewson berpendapat bahwa terdapat enam karakteristik kegiatan bermain pada anak, diantaranya.[8]

1. Bermain muncul dari dalam diri anak: Keinginan bermain harus muncul dari dalam diri anak, sehingga anak dapat menikmati dan bermain sesuai dengan caranya sendiri, dalam hal ini bermain dilakukan dengan sukarela tanpa paksaan.

2. Bermain harus bebas dari aturan yang mengikat, kegiatan untuk dinikmati: Bermain pada anak usia dini harus terbebas dari aturan yang mengikat, karena anak usia dini memiliki cara bermainnya sendiri. Untuk itulah bermain pada anak selalu menyenangkan, mengasyikkan, dan menggairahkan.

3. Bermain adalah aktivitas nyata atau sesungguhnya: Dalam bermain anak melakukan aktivitas nyata, bermain melibatkan partisipasi aktif baik secara fisik maupun mental.

4. Bermain harus difokuskan pada proses daripada hasil: Dalam bermain anak harus difokuskan pada proses, bukan hasil yang diciptakan oleh anak, disini anak mengenal dan mengetahui apa yang ia mainkan dan mendapatkan keterampilan baru, mengembangkan perkembangan anak dan anak memperoleh pengetahuan dari apa yang ia mainkan.

5. Bermain harus didominasi oleh pemain: Dalam bermain harus didominasi oleh pemain, yaitu anak itu sendiri tidak didominasi orang dewasa, karena jika bermain didominasi orang dewasa maka anak tidak akan mendapat makna apapun dari bermainnya.

6. Bermain harus melibatkan peran aktif dari pemain: Anak sebagi pemain harus terjun langsung dalam bermain, jika anak pasif dalam bermain anak tidak akan memperoleh pengalaman baru, karena bagi anak bermain adalah untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru

JENIS SERTA MACAM-MACAM KEGIATAN BERMAIN

Menurut Hurlock seperti yang dikutip oleh Mayke dalam buku Bermain, Mainan dan Permainan yang mengemukakan bahwa ada 2 penggolongan kegiatan bermain yaitu bermain aktif dan bermain pasif.[9] Secara umum bermain aktif banyak dilakukan pada masa kanak-kanak awal sedangkan kegiatan bermain pasif lebih mendominasi kegiatan pada akhir masa kanak-kanak yaitu sekitar usia praremaja karena adanya perubahan fisik, emosi, minat, dan sebagainya. Tapi tidak berarti bahwa kegiatan bermain aktif akan menghilang dan digantikan oleh kegiatan bermain pasif sebab kedua jenis kegiatan bermain ini akan selalu ada bersama, hanya saja penekanannya yang berbeda. Selanjutnya akan dibahas pengertian bermain aktif dan pasif, dilengkapi dengan macam-macam kegiatan untuk masing-masing kelompok serta manfaat yang dapat dipetik dari tiap kegiatan.

Pengertian Kegiatan Bermain Aktif

Kegiatan bermain aktif adalah kegiatan yang memberi kesenangan dan kepuasan pada anak melalui aktivitas yang mereka lakukan sendiri. Kegiatan bermain aktif juga dapat diartikan sebagai kegiatan yang melibatkan banyak aktivitas tubuh atau gerakan-gerakan tubuh. Seberapa sering anak melakukan kegiatan bermain jenis ini dan apa saja ragam permainan yang anak lakukan, sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain:

Kesehatan

Anak yang sehat akan lebih banyak melakukan kegiatan bermain aktif dan lebih memperoleh rasa puas dari apa yang mereka lakukan. Beda halnya pada anak-anak yang kurang sehat atau sering terkena penyakit, kegiatan bermain aktif akan cepat menimbulkan rasa lelah sehingga mereka kurang terdorong atau tidak dapat terlalu banyak melakukan jenis bermain aktif.

Penerimaan social dari kelompok teman bermain

Kegiatan bermain aktif pada umumnya melibatkan sjeumlah anak. Kalau anak merasa diterima oleh teman-teman sepermainan, ia akan lebih menyukai jenis kegiatan bermain aktif dan sebagian besar waktu bermainnya tentu akan terisi oleh jenis kegiatan ini.

Tingkat kecerdasan anak

Kecerdasan anak akan berpengaruh terhadap variasi kegiatan bermain aktif. Tingkat kecerdasan akan berpengaruh juga pada minat anak dalam bermain. Menurut Piaget perkembangan bermain berhubungan dengan perkembangan kecerdasan seseorang, maka taraf kecerdasan seorang anak akan mempengaruhi kegiatan bermainnya.[10] Artinya bila anak mempunyai taraf kecerdasan di bawah rata-rata, kegiatan bermain mengalami keterbelakangan dibandingkan anak lain yang seusia.

Jenis kelamin

Anak perempuan umumnya tidak begitu sering melakukan kegiatan bermain aktif yang sifatnya agak “kasar” dan kelaki-lakian bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Hal ini terjadi bukan karena anak perempuan kurang sehat atau kurang kuat. Masyarakat dalam hal ini orang tua kurang mendukung bila anak perempuannya melakukan permainan yang kasar sehingga tanpa disadari juga mempengaruhi minat bermain anak.

Alat permainan

Alat permainan yang tersedia untuk anak akan menentukanjenis bermainnya, apakah anak lebih sering melakukan kegiatan bermain aktif dan pasif. Bila fasilitas yang tersedia untuk bermain aktif tidak banyak, otomatis anak akan lbih condong melakukan kegiatan pasif.

Lingkungan tempat atau dibesarkan

Lingkungan bisa diartikan sebagai daerah pedesaan dan perkotaan. Di daerah pedesaan yang masih mempunyai lahan luas akan lebih memungkinkan anak melakukan kegiatan bermain aktif dalam suasana alam terbuka. Sedangkan anak yang hidup di lingkungan perkotaan akan mempunyai kegiatan bermain aktif yang berbeda mengingat lahan yang terbatas dan banyaknya fasilitas lain yang bisa dinikmati.

MACAM-MACAM KEGIATAN BERMAIN AKTIF

Berikut ini akan diuraikan beberapa macam kegiatan bermain aktif, antara lain:

Bermain bebas dan spontan

Ciri dari kegiatan bermain ini dilakukan di mana saja, dengan cara apa saja dan berdasarkan apa yang ingin dilakukan. Maksudnya tidak ada aturan permainan yang harus dipatuhi oleh anak. Selama ia suka ia bisa melakukannya. Umumnya anak akan melakukan kegiatan bermain bebas dan spontan bila menemukan adanya sesuatu yang baru dan berbeda dari apa yang biasa dilihat. Atau bisa saja anak asyik bermain bebas dengan mainan baru yang mengundang rasa ingin tahu anak. Apabila mainan tersebut menyenangkan dan menantang anak untuk tahu lebih banyak, maka makin banyak pula waktu yang digunakan untuk bermain bebas. Kegiatan bermain ini umumnya banyak dijumpai pada anak usia antara 3 bulan sampai sekitar 2 tahun.

Bermain konstruktif

Bermain konstruktif yaitu kegiatan yang menggunakan berbagai benda yang ada untuk menciptakan suatu hasil karya tertentu. Berbagai manfaat bisa diperoleh melalui kegiatan bermain konstruktif ini, antara lain mengembangkan kemampuan anak untuk berdaya cipta (kreatif), melatih keterampilan motorik halus, melatih konsentrasi, ketekunan, daya tahan. Yang termasuk dalam kegiatan bermain konstruktif adalah menggambar, mencipta bentuk tertentu dari lilin mainan, menggunting dan menempel kertas atau kain, merakit kepingan kayu atau plastik menjadi bentuk tertentu dan masih banyak lagi kegiatan lain yang bisa digolongkan pada bermain konstruktif.

Bermain khayal/bermain peran

Bermain khayal atau bermain peran termasuk salah satu jenis bermain aktif, diartikan sebagai pemberian atribut tertentu terhadap benda, situasi dan anak memerankan tokoh yang anak pilih. Apa yang dilakukan anak tampil dalam tingkah laku yang nyata dan dapat diamati dan biasanya melibatkan penggunaan bahasa. Kegiatan bermain khayal umumnya disukai dan sering dilakukan oleh anak usia sekitar 2 sampai 7 atau 8 tahun, dapat bersifat produktif atau kreatif dan bisa juga reproduktif (merupakan pengulangan dari situasi yang diamati anak sehari-hari). Dengan meningkatnya usia, kegiatan bermain khayal lebih bersifat produktif atau karena dari segi perkembangan kognisi, anak sudah lebih mampu mengkreasikan ide-ide yang original dan dengan adanya teman bermain, biasanya anak akan bermain khayal bersama temannya. Bermain khayal akan berkurang setelah anak memasuki usia sekolah karena kemampuan berpikir lebih realistis tapi kadang-kadang masih dilakukan terutama kalau teman-temannya juga berminat terhadap bermain khayal.

Mengumpulkan benda-benda (collecting)

Kegiatan mengumpulkan benda-benda juga termasuk jenis bermain aktif karena atas inisiatif anak. Anak mengumpulkan barang-barang yang menarik minatnya. Kegiatan ini mulai dijumpai pada anak usia prasekolah yaitu sekitar usia 3 tahun. Pada awalnya anak-anak senang mengumpulkan benda yang dijumpai, bukan karena harganya yang mahal atau bentuk yang bagus. Tetapi anak hanya senang melakukan kegiatan mengumpulkan saja. Anak prasekolah mengumpulkan benda-benda hanya secara acak, sedangkan anak usia sekoah mengumpulkan yang memang sedang popular di kalangan teman-teman  dan merasa puas kalau koleksinya melebihi teman-temannya. Ada pula segi negatifnya bila anak terlalu terpaku pada benda-benda yang dikumpulkan sehingga menimbulkan perasaan superior  atau begitu terhanyut dalam kegiatan bermain sendiri terlalu asyik dengan hasil koleksinya, lupa waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain.

Melakukan penjelajahan (eksplorasi)

Pada anak yang usianya lebih besar, eksplorasi dilakukan secara terencana dan ada pengaturannya karena biasanya melibatkan sekelompok teman. Sebaiknya ada orang yang mengarahkan dan membimbing anak. Kegiatan eksplorasi dijumpai pada aktivitas berkemah, pramuka, karya wisata ke tempat-tempat yang akan memberikan pengalaman-pengalaman baru bagi anak. Beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari kegiatan ini adalah menambah pengetahuan anak dan mendorong untuk mencari tahu hal-hal yang baru. Manfaat kedua adalah mendukung kepribadian yang positif misalnya saja inisiatif untuk bertindak, bersikap tenang menghadapi masalah yang tidak diharapkan, bersikap sportif, percaya diri. Manfaat ketiga adalah sebagai alat bantu bagi anak untuk bersosialisasi atau menyesuaikan diri dengan teman-teman. Anak berada jauh dari orang tua yang biasanya melindungi serta membimbingnya, anak perlu belajar menyesuaikan diri terhadap harapan-harapan teman.

Permainan (games) dan olah raga (sport)

Menurut Bettelheim yang dikutip oleh Mayke, permainan dan olah raga adalah kegiatan yang ditandai oleh aturan serta persyaratan-persyaratan yang disetujui bersama dan ditentukan dari luar untuk melakukan kegiatan dalam tindakan yang bertujuan. Olah raga selalu  berupa kontes fisik sedangkan permainan bisa berupa kontes fisik atau juga kontes mental. Umumnya untuk melakukan kegiatan olah raga, dituntut  keterampilan fisik ataupun aturan permainan yang lebih ketat. Istilah sport seringkali digunakan untuk kontes yang membutuhkan pengaturan kelompok seperti pada olah raga bola basket, sepak bola, bola voley dan lain-lain. Kontes yang dilakukan anak-anak umumnya  tergolong pada permainan (games).

Musik

Aktivitas music bisa digolongkan dalam bermain aktif bila anak melakukan kegiatan music misalnya bernyanyi, memainkan alat music tertentu atau melakukan gerakan-gerakan atau tarian yang diiringi music. Manfaat yang dapat diperoleh adalah untuk ekspresi diri, sosialisasi dan memupuk rasa percaya diri anak.

Pengertian Bermain Pasif

Bermain pasif dapat diartikan sebagai kegiatan yang tidak terlalu banyak melibatkan aktivitas fisik. Ada orang tua yang berpendapat bahwa bermain pasif terutama yang berbentuk hiburan, akan sia-sia saja dan kurang bermanfaat bagi anak. Pendapat ini sebenarnya kurang tepat, ada macam-macam manfaat yang bisa diperoleh, selain itu jenis bermain pasif merupakan pelengkap terhadap bermain aktif. Beberapa sumbangan yang diperoleh dari bermain pasif atau hiburan adalah:

-Sebagai sumber pengetahuan

-Melalui hiburan seperti nonton film, mendengar cerita, dapat menambah perbendaharaan kata dan lebih paham bagaimana menggunakannya dalam berkomunikasi dengan orang lain.

-Melakukan identifikasi dengan tokoh-tokoh cerita sehingga anak mempunyai pemahaman social yang dapat membantunya menyesuaikan diri terhadap kehidupan bermasyarakat.

-Untuk dapat menikmati macam-macam hiburan yang dilihat, anak perlu belajar memusatkan perhatian terhadap apa yang dilihat, anak juga perlu mengingat serta mengerti penyebab kejadian atau peristiwa dalam cerita atau film. Hal ini akan menunjang perkembangan intelektual anak.

-Beberapa jenis hiburan dapat menghasilkan ilham untuk berkreasi dan mendorong anak untuk memanfaatkannya dalam membuat hasil karya yang asli dan unik (original).

Beberapa tokoh dalam cerita atau berita mempunyai ciri kepribadian yang baik dan dapat dijadikan contoh oleh anak serta membantu perkembangan kepribadian yang sehat.

Tahapan Bermain

Jean Piaget

Menurut Jean Piaget ada  4 tahapan bermain anak yaitu:

Sensory Motor Play (+/- ¾ bulan-1,5 tahun)

Pada tahapan ini, kegiatan anak mulai lebih terkoordinasi dan ia mulai belajar dari pengalaman  bermainnya.

Symbolic atau Make Believe Play (+/- 2-7 tahun)

Merupakan ciri periode operasional yang ditandai dengan bermain khayal  (pura-pura). . Pada tahapan ini, anak sudah mulai dapat menggunakan berbagai benda sebagai simbol atau representasi benda lain.

Social Play Games with Rules (+/- 8-11 tahun)

Pada tahap ini anak menggunakan simbol yang banyak diwarnai nalar dan logika yang bersifat objektif dalam bermain. Kegiatan anak lebih banyak dikendalikan oleh aturan permainan.

Games with rules and Sports (11 tahun ke atas)

Aturan pada olahraga jauh lebih ketat dan kaku, namun pada tahap ini anak senang melakukan kegiatan ini berulang-ulang dan terpacu untuk mencapai prestasi sebaik-baiknya. Pada tahap ini, bukan hanya rasa senang saja yang menjadi tujuan tetapi ada suatu hasil akhir tertentu seperti ingin menang, memperoleh hasil kerja yang baik.

Hurlock

Menurut Hurlock ada 4 tahapan bermain pada anak, yaitu:

Tahap Penjelajahan (Exploratory stage)

Ciri khasnya adalah berupa kegiatan mengenai obyek atau  orang lain, mencoba menjangkau atau meraih benda dikelilingannya, lalu mengamatinya.

Tahap Mainan (Toy stage)

Mencapai puncak pada usia 5-6 tahun. Pada tahap ini anak-anak berpikir bahwa benda mainannya dapat berbicara, makan,merasa sakit dan sebagainya.

Tahap Bermain ( Play Stage)

Terjadi pada saat anak mulai masuk Sekolah Dasar. Anak bermain dengan alat permainan, yang lama kelamaan berkembang menjadi games, olahraga dan bentuk permainan lain yang juga dilakukan orang dewasa.

Tahap Melamun (Daydream Stage)

Diawali saat anak mendekati masa pubertas. Pada tahap ini anak banyak menghabiskan waktu untuk melamun atau berkhayal.

Rubin, Fein & Vandenberg (1983) dan Smilansky (1968)

Menurut Rubin, Fein & Vandenberg (1983) dan Smilansky (1968) ada 4 tahapan bermain pada anak, yaitu:

Bermain Fungsionil (Functional Play)

Tampak pada anak usia 1-2 tahun berupa gerakan yang bersifat sederhana dan berulang-ulang.

Bangun Membangun (Constructive Play)

Tampak pada anak usia 3-6 tahun. Anak membentuk sesuatu,menciptakan bengunan tertentu dengan alat permainan yang tersedia.

Bermain Pura-pura (Make-believe Play)

Banyak dilakukan anak berusia 3-7 tahun. Dalam bermain pura-pura anak menirukan kegiatan orang yang pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari.

Permainan dengan peraturan (Games with Rules)

Umumnya dapat dilakukan anak pada usia 6-11 tahun. Anak sudah memahami dan bersedia mematuhi aturan permainan.

Alat Permainan Edukatif Sesuai Dengan Perkembangan

Alat permainan edukatif adalah alat permainan yang dirancang secara khusus untuk kepentingan pendidikan. Alat Permainan Edukatif (APE) adalah sarana untuk merangsang anak dalam mempelajari sesuatu tanpa anak menyadarinya, baik menggunakan teknologi moderen, konvensional maupun tradisional. Latar belakang dibuatnya APE adalah sebagai upaya merangsang kemampuan fisik motorik anak (aspek psikomotor), kemampuan sosial emosional (aspek afektif) serta kemampuan kecerdasan (kognisi). Prinsip-prinsip APE merupakan prinsip produktifitas, kreatifitas, aktifitas, efektif dan efisien, serta menarik dan menyenangkan. Dari sudut pandang materinya, APE harus mampu mengembangkan daya pikir (kognisi), daya cepat, aspek bahasa, motorik dan ketrampilan. Melalui alat yang digunakan sebagai sarana bermain,sehingga anak diharapkan mampu mengembangkan fungsi intelegensinya, emosi dan spiritual sehingga muncul kecerdasan yang melejit. Pembuatan APE yang baik mampu mengembangkan totalitas kepribadian anak bukan karena kebagusannya, tetapi karena aspek kreatifitasnya, sehingga mampu menjadi sarana bermain yang aktif, menarik, menyenangkan dan bermanfaat.

Syarat Alat Permainan Edukatif  ( APE ):

Aman. Alat permainan anak di bawah usia dua tahun tak boleh terlalu kecil, catnya tak mengandung racun, tak ada bagian-bagian yang tajam, dan tak ada bagian-bagian yang mudah pecah. Pada umur ini anak mengenal benda di sekitarnya dengan memegang, mencengkeram, memasukkan ke mulut.

Ukuran dan berat mainan sesuai dengan usia anak. Bila ukurannya terlalu besar akan sukar dijangkau anak, sebaliknya kalau terlalu kecil akan berbahaya karena dapat dengan mudah tertelan oleh anak. Jika terlalu berat, anak akan sulit memindah-mindahkannya serta akan membahayakan mainan itu jatuh mengenai anak.

Disainnya jelas, punya ukuran-ukuran, susunan dan warna tertentu, serta jelas maksud dan tujuannya.

Berfungsi mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak, seperti motorik, bahasa, kecerdasan dan sosialisasi.

Dapat dimainkan dengan berbagai variasi tetapi tak terlalu sulit sehingga anak frustrasi, atau terlalu mudah sehingga anak cepat bosan.

Walaupun sederhana harus tetap menarik baik warna maupun bentuknya. Bila bersuara, suaranya harus jelas.

Mudah diterima oleh semua kebudayaan, bentuknya umum.

Tidak mudah rusak. Kalau ada bagian-bagian yang rusak, harus mudah diganti. Pemeliharaannya mudah, terbuat dari bahan yang mudah didapat, harganya terjangkau masyarakat luas.

Kategori alat permainan Edukatif:

Diperuntukkan bagi anak balita

Yakni mainan yang memang sengaja dibuat untuk merangsang berbagai kemampuan dasar pada balita.

Multifungsi

Dari satu mainan bisa didapat berbagai variasi mainan sehingga stimulasi yang didapat anak juga lebih beragam.

Melatih problem solving

Dalam memainkannya anak diminta untuk melakukan problem solving. Dalam permainan pasel misalnya, anak diminta untuk menyusun potongan-potongannya menjadi utuh.

Melatih konsep-konsep dasar

Lewat permainan ini, anak dilatih untuk mengembangkan kemampuan dasarnya seperti mengenal bentuk, warna, besaran, juga melatih motorik halus.

Melatih ketelitian dan ketekunan

Dengan mainan edukatif, anak tak hanya sekadar menikmati tetapi juga dituntut untuk teliti dan tekun ketika mengerjakannya.

Merangsang kreativitas

Permainan ini mengajak anak untuk selalu kreatif lewat berbagai variasi mainan yang dilakukan. Bila sejak kecil anak terbiasa untuk menghasilkan karya, lewat permainan rancang bangun misalnya, kelak dia akan lebih berinovasi untuk menciptakan suatu karya, tidak hanya mengekor saja.

Manfaat Alat Permainan Edukatif: (Mayke S. Tedjasaputra)

Melatih kemampuan motorik

Stimulasi untuk motorik halus diperoleh saat anak menjumput mainannya, meraba, memegang dengan kelima jarinya, dan sebagainya. Sedangkan rangsangan motorik kasar didapat anak saat menggerak-gerakkan mainannya, melempar, mengangkat, dan sebagainya.

Melatih konsentrasi

Mainan edukatif dirancang untuk menggali kemampuan anak, termasuk kemampuannya dalam berkonsentrasi. Saat menyusun pasel, katakanlah, anak dituntut untuk fokus pada gambar atau bentuk yang ada di depannya — ia tidak berlari-larian atau melakukan aktivitas fisik lain sehingga konsentrasinya bisa lebih tergali. Tanpa konsentrasi, bisa jadi hasilnya tidak memuaskan.

Mengenalkan konsep sebab akibat

Contohnya, dengan memasukkan benda kecil ke dalam benda yang besar anak akan memahami bahwa benda yang lebih kecil bisa dimuat dalam benda yang lebih besar. Sedangkan benda yang lebih besar tidak bisa masuk ke dalam benda yang lebih kecil. Ini adalah pemahaman konsep sebab akibat yang sangat mendasar.

Melatih bahasa dan wawasan

Permainan edukatif sangat baik bila dibarengi dengan penuturan cerita. Hal ini akan memberikan manfaat tambahan buat anak, yakni meningkatkan kemampuan berbahasa juga keluasan wawasannya.

Mengenalkan warna dan bentuk

Dari mainan edukatif, anak dapat mengenal ragam/variasi bentuk dan warna. Ada benda berbentuk kotak, segiempat, bulat dengan berbagai warna; biru, merah, hijau, dan lainnya.

Mengembangkan kreatifitas,

Alat permainan edukatif merangsang anak untuk selalu kreatif melakukan variasi dengan main.

DAFTAR PUSTAKA

Anggani Sudono, Sumber Belajar dan Alat Permainan untuk Pendidik Usia Dini. Jakarta: Grasindo, 2000

Elizabeth B. Hurlock, 1978. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga

Mayke S. Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mainan dan Permainan. Jakarta: Garasindo.

Yuliani Nurani Sujiono, 2009. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks

http://psychemate.blogspot.com/2007/12/tahapan- perkembangan bermain.html/ tgl searcing 2 april 2010


[2] Op.cit, p.144

[6] ibid, p. 145

[7] ibid, p. 145

[8] Ibid, p.155

[10] Ibid. p. 8

KONSEP KREATIVITAS

Posted: April 20, 2011 in Uncategorized

PENDAHULUAN

Pengertian Kreativitas

Utami Munandar

Kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada.  Dalam hal ini, Munandar mengartikan bahwa kreativitas sesungguhnya tidak perlu menciptakan hal-hal yang baru, tetapi merupakan gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada, dalam arti sudah ada atau sudah dikenal sebelumnya, adalah semua pengalaman yang telah diperoleh seorang selama hidupnya termasuk segala pengetahuan yang pernah diperolehnya. Oleh karena itu, semua pengalaman memungkinkan seseorang mencipta, yaitu dengan menggabung-gabungkan (mengkombinasikan) unsur-unsurnya menjadi sesuatu yang baru. Kreativitas (berpikir kreatif atau berpikir divergen) adalah kemampuan berkreasi berdasarkan data atau informasi yang tersedia dalam menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya adalah pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban.  Jawaban-jawaban yang diberikan harus sesuai dengan masalah yang dihadapi dengan memperhatikan kualitas dan mutu dari jawaban tersebut. Berpikir kreatif dalam menjawab segala masalah adalah dengan menunjukkan kelancaran berpikir (dapat memberikan banyak jawaban), menunjukkan keluwesan dalam berpikir (fleksibilitas), memberikan jawaban yang bervariasi, dan melihat suatu masalah dari berbagai sudut tinjauan. Secara operasional kreativitas dapat dirumuskan sebagai “kemampuan yang mencerminkan  kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), dan orisinalias dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan.

Mary Mayesky

Kreativitas adalah proses membawa sesuatu yang baru menjadi suatu hasil. Kreativitas adalah sebuah cara berpikir dan bertindak atau membuat sesuatu yang orisinal untuk diri sendiri dan bernilai bagi orang lain. Kreativitas berawal di dalam pemikiran seseorang dan biasanya merupakan hasil dari bentuk sebuah ekspresi yang dapat dilihat, didengar, dicium, dirasakan, atau dirasa.

Wikipedia

Kreativitas adalah sebuah proses mental meliputi penemuan ide baru atau konsep atau sebuah hubungan baru dari idea tau konsep yang sudah ada, dihasilkan berdasarkan proses dari pemikiran yang secara sadar ataupun tidak sadar

Clark Moustatis

Kreativitas adalah pengalaman mengekpresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam, dan dengan orang lain.

Conny R. Semiawan

Kreativitas merupakan kemampuan untuk memberi gagasan baru yang menerapkannya dalam pemecahan masalah.

Carl Rogers  (1982)

Kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang ,kecenderungan untuk mengekpresikan dan mengaktifkan semua kemampuan organisme. Proses kreatif sebagai “munculnya dalam tindakan suatu produk baru yang tumbuh dari keunikan individu di satu pihak dan dari kejadian,orang-orang, dan keadaan hidupnya dilain pihak.”

David Campbell

Kreativitas  adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya: 1) Baru (novel): inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh, mengejutkan. 2)Berguna (useful): lebih enak , lebih praktis, mempermudah, memperlancar, mendorong, mengembangkan, mendidik, memecahkan masalah, mengurangi hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil lebih baik/ banyak. 3)Dapat dimengerti (understandable): hasil yang sama dapat dimengerti dan dapat dibuat di lain waktu.

Britannica Concise Encyclopedia

Kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru melalui kemampuan imajinasi, sebuah solusi baru untuk sebuah masalah, sebuah metode baru atau alat, atau sebuah objek atau bentuk baru yang artistik.

Children’s Health Encyclopedia

Kreativitas adalah kemampuan untuk memikirkan dan menemukan desain baru, membuat karya seni, menyelesaikan masalah menggunakan penyelesaian baru, atau mengembangkan ide dasar yang orisinal, baru atau pendekatan secara tidak sadar. Kreativitas adalah kemampuan untuk melihat sesuatu di sebuah pemikiran baru, untuk melihat dan menyelesaikan masalah dengan cara yang berbeda, dan terlibat dalam pengalaman mental  dan fisik yang baru, unik, atau berbeda.

Hurlock 1978

Kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau suatu susunan yang baru

Alvian 1983

Kreativitas adalha suatu proses upaya manusia atua bangsa untuk membangun dirinya dalalm berbagai aspek kehidupannya. Tujuan pembengunan diri itu ialah untuk menikmati kualitas kehidupan yang semakin baik.

Selo Soemardjan 1983

Kreativitas merupakan sifat pribadi seorang individu (dan bukan merupakan sifat sosial yang dihayati oleh masyarakat) yang tercermin dari kemampuanya untuk menciptakansesuatu yang baru.

Solso (1998)

Kreativitas adalah aktivitas kognitif yang menghasilkan cara pandang baru terhadap suatu masalah atau situasi.

Drevdal  (1999)

Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru, dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya.

Parnes (1963)

Kreativitas adalah proses berfikir dan merespon yang melibatkan hubungan dengan pengalaman sebelumnya, respon terhadap rangsangan yang berupa objek, symbol, ide-ide, orang maupun situasi dan menghasilkan paling tidak satu kombinasi yang unik.

Berdasrakan pengertian di atas dapat disimpulakan bahwa Kreativitas adalah proses berpikir dan bertindak untuk menciptakan atau menyusun gagasan baru, baik yang benar-benar baru (belum ada sebelumnya) ataupun yang merupakan kombinasi dari unsur/elemen yang sudah ada sehingga menghasilkan sesuatu yang baru, dapat berupa ide pemikiran maupun produk, yang bersifat unik, orisinil, berbeda dari sebelumnya sehingga dapat dijadikan sebagai pemecahan masalah ataupun dirasakan, dilihat, dinikmati dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan/atau orang lain.

NEUROBIOLOGI DALAM  KREATIVITAS

Proses pemikiran  untuk menyelesaikan masalah secara efektif melibatkan otak kiri atau otak kanan.  Pemecahan masalah adalah kombinasi dari pemikiran logis dan kreatif. Secara umum, otak kiri memainkan peranan dalam pemrosesan logika, kata-kata, matematika, dan urutan yang disebut pembelajaran akademis. Otak kanan berurusan dengan irama, rima, musik, gambar, dan imajinasi yang disebut dengan aktivitas kreatif.

Bagan Proses Pemikiran Otak

        Otak Kiri       Otak Kanan
  • Vertikal
  • Kritis
  • Strategis
  • Analistis
  • Lateral
  • Hasil
  • kreatif

Keterangan:

  1. Berpikir Vertikal. Suatu proses bergerak selangkah demi selangkah menuju tujuan Anda, seolah-olah Anda sedang menaiki tangga.
  2. Berpikir Lateral. Melihat permasalahan Anda dari beberapa sudut baru, seolah-olah melompat dari satu tangga ke tangga lainnya.
  3. Berpikir Kritis. Berlatih atau memasukkan penilaian atau evaluasi yang cermat, seperti menilai kelayakan suatu gagasan atau produk.
  4. Berpikir Analitis. Suatu proses memecahkan masalah atau gagasan Anda menjadi bagian-bagian.  Menguji setiap bagian untuk melihat bagaimana bagian tersebut saling cocok satu sama lain, dan mengeksplorasi bagaimana bagian-bagian ini dapat dikombinasikan kembali dengan cara-cara baru.
  5. Berpikir Strategis. Mengembangkan strategi khusus untuk perencanaan dan arah operasi-operasi skala besar dengan melihat proyek itu dari semua sudut yang mungkin.
  6. Berpikir tentang Hasil. Meninjau tugas dari perspektif solusi yang dikehendaki.
  7. Berpikir Kreatif. Berpikir kreatif adalah pemecahan masalah dengan menggunakan kombinasi dari semua proses.

Pada usia dini anak masih dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai segi termasuk otaknya. Otak merupakan pusat dari intelegensi pada anak. Koestler telah mengemukakan suatu teori tentang istilah belahan otak kiri dan kanan yang tugas dan fungsi, ciri dan responnya berbeda terhadap pengalaman belajar, meskipun tidak dalam arti mutlak. Respon kedua belahan otak ini tidak sama, dan menuntut pada pengalaman belajarnya. Seorang anak secara genetis telah lahir dengan suatu organisme yang disebut intelegensi yang bersumber dari otaknya. Kalau struktur otak telah ditentukan secara biologis, berfungsinya otak tersebut sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya.Otak tersebut terdiri dari dua belahan otak (kiri dan kanan) yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Kedua belahan otak tersebut berfungsi tugas dan responnya berbeda dan seharusnya tumbuh dalam keseimbangan. Pada anak-anak usia dini, maka program yang dilakukan seharusnya adalah upaya memaksimalkan pengembangan otak kanan anak.  Hal ini disebabkan bahwa belahan otak kanan lebih banyak berfungsi untuk mengutamakan respon yang terkait dengan persepsi holistik, imajinatif, kreatif dan bisosiatif. Hal ini berbeda dengan otak kiri yang lebih bertugas untuk menangkap persepsi kognitif serta berpikir secara linier, logis, teratur dan lateral.  Biasanya fungsi otak kiri lebih pada bidang pengajaran yang verbalistis dengan menekankan pada segi hapalan dan persepsi kognitif saja. Untuk itulah guna mengefektifkan otak kanan anak sejak usia dini maka diperlukan “experiental learning” (belajar berdasarkan pengalaman langsung) untuk anak-anak usia dini guna lebih mengefektifkan fungsi divergennya (dimana anak-anak dibiasakan untuk selalu memberikan ide dan alternatif yang tidak homogen). Hal ini akan berdampak pada anak yang kreatif, suka berpikir beda dan penuh ide. Oleh karena itu, terdapat beberapa ciri yang bisa dilihat pada anak usia dini yang dipercaya sebagai tanda-tanda positif untuk anak yang kreatif.  Kemampuan motorik yang lebih awal seperti kemampuan untuk berjalan, memanjat, memakai baju dan sepatu ataupun menyuapi diri sendiri, anak mampu bicara dengan kalimat yang lengkap, kosa kata yang banyak, daya ingat yang baik dan menunjukkan keinginan yang kuat untuk belajar dan hasrat yang besar terhadap buku ataupun gambar-gambar dibandingkan dengan anak yang lainnya. Biasanya akan terlihat dari kecenderungannya untuk menyukai permainan yang merangsang daya khayalnya, adanya daya ingat yang baik, kemampuan coba-salah dan mempu menyenangi dirinya (bersibuk diri) dalam waktu yang cukup lama. Bagaimana kita dapat mengoptimalkan kemampuan otak kanan anak kita sejak usia dini. Ada beberapa motede yang dapat dipakai antara lain dengan bermain musik, bermain, menggambar, dan lain-lain. Akan tetapi terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa kreativitas memerlukan pengaktifan dan komunikasi bersama antara kedua belahan otak yang dalam kondisi normalnya tidak terhubung secara kuat. Orang-orang dengan tingkat kreatifitas tinggi yang unggul dalam inovasi kreatif cenderung berbeda dengan orang biasa pada tiga hal, yaitu:

a)    Mereka mempunyai level yang tinggi dari  pengetahuan khusus / tertentu

b)    Mereka mampu untuk berpikir divergen yang diperantarai oleh lobus frontal.

c)    Dan mereka dapat memodulasi neurotransmitters seperti norepinephrine di lobus frontal mereka.

Selain memerlukan keseimbangan antara otak kanan dan kiri, di dalam otak juga terdapat bagian lain yang berpengaruh dalam kreativitas. Adapaun terdapat beberapa ahli yang telah menelitinya, antara lain:

Alice Flaherty

Kreativitas merupakan hasil dari interaksi antara lobus frontal, lobus temporal, dan dopamine dari system limbic. Lobus frontal dapat dipandang sebagai pihak yang berperan dalam kemunculan ide, dan lobus temporal berperan dalam menyunting dan mengevaluasi ide tersebut. Abnormalitas di lobus frontal seperti depresi dan ketakutan pada umumnya mengurangi kreativitas, sebaliknya abnormalitas di lobus temporal sering kali meningkatkan kreativitas. Aktivitas yang tinggi di lobus temporal biasanya mengurangi kinerja/aktivitas di lobus frontal dan bagitu pula sebaliknya. Level yang tinggi dari dopamine meningkatkan perilaku kebangkitan umum dan arah tujuan dan mengurangi keputusasaan dan pengaruh ketiganya mengingkatkan kemunculan ide-ide.

Vandevert (Memory kerja dan Cerebellum)

Vandenvert menjelaskan  bagaimana lobus frontal dan fungsi kognitif dari cerebellum berkolaborasi untuk menghasilkan kreatifitas dan inovasi. Vandenvert menjelaskan dari bukti yang dapat diperhitungkan, bahwa semua proses dari memory kerja (yang bertanggung jawab untuk memproses semua pikiran) adalah dapat disesuaikan dengan model tertentu oleh cerebellum. Cerebellum, yang terdiri dari 100 milyar neuron, juga dikenal luas dalam peranannya penyesuaian dalam pergerakan tubuh. Proses memory kerja dari model penyesuaian Cerebellum, kemudian di umpan balik lobus prefrontal yang mengontrol proses memory kerja (yang kemudian pandangan kreatif atau  pengalaman “aha!” terpicu di lobus temporal). Menurut Vandervert, detail dari adaptasi kreatif dimulai di bagian depan cerebellar model, dimana merupakan control anticipatory/eksploratory dari pergerakan dan pikiran. Proses ini kemudian berkembang menjadi perenungan yang diperpanjang dari waktu ke waktu. Level baru dari bangunan control ini kemudian diumpankan kepada lobus frontal. Karena model adaptive cerebellum dalam semua pergerakan dan semua level dari pikiran dan emosi, pendekatan  Vandenvert  membantu menjelaskan kreativitas dan inovasi dalam olahraga, seni, music dan disain video games, teknologi, matematika dan keajaiban anak-anak dan pikiran secara umum.

DIMENSI KREATIVITAS

Dimensi kreativitas menurut Rhodes (1961) terbagi menjadi empat yang dikenal disebut sebagai “The Four P’s of Creativity”. Keempat dimensi tersebut adalah person, process, product, dan press. Keempat P ini saling berkaitan, yaitu Pribadi (Person) kreatif yang melibatkan diri dalam proses (Process) kreatif, dan dengan dorongan dan dukungan (Press) dari lingkungan, menghasilkan produk (Product) kreatif.

Kreativitas dalam dimensi Person

Kreativitas pada dimensi person adalah upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada individu atau person dari individu yang dapat disebut kreatif. Guilford menerangkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan atau kecakapan yang ada dalam diri seseorang, hal ini erat kaitannya dengan bakat. Dalam mendefinisikan pribadai kreatif anak usia dini, perlu diperhatikan 4 kriteria dasar menurut Guilford (1957) dan Jackson&Messick (1965) dalam Isenberg dan Jalongo, sebagai berikut:

  1. Orisinal (original), perilaku yang tidak biasa dan di luar dugaan (mengejutkan) daripada hal yang khas dan dapat diprediksi.
  2. Sesuai dan berkaitan (appropriate and relevant), perilaku kreatif memiliki kesesuaian dan berkaitan dengan tujuan dari seseorang ketika ia membuat sesuatu.
  3. Kelancaran (fuent) yang menghasilkan sesuatu yang baru dalam bentuk yang berarti, perilaku kreatif menunjukkan kelancaran yang berkaitan dengan kreativitas dan dapat disamakan dengan kelancaran dalam berbahasa, hal ini dimaksudkan bahwa seorang anak dapat menghasilkan sebuah ide dengan mudah setelah menghasilkan ide sebelumnya.
  4. Fleksibel (flexible) dalam mengembangkan dan menggunakan pendekatan yang tidak biasanya dalam memecahkan masalah.

Perilaku kreatif pada orang dewasa dan perilaku kreatif pada anak-anak adalah sesuatu yang berbeda. Kematangan kreativitas seseorang biasanya menekankan pada tiga hal yaitu, keahlian dalam kemampuan teknis dan artistik, kemampuan kreativitas seseorang, dan motivasi instrinsik. Seorang anak secara jelas memiliki pengalaman yang sedikit dibandingkan  dengan orang dewasa, oleh sebab itu mereka memiliki sedikit keahlian dan gaya bekerja mereka belum berkembang dengan baik. Berikut ini merupakan karakteristik dasar yang dimiliki oleh seorang anak yang dapat membentuknya menjadi pribadi yang kreatif:

  1. Unik merupakan ciri khas cara berpikir anak

Menurut Holden (1987), 3 hal keunggulan anak dalam berpikir untuk menjadi kreatif adalah:  (a) sensitivitas dalam stimulasi internal dan eksternal, (b) tidak memiliki “hinbition” (pencegahan dalam diri), (3) kemampuan “menyerap” yang baik di dalam sebuah aktivitas.

  1. Imajnasi dan fantasi

Imajinasi dan fantasi merupakan bekal awal yang dimiliki seseorang ketika masa kanak-kanak untuk menjadi pribadi yang kreatif. Imajinasi adalah kemampuan untuk membentuk berbagai bentuk dan mencerminkan berbagai variasi pikiran/mental atau konsep pemikiran berbagai hal tentang orang, tempat, sesuatu dan situasi yang tidak nyata. Oleh karena itu, menurut Weigner (1983) imajinasi adalah masalah yang harus diselesaikan seorang anak dengan orang dewasa “it is an” atau “as if” situasi. Selain itu, menurut Weigner, fantasi adalah sebuah bagian khusus dari imajinasi untuk mencerminkan pemikiran atau konsep yang memiliki sedikit kesamaan dengan dunia nyata. Fantasi mengeksplor keadaan dalam mempercayai hal yang mustahil atau sedikit nyata.

Sedangkan Gardner (1983) menjelaskan bagaimana seorang anak memiliki kebebesan dalam berpikir, dan dengan mudah dapat bergerak termasuk dalam berbagai gaya berpikir.

Adapun karakteristik perkembangan anak dalam kemampuan berkreasi menurut Mayesky (1990) adalah sebagai berikut:

 

Usia

 

 

Karakteritik Perkembangan

 

 

Indikator

 

0 – 2 tahun Kreativitas dalam berekspresi melalui  kegiatan sensori dan eksplorasi dalam keadaan natural -Bereaksi terhadap pengalaman sensory-Mengeksplor media melalui segala indera-Mampu menggambar pertama kali pada usia  12-20 bulan

-Mulai mengikuti pola perkembangan secara umum.

2 – 4 tahun Kreativitas dalam berekspresi melalui kegiatan manipulate dan berorientasi pada kegiatan menemukan (discovery) dan kemampuan perkembangan -Mengeksplor dan memanipulasi bahan-bahan Berpengalaman pada permainan eksplorasi dan kegiatan seni-Sering mengulang kegiatan

-Mulai memberi nama dan mengerti symbol.

-Menilai bahwa hasil tidaklah begitu penting

-Dapat merusak produk yang dihasilkan selama proses pembuatan

-Mampu melihat “bentuk” dalam selama kegiatan

4 – 6 tahun Kreativitas dalam berekspresi menjadi lebih kompleks dan representasional -Membuat berbagai simbol untuk menggambarkan berbagai perasaan dan ide-     Mampu merepresentasikan apa yang ia telah ketahui, bukan apa yang ia telah lihat-Mulai menciptakan kegiatan secara detail dan realistik secara bertahap.

-Menciptakan definisi dari bentuk dan ukuran

-Sering melakukan kegiatan tanpa terencana dan melakukan kegiatan dengan hati-hati

-Mulai jarang merusak kegiatan ataupun hasil produk selama proses berlangsung

Kreativitas dalam dimensi Proses

Kreativitas pada dimensi proses upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada proses berpikir sehingga memunculkan ide-ide unik atau kreatif.

“Creativity is a process that manifest in self in fluency, in flexibility as well in originality of thinking” (Munandar, 1977 dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001). Utami Munandar menerangkan bahwa kreativitas adalah sebuah proses atau kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibititas), dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci), suatu gagasan. Pada definisi ini lebih menekankan pada aspek proses perubahan (inovasi dan variasi). Selain pendapat yang diuraikan diatas ada pendapat lain yang menyebutkan proses terbentuknya kreativitas sebagai berikut :

Wallas (1976) dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001 mengemukakan empat tahap dalam proses kreatif yaitu:

1)    Tahap Persiapan; adalah tahap pengumpulan informasi atau data sebagai bahan untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini terjadi percobaan-percobaan atas dasar berbagai pemikiran kemungkinan pemecahan masalah yang dialami.

2)    Tahap Inkubasi; adalah tahap dieraminya proses pemecahan masalah dalam alam prasadar. Tahap ini berlangsung dalam waktu yang tidak menentu, bisa lama (berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun), dan bisa juga hanya sebentar (hanya beberapa jam, menit bahkan detik). Dalam tahap ini ada kemungkinan terjadi proses pelupaan terhadap konteksnya, dan akan teringat kembali pada akhir tahap pengeraman dan munculnya tahap berikutnya.

3)    Tahap Iluminasi; adalah tahap munculnya inspirasi atau gagasan-gagasan untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini muncul bentuk-bentuk cetusan spontan, seperti dilukiskan oleh Kohler dengan kata-kata now, I see itu yang kurang lebihnya berarti “oh ya”.

4)    Tahap Verifikasi; adalah tahap munculnya aktivitas evaluasi tarhadap gagasan secara kritis, yang sudah mulai dicocokkan dengan keadaan nyata atau kondisi realita.

Dari dua pendapat ahli diatas memandang kreativitas sebagai sebuah proses yang terjadi didalam otak manusia dalam menemukan dan mengembangkan sebuah gagasan baru yang lebih inovatif dan variatif (divergensi berpikir). Proses kegiatan kreatif bagi anak usia dini merupakan sebuah program yang memberikan kesempatan dan tempat untuk mereka mengekspresikan pikiran, ide, perasaan, aksi, dan kemampuan dalam berbagai penggunaan media dan aktivitas. Adapun menurut Mayesky (1990) prinsip yang perlu di perhatikan dalam melakukan proses kreativitas untuk anak usia dini adalah:

1)    Memperhatikan proses bukanlah hasil (product)

Tujuan utama kegiatan kreativitas bukanlah terlihat dari produk yang dihasilkan melainkan proses ketika berkreasi tersebut. Dalam proses kretivitas tersebut dapat terlihat menggambarkan pengalaman dan perasaan anak. Alasan lainnya mengapa proses krativitas lebih penting daripada produk yang dihasilkan adalah seorang anak belum memiliki kemampuan yang cukup baik dalam menggunakan material. Oleh karena itu, sebaiknya kegiatan kreativitas memberikan kesempatan kepada anak untuk berekspresi berdasarkan kemampuan anak untuk mengkonstruk sesuatu melalui cara mereka sendiri.

2)    Memperhatikan kebutuhan anak

Kegiatan kreativitas harus memperhatikan kebutuhan anak, disesuaikan dengan usia, kemampuan, dan minat.  Adapun hal-hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

– Menyiapkan area yang dapat memfasilitasi pengalaman kreatif anak

– Menyiapkan material-material sehingga anak mendapatkan pengalaman berkreasi setiap hari

– Menyiapkan kegiatan seni secara mingguan

Kreativitas dalam dimensi Press

Kreativitas menekankan pada faktor press atau dorongan, baik dorongan internal diri sendiri berupa keinginan dan hasrat untuk mencipta atau bersibuk diri secara kreatif, maupun dorongan eksternal dari lingkungan sosial dan psikologis. Definisi Simpson (1982) dalam S. C. U. Munandar 1999, merujuk pada aspek dorongan internal dengan rumusannya sebagai berikut : “The initiative that one manifests by his power to break away from the usual sequence of thought” Mengenai “press” dari lingkungan, ada lingkungan yang menghargai imajinasi dan fantasi, dan menekankan kreativitas serta inovasi. Kreativitas juga kurang berkembang dalam kebudayaan yang terlalu menekankan tradisi, dan kurang terbukanya terhadap perubahan atau perkembangan baru. Dalam mengembangkan kreativitas untuk anak usia dini, lingkungan juga merupakan faktor yang sangat menentukan. Jika lingkungan sekitar anak aman dan mampu menstimulasi maka lingkungan dapat meningkatkan kreativitas anak. Hal ini disebabkan anak secara natural selalu ingin mengetahui dan mencari tahu tentang lingkungan sekitar mereka. Oleh karena itu, lingkungan sekitar anak sebaiknya menjadi lingkungan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengeksplorasi dan mendapatkan pelajaran serta memberikan kesempatan untuk anak berkreasi. Maxim (1985) menjelaskan tentang lingkungan yang mampu menstimulasi tindakan kreatif anak adalah lingkungan yang memperhatikan beberapa aspek di bawah ini:

– Keterbatasan waktu sebaiknya dihapus dalam kegiatan yang mana anak terlibat secara lebih jauh.

– Kebebasan, hal ini membangun keadaan dimana anak terdorong untuk berkespresi.

– Anak mampu mengemukakan ide dan terstimulasi kemampuan berpikir lainnya.

– Menghilangkan kondisi yang membuat stress dan cemas dalam lingkungan. Lingkungan harus dikondisikan dengan suasana yang menyenangkan.

Selain itu, lingkungan yang mampu menstimulasi kegiatan kreativitas harus menyediakan berbagai material, sejak anak membutuhkannya dalam kegiatan manipulasi secara fisik sebagai kegiatan pembelajaran.

Definisi Kreativitas dalam dimensi Product

Definisi pada dimensi produk merupakan upaya mendefinisikan kreativitas yang berfokus pada produk atau apa yang dihasilkan oleh individu baik sesuatu yang baru/original atau sebuah elaborasi/penggabungan yang inovatif. “Creativity is the ability to bring something new into existence”(Baron, 1976 dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001) Definisi yang berfokus pada produk kreatif menekankan pada orisinalitas, seperti yang dikemukakan oleh Baron (1969) yang menyatakan bahwa kreatifitas adalah kemampuan untuk menghasilkan/menciptakan sesuatu yang baru. Begitu pula menurut Haefele (1962) dalam Munandar, 1999; yang menyatakan kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial. Dari dua definisi ini maka kreatifitas tidak hanya membuat sesuatu yang baru tetapi mungkin saja kombinasi dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya.

KARAKTERISTIK PRIBADI KREATIF

Menurut Davis (1999), terdapat 115 karakter atau ciri-ciri yang ditemukan pada orang yang kreatif. Namun  tidak setiap orang kreatif memiliki ke 15 karakter tersebut. Di sini ada beberapa contoh beberapa tokoh-tokoh yang kreatif namun para guru, professor atau pengawasnya TIDAK mengenali karakter mereka

– Thomas Edision dibilang bodoh untuk melakukan segala sesuatuoleh gurunya

– Albert einsten baru bisa berbicara umur 4 tahun dan membaca umur 7 tahun

– Walt Disney dipecat oleh editor Koran karena ia tidak memiliki “ide” yang bagus

– Charles Darwin berprestasi buruk ketika kecil dan gagal ketika kuliah kedokteran

Ke-15 karakter  yang akan dibahas lebih lanjut adalah:

Sadar bahwa ia kreatif

Sebagian besar orang-orang yang kratif menyadari akan kekreatifannya. Mereka memiliki kebiasaan melakukan hal yang kreatif dan meraka menyukai menjadi kretif. Davis (1999), mengatakan bahwa dalam meningkatkan kratifitas kita dan mengajarkannya kepada orang lain. Mengapa kesadaran kalau kreatif itu penting? Karena karakter ini dapat mendorong kepada karakter ini dapat mendorong kepada karakter-karakter yang lain. Ketika seseorang membangun kesadaran akam kreatif maka secara alam bawah sadar ia akan terbawa keperilaku dan bagaimana ia berfikir, ketika seseorang sadar bahwa ia kreatif, ia akan memilki rasa percaya diri yang tinggi. Ada beberapa strategi untuk membangun atau mengembangkan sifat ini

– Buat anak-anak murid melangkah melewati batasan

– Tanyakan pertanyaan yang memancng

– Minta mereka membuat sesuati dari barang bekas

– Katakana pada murid berulang kali bahwa mereka bisa lebih kreatif

– Guru selalu mengatakan diawal pelajaran “hai, apa kabarmu murid-muridku yang kreatif ?” mereka akan termotivasi untuk berfikir

Orisinil

Tradiff dan Stemberg (1988) mengatakan bahwa orisinalitas dan imajinasi yang baik biasa diasosiasikan dengan orang yang kreatif. Ada beberapa strategi untuk membangin atau mengembangkan sifat orisinal ini

– Guru memberikan dorongan kepada murid

– Guru memberikan ide-ide liar untuk mengembangkan atau memberikan ide-ide lain

– Dalam tugas, beri kesempatan bagi murid untuk mengeluarkan banyak ide

– Menyelenggarakan perlombaan yang meliputi motivasi originalitas

Independen

Orang yang kreatif berani berbeda dari yang lain, melakukan perubahan, menonjol, menentang tradisi, dan membelokkan beberapa peraturan (bukan dalam arti melakukan hal negatif).

Ada beberapa strategi untuk membangun atau mengembangkan sifat ini

– Guru mengeajarkan murd untuk melakukan pekerjaan mereka secara mandiri dengan tema yang berbeda

– Guru meluangkan waktu diluar jam pelajaran untuk mendengarkan masalah murid

– Guru menyemangati murid

– Membuat murid berfikir bahwa “saya bisa melakukan ini”

– Murid diperbolehkan mengatur, merencanakan acara-acara sekolah

Berani ambil resiko

Sifat ini berhubungan ketika berhadapan dengan segala sesuatu yang belum jelas, baik itu situasi, masalah, jawaban dan lain-lain. Hal yang belum jelas itu memiliki resiko. Orang kreatif akan berani mengambil resiko dengan tetap menghadapi masalah. Ada beberapa strategi untuk membangun atau mengembangkan sifat ini.

– Guru membebaskan murid untuk mengemukakan ide-ide mereka

– guru memberikan tanggapan yang positif kepada anak yang berani ambil resiko dan puji mereka

– berikan kesempatan kepada murid untuk mengambil resiko yang tidak akan mempengaruhi nilai mereka, sehingga bisa merasa nyaman untuk mengambil resiko tersebut.

Penuh energi

Orang yang kreatif memilikii tipikal sebagai orang yang penuh energy. Biasanya ia pantang menyerah, berkomitmen penuh akan sesuatu dan memiliki loyalitas. Thomas Edison melakukan ratusan kali percobaan yang gagal hingga akhirnya menemukan bola lampu. Jika ia tidak memiliki energy yang melimpah mungkin ia akan menyerah. Ada beberapa strategi untuk membangun dan mengembangkan sifat ini:

– guru mengetahui kegairahan bekerja yang dimiliki murid. Kenali bahasa penyelesaiannya dan motivasinya

– selalu menyemangati murid untuk melakukan yang terbaik

– menjadi teladan untuk murid penuh dengan energi ketika mengajar

Rasa ingin tahu

Orang yang kreatif memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan kuat. Ia mempertanyakan segala sesuatu dan mempertahankan rasa ingin tahu mereka.

Ada beberapa strategi untuk membangun atau mengembangkan sifat ini :

– Guru memberikan objek nyata pada murid dan membiarkan murid-murid untuk bertanya

– Guru memberikan kertas kosong dan tanyakan apa yang ingin dipelajari pada saat itu

– Berikan pertanyaan terbuka (dengan kalimat,”bagaimana jika?”, apabila, kalaw?’ dll)

Punya rasa humor

Sifat lain yang biasanya ditemukan pada orang kreatif adalah selera humor yang tinggi. Dalam mengahadapi masalah, rasa humor dapat menghadirkan suasana yang relaks. Ada beberapa strategi untuk membangun atau mengembangkan sifat ini:

– Minta anak untuk berfikir: jika kamu adalah (professor Einsten, SBY, tutup kloset, dsb) apa yang akan kamu pikirkan/lakukan?..

– Berikan banyak permainan

– Menyeling pelajaran atau ketika mengajar dengan lelucon/cerita lucu

– Mengadakan hari kostum lucu

Memiliki kapasitas untuk berfantasi

Kemampuan berimajinasi dan berfantasi adalah sifat yang sering ditemukan pada orang yang kreatif. Imajinasi diperlukan untuk menjembatanai dari sesuatu yang sudah diketahui kesesuatu yang belum diketahui.

Tertarik pada hal yang rumit, kompleks dan belum jelas

Orang yang kreatif biasanya akan tertarik pada hal-hal yang rumit, kompleksitas, ketidak jelasan, fantasi dan kemisteriusan. Sifat ini merupakan hal yang penting karena seseorang akan menemukan tantangan-tantangan yang baru. Kerumitan, ketidakjelasan dan kekompleksan itulah yang membuat kreatifitasnya terasah. Ada beberapa strategi untuk membangun atau mengembangkan sifat ini:

– Murid membuat cerita yang sangat imajinatif yang dibuat oleh murid sendiri

– Murid bermain dengan pikiran yang imajinatif, seperti : bagaimana jika…? Menantang situasi yang ada.

– Membacakan dongeng

– Minta murid-murid untuk membuat sesuatu yang seperti mainan yang belum pernah ada sebelumnya.

Artistik

Orang kreatif biasanya menganggap dirinya artistic walaupun dirinya tidak bisa menggambar. Mengembangkan jiwa artistik akan penting untuk membantu kita melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Jiwa artistik akan membantu kita untuk memberikan nilai lebih pada ide atau karya kita.

Berfikir terbuka

Berfikiran terbuka merupakan tingkah laku kreatif yang utaman juga. Ini merupakan keinginan untuk menerima ide-ide baru dan melihat sebuah masalah dari sudut pandang yang berbeda. Ada beberapa strategi untuk membangun atau mengembangkan sifat ini:

– Permainan pern “jika aku menjadi “…….

– Memperbanyak diskusi debat

– Membaca banyak buku untuk menambah wawasan

Cermat dan teliti

Sifat ini secara teori akan membuat orang terorganisir, disiplin dan komitmen penuh pada apa yang akan dikerjakan.

Butuh waktu menyenderi

Beberapa orang yang kreatif memilih untuk bekerja sendiri disbanding bekerja di kelompok. Dengan sendiri ia bisa melibatkan kemandirian kreatifnya.

Mudah mengerti

Orang kreatif biasanya mudah mengerti akan suatu masalah. Ia dapat melihat hubungan-hubungan dari data atau informasi yang didapatnya.

Emotional

Ada beberapa orang yang dianugerahi dengan kemampuan berimajinasi dan berfantasi yang hebat, meramal, berpuisi dan lain. Orang –orang ini memiliki emosi yang sangat mendalam dan memiliki kepedulian yang tinggi mengenai mana yang benar dan salah.

DAFTAR PUSTAKA

Isenberg, Joan.P & Marry Renck Jalongo. Creative Expression And Play In The Early Chilhood Curriculum. 1993. Toronto: Maxwell Macmillan Canada.

Mayesky, Mary. Creative Activities for Young Children. 1990. USA: Delmat Publisher Inc.

Munandar, S.C. Utami. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah (Petunjuk Bagi Guru dan Orangtua). 1992. Jakarta: Gramedia.

Oka, Aloysius dan Della Alamsyah. Buku Ajar Mata Kuliah Kreativitas (Pribadi yang Kreatif). Jakarta:Kredo

Suryani, Lilis. Buku Ajar Mata Kuliah Kreativitas. 2007. Jakarta: UNJ

www.wikipedia.org/wiki/Creativity

www.creativityatwork.com/articlesContent/meaning

PENDAHULUAN

Dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai aspek penting dari perkembangan anak pada umur 0 – 36 bulan dan umur 3 – 6 tahun untuk memahami dirinya (self understanding) dan mengenal identitasnya. Self understanding adalah  representasi kognitif anak mengenai dirinya dan mengandung substansi dan isi dari pemahaman (konsepsi) diri anak. Pemahamannya didasari dari berbagai peran dan sejumlah definisi yang dapat menjadi petunjuk rasional.[1]   

Anak usia 0-36 bulan

Ada 3 subjek psikologi yang dihadapi oleh anak batita dan pengasuhnya yaitu munculnya kesadaran tentang diri, perkembangan kemandirian dan perkembangan kempuan bersosialisasi.

Munculnya KesadaranTentang Diri

Anak antara usia 15 – 18 bulan:

1. Sudah mulai mengetahui konsep kesadaran diri

2. Belum bisa mengekspresikan secara verbal

3. Tidak bisa memahami instruksi yang kompleks

4. Pemahaman diri secara visual “ self recognition visual

Penelitian: peneliti menaruh setitik pewarna makeup di hidung bayi dan melihat apakah bayi memegang hidung mereka atau tidak. (Amsterdam, 1968; Lewis & Books-Gunn, 1979). Rata-rata anak mengenali dirinya pada usia 18 bulan (Lewis & others, 1989).

– Usia 20 – 24 bulan anak sudah mulai menggunakan kata ganti pertama seperti “aku” mau.

– Di usia 19-30 bulan anak mulai mendeskripsikan besar, kecil, bagus, cantik, kuat tentang diri mereka sendiri

Perkembangan Autonomy atau Kemandirian

Menurut Erikson (1950), usia 18 bulan sampai 3 tahun adalah tahap kedua dari perkembangan kepribadian: autonomy vs shame and doubt. Anak-anak usia ini mulai mandiri dan bisa mengontrol diri mereka sendiri, contoh: toilet training dan mengungkapkan keinginan lewat kata-kata. Pengasuhan melalui dorongan untuk melakukan apa yang diinginkan anak, dan sesuai dengan waktu dan caranya sendiri dengan bimbingan orang tua atau guru yang bijaksana, maka anak akan mengembangkan kesadaran autonomy. Sebaliknya apabila guru tidak sabar, banyak melarang anak, menimbulkan sikap ragu-ragu pada anak dan membuat anak merasa malu.

Perkembangan Moral: Socialization dan Internalization

Socialization adalah perkembangan dari kebiasaan, kemampuan, nilai dan motif yang membuat mereka bertanggungjawab, bisa bersosialisasi. Internalization adalah anak-anak yang sukses bersosialisasi tidak lagi harus mengikuti perintah untuk mendapatkan penghargaan, tapi mereka membuat society’s standard untuk mereka sendiri.

Mengembangkan Self regulation

Ini adalah kontrol terhadap diri sendiri untuk mengikuti perintah dari pengasuh walaupun pengasuh tidak berada di tempat. Pertumbuhan self regulation berhubungan dengan perkembangan kesadaran diri dan evaluative emotions, seperti empati, malu dan rasa bersalah. Biasanya perkembangan ini sempurna pada usia 3 tahun.

Origins of conscience: committed compliance

Conscience adalah ketidaknyamanan emosional tentang melakukan hal yang salah dan kemampuan untuk menghindarinya. Anak-anak dikatakan dapat memperlihatkan committed compliance bila mereka secara sukarela mengikuti perintah tanpa reminders.

Faktor-faktor sukses bersosialisasi:

1.Security of attachment, tanggap akan kebutuhan anak.

2.Belajar lewat observasi dari tingkah laku orang tua

3.Respon timbal balik antara orang tua dan anak

Anak Usia 3-6 tahun

Self Concept dan Perkembangan Kognitif

Representasi kognitif anak mengenai diri merupakan substansi dan isi dari konsepsi/gambaran diri anak yang pemahamannya didasari dari berbagai peran anak dan orang-orang yang mendefinisikan siapa anak tersebut sehingga dapat menjadi petunjuk rasional. Contoh : Anak perempuan 13 tahun, paham bahwa dia adalah anak perempuan, duduk di bangku SMP, aktif di OSIS, dan punya hobi kesenian.

Perubahan pemahaman diri

Ada 3 perubahan dalam definisi tentang diri anak usia 4 – 7 tahun, yaitu:

Single representations: terisolasi, memandang dari satu dimensi dan pikirannya masih melompat-lompat dari satu topik ke topik lain. 5 karakteristik[3] utama yang menjadi perhatian, antara lain :

1. Kebingungan dalam mengenal diri, pikiran dan tubuh – contoh : saya berbeda dari dia karena saya lebih tinggi

2. Dekripsi konkret – contoh : aku tinggal di rumah besar

3. Deskripsi fisik – contoh : aku berbeda dari dia karen aku lebih tinggi dari dia

4. Desktripsi aktif lebih sering kepada yang tidak realistis walaupun positip — contoh : aku bisa berhitung padahal belum bisa, hal ini karena anak belum bisa membedakan kompetensi aktual dan yang diinginkan; belum bisa membedakan antara ideal dan realitas diri; jarang terlibat dalam perbandingan sosial – bagaimana anak dibandingkan dengan orang lain.

5.Belum mampu mengenal lawan dari suatu atribut – contoh : baik dan buruk, bahaya dan tidak bahaya.

Representational mappings:menghubungkan satu aspek dirinya ke aspek yang lain. Pemahaman diri tidak sebatas cara visual tetapi sudah mengenali dirinya dari tubuhnya, dipahami secara fisik seperti ukuran, bentuk, dan warna. Contoh anak 4 tahun bilang “saya berbeda dari dia karena saya mempunyai rambut warna coklat dan dia warna blonde” atau “saya berbeda dari dia karena saya lebih tinggi dari dia”

Representational systems: tahap dimana anak mulai menggabungkan sifat yang spesifik tentang dirinya ke konsep umum dan multidimensi, misalnya: saya bagus dalam bermain bola, tapi jelek dalam berhitung. Pada masa akhir kanak-kanak (5 – 6 tahun), pemahaman diri anak lebih kompleks seiring dengan perubahan perkembangan dari mendefinisikan karakteristik luar kepada mendefinisikan karakteristik internal yang terjadi pada diri anak. Karakteristik yang menjadi penyebab terjadinya perubahan adalah:

1. Karakteristik internal digunakan dalam mendefinisikan diri mereka dan mereka sudah menyadari keadaan diluar diri – contoh : Aku pintar dan populer

2. Social aspect – contoh : Saya pramuka; Saya katolik; Saya punya 2 sahabat

3. Social comparison – contoh : Aku cukup baik tidak selalu khawatir setiap saat. Saya biasanya mudah marah tapi sekarang lebih baik. Saya juga merasa bangga ketika saya berkelakuan baik di sekolah.

4.Comparison with others – Contoh : Saya pintar berhitung, Andi pintar membaca.

Menurut Wang (2004), perbedaan kebudayaan juga mempengaruhi cara anak menilai diri mereka sendiri. Ini dikarenakan orang tua mengirimkan secara halus lewat percakapan sehari-hari, keyakinan dan gagasan tentang bagaimana mengartikan diri itu. Menurut Wang, orang China lebih menekankan aspek kekuasaan, sikap yang semestinya dan rasa memiliki terhadap masyarakat sekitar sedangkan orang Amerika lebih menekankan aspek keindividuan, pengekspresian diri, dan harga diri.

Self Esteem dan Konsep Diri

Self Esteem

Self esteem adalah: penjelasan mengenai gambaran atau gambaran positip tentang dirinya oleh orang lain, jadi merupakan evaluasi umum seseorang mengenai dirinya (Contoh: seseorang mempersiapkan dirinya menjadi individu yang baik) tetapi tidak  selalu sama dengan kenyataan (Contoh: self esteem pada anak mencerminkan believe bahwa dia menarik atau pintar, tapi belum tentu akurat).

Mengukur self esteem

Metode pengukuran untuk self esteem antara lain :

1. Kompetensi skolastik    – kemampuan akademik  [ya/tidak]

2. Kompetensi atletis         – [tinggi/sedang/rendah]

3. Penerimaan sosial          – [menerima orang lain]

4. Penampilan fisik              – terjadi dari masa kanak-kanak sampai usia setengah baya

5. Cara berprilaku ditambah dengan nilai diri secara keseluruhan.

Pengukuran self esteem bisa dilakukan dengan cara :

1. membuat pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan opini/jawaban anak tentang diri mereka secara keseluruhan juga evaluasi diri mereka, skor jawaban menunjukan tingkat self esteem mereka apakah tinggi, sedang, atau rendah.  (untuk anak umur 8 tahun ke atas).

2. membuat pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan gambar dan jawaban untuk menunjukan tingkat self esteem mereka juga menggunakan gambar, misal lingkaran besar dan kecil. Cara tradisional lain dengan menggunakan model cermin melalui pertanyaan bagaimana orang lain melihat dirinya dengan jawaban senang/tidak senang (untuk anak umur 4 – 7 tahun, karena anak seumur ini belum dapat menilai diri mereka secara keseluruhan).[4]

Vygotsky’s Model:

– Untuk mempelajari tentang perkembangan anak adalah dengan melakukan observasi pada mereka dalam memecahkan masalah – contoh : anak pra sekolah sambil mengerjakan pekerjaannya ia bicara sendirian atau private speech (Piaget menyebutnya egosentrik)

– Interaksi sosial memainkan peranan penting dalam pengembangan berpikir anak dan kemampuan-kemampuan memecahkan permasalahan, dan perkembangan sosial dan kognitif tidak dapat dipisahkan (interdependent), contoh perkembangan pengetahuan anak tentang mereka dan kemampuan mereka mengevaluasi diri mereka sendiri sangat akurat mempunyai pengaruh terhadap interaksi mereka dengan orang lain.

Sejauh mana self esteem berubah seiring dengan bertambahnya usia?

– Berubah seiring bertambahnya usia

– Meninggi pada masa kanak-kanak, menurun pada remaja, dan mingkat lagi pada masa dewasa sampai masa dewasa akhir. (Penilitian Robins dkk, 1999)

– Kebanyakan penelitian hanya bersifat korelasi bukan eksperimen

Peran orang tua terhadap self esteem anak menunjukan tinggi (Coopersmith, 1967 – Child Development, John W. Santrok) apabila atribut-atribut di bawah ini disertakan:

– Ekspresi afeksi

– Menunujukan perhatian terhadap permasalahan yang dihadapi anak

– Rumah tangga harmonis

– Partisipasi kegiatan dilakukan oleh seluruh anggota keluarga

– Selalu siap memberikan bantuan ketika dibutuhkan anak

– Menetapkan peraturan yang jelas dan adil

– Mematuhi dan menjalankan peraturan

– Membiarkan anak bebas dalam batasan yang jelas

Initiative versus Guilt

Menurut Erikson (1950), ini adalah tahap ketiga dari perkembangan psikososial. Inisiative vs Guilt, yaitu pengasuhan dengan memberi dorongan untuk bereksperimen dengan bebas dalam lingkungannya. Guru dan orang tua tidak menjawab langsung pertanyaan anak, maka mendorong anak untuk berinisiatif, sebaliknya bila anak selalu dihalangi, pertanyaan anak disepelekan, maka anak akan selalu merasa bersalah.

Identity  

Identitas/identity adalahgambaran mengenai diri yang perkembangannya berlangsung sedikit demi sedikit dan kompleks. Teori Erik Erikson mengenai identity development:

1. Identity diffusion – individu yang belum mengalami krisis dan belum bisa membuat komitmen karena tidak mempunyai minat

2. Identity fourclosusre – sudah membuat komitmen tapi belum krisis

3. Identity moratorium – mas kritis, belum memiliki komitment dan kalaupun ada masih kabur

4. Identity achievement – sudah melewati masa kritis dan sudah membuat komitmen

Pencarian identitas dibantu oleh “moratorium psikososial” yaitu celah antara masa kanak-kanak dan tanggung jawab masa dewasa. Bagi seorang anak menjelaskan identitas akan dapat meningkatkan rasa percaya dirinya dan mempermudah bersosialisasi.Pada anak identitas utama sebaiknya diutamakan untuk dikenalkan, misalnya: nama dan alamat. Kemudian bertahap, pada misalnya nama panggilan dahulu lalu baru nama lengkap; Mengulang-ulang, karena daya ingat anak masih terbatas sehingga proses mengulang-ulang menjadi hal yang sangat penting; Sabar, jika anak salah menyebutkan identitas, kita tidak perlu menyalahkan; Mendukung anak karena jika anak didukung maka ia pun akan merasa senang hatinya untuk memperbaiki kesalahannya.

Daftar Pustaka

Papalia, Diana E., (2008). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Papalia, Diana E., (1995), .Human Development, New York, Mc. Graw Hill

Santrock, Jhon W. 1996. Child Development, Chicago : Brown & Benchmark

Santrock, Jhon W., (2007). Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga

Vasta Ross, Haith Marshall M & Miller ScottA., (1999). Child Psychology. New York Weinheim Brisbane Singapore Toronto

http://www.buzz.com/2009/02/16/mengenal identitas diri


PERKEMBANGAN MORAL

Posted: April 19, 2011 in Uncategorized

PENDAHULUAN

Pengetahuan moral merupakan pangkal pokok dari sisi kemanusiaan kita. Untuk menciptakan moral yang baik bagi anak adalah menciptakan komunikasi yang harmonis antara orangtua dan anak, karena itu akan menjadi modal penting dalam membentuk moral. Kebanyakan ketika anak beranjak remaja atau dewasa, tidak mengingat ajaran-ajaran moral diakibatkan tidak adanya ruang komunikasi dialogis antara dirinya dengan orangtua sebagai “guru pertama” yang mestinya terus memberikan pengajaran moral. Jadi, titik terpenting dalam membentuk moral sang anak adalah lingkungan sekitar rumah, setelah itu lingkungan sekolah dan terakhir adalah lingkungan masyarakat sekitar. Namun, ketika dilingkungan rumahnya sudah tidak nyaman, biasanya anak-anak akan memberontak di luar rumah (kalau tidak di sekolah, pasti di lingkungan masyarakat). Oleh karena itu, agar tidak terjadi hal seperti itu sudah sewajibnya orang tua membina interaksi komunikasi yang baik dengan sang buah hati supaya di masa mendatang ketika mereka memiliki masalah akan meminta jalan keluar kepada orang tuanya.

PENGERTIAN MORAL DAN PERKEMBANGAN MORAL

Moral

Secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin yaitu mores yang merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan[1]. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangai yang dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, patut maupun tidak patut. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai:

1. prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.

2. kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah.

3. ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik.

Moral ialah tingkah laku yang telah ditentukan oleh etika. Moral terbagi menjadi dua yaitu:

1. Baik; segala tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai baik.

2. Buruk; tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai buruk.

Menurut Purwadarminto moral juga diartikan sebagai ajaran baik dan buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku[2].

Menurut Hadiwardoyo moral dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata hati atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma memberikan ukuran yang obyektif. Apabila hati nurani ingin membisikan sesuatu yang benar, maka norma akan membantu mencari kebaikan moral[3]. Kemoralan merupakan sesuatu yang berkaitan dengan peraturan-peraturan masyarakat yang diwujudkan di luar kawalan individu. Dorothy Emmet(1979) mengatakan bahwa manusia bergantung kepada tatasusila, adat, kebiasaan masyarakat dan agama untuk membantu menilai tingkahlaku seseorang[4]. Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber. Standar moral ialah standar yang berkaitan dengan persoalan yang dianggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas kekuasaan, melebihi kepentingan sendiri, tidak memihak dan pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah, malu, menyesal, dan lain-lain.Moralitas memiliki tiga komponen:

1. Komponen afektif/emosional terdiri dari berbagai jenis perasaan (seperti pe rasaan bersalah, malu, perhatian terhadap perasaan orang lain, dan sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pemikiran dan tindakan moral. Komponen afektif moralitas (moral affect) merupakan berbagai jenis perasaan yang menyertai pelaksanaan prinsip etika. Islam mengajarkan pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang  tidak baik sebagai sesuatu yang penting. Hadist menyatakan: Dari Ibnu Umar r.a, ia berkata bahwa Rasullah Saw, bersabda “Malu itu pertanda dari iman.” (HR Buhari dan Muslim) Malu dikatakan sebagai bagian dari iman karena rasa malu dapat menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermoral.

2. Komponen kognitif merupakan pusat dimana seseorang melakukan konseptualtualisasi benar dan salah, dan membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperilaku. Komponen kognitif moralitas (moral reasoning) merupakan pikiran yang ditunjuk seseorang ketika memutuskan berbagai tindakan yang benar dan salah. Islam mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan. Manusia memiliki akal untuk memilih jalan mana yang ia akan tempuh. Dalam Al-Quran dinyatakan: dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams (91), 7-10) Pilihan manusia tentang jalan yang akan ia pilih dalam konflik ini menentukan apakah ia menjadi orang baik atau tidak.

3. Komponen perilaku mencerminkan bagaimana seseorang sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong, curang, atau melanggar aturan moral lainnya. Komponen perilaku moralitas (moral behavior) merupakan tindakan yang konsisten terhadap moral seseorang dalam situasi di mana mereka harus melanggarnya. Islam menggambarkan bahwa memilih melakukan jalan yang benar seperti menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS Al-Balad (90), 10-11) Melakukan sesuatu pada jalan yang benar merupakan pilihan bagi umat Islam, meskipun sulit[5].

Perkembangan moral

Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal, yang mengatur aktifitas seseorang ketika dia terlibat dalam interaksi sosial dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik. (Santrock, 2007 ;Gibbs,2003 ; Power,2004 ; Walker &Pitts,1998)[6] Perkembangan moral berkaitan dengan aturan-atuaran dan ketentuan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Untuk mempelajari aturan-aturan tersebut, Santrock  memfokuskan pada 4 pertanyaan dasar yaitu :

1. Bagaimana seseorang mempertimbangkan dan berpikir mengenai keputusan moral?

2. Bagaiman sesungguhnya seseorang berperilaku dalam situasi moral?

3. Bagaimana sesorang merasakan hal-hal yang berhubungan dengan moral?

4. Apa yang menjadi karakteristik moral individu?

Pada usia Taman Kanak-kanak, anak telah memiliki pola moral yang harus dilihat dan dipelajari dalam rangka pengembangan moralitasnya. Orientasi moral diidentifikasikan dengan moral position atau ketetapan hati, yaitu sesuatu yang dimiliki seseorang terhadap suatu nilai moral yang didasari oleh aspek motivasi kognitif dan aspek motivasi afektif. Menurut John Dewey tahapan perkembangan moral seseorang akan melewati 3 fase, yaitu premoral, conventional dan autonomous. Anak Taman Kanak-kanak secara teori berada pada fase pertama dan kedua. Oleh sebab itu, guru diharapkan memperhatikan kedua karakteristik tahapan perkembangan moral tersebut. Sedangkan menurut Piaget, seorang manusia dalam perkembangan moralnya melalui tahapan heteronomous dan autonomous. Seorang guru Taman Kanak-kanak harus memperhatikan tahapan hetero-nomous karena pada tahapan ini anak masih sangat labil, mudah terbawa arus, dan mudah terpengaruh. Mereka sangat membutuhkan bimbingan, proses latihan, serta pembiasaan yang terus-menerus. Moralitas anak Taman Kanak-kanak dan perkembangannya dalam tatanan kehidupan dunia mereka dapat dilihat dari sikap dan cara berhubungan dengan orang lain (sosialisasi), cara berpakaian dan berpenampilan, serta sikap dan kebiasaan makan. Demikian pula, sikap dan perilaku anak dapat memperlancar hubungannya dengan orang lain. Perkembangan moral dan etika pada diri anak Taman Kanak-kanak dapat diarahkan pada pengenalan kehidupan pribadi anak dalam kaitannya dengan orang lain. Misalnya, mengenalkan dan menghargai perbedaan di lingkungan tempat anak hidup, mengenalkan peran gender dengan orang lain, serta mengembangkan kesadaran anak akan hak dan tanggung jawabnya, serta mengembangkan keterampilan afektif anak itu sendiri, yaitu keterampilan utama untuk merespon orang lain dan pengalaman-pengalaman barunya, serta memunculkan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan teman disekitarnya. Ruang lingkup tahapan/pola perkembangan moral anak di antaranya adalah tahapan kejiwaan manusia dalam menginternalisasikan nilai moral kepada dirinya sendiri, mempersonalisasikan dan mengembangkannya dalam pembentukan pribadi yang mempunyai prinsip, serta dalam mematuhi, melaksanakan/menentukan pilihan, menyikapi/menilai, atau melakukan tindakan nilai moral.

Untuk membahas mengenai perkembangan moral ada beberapa teori terkenal sebagai dasar/landasan yang sering digunakan, antara lain:

Perkembangan Moral Jean Piaget

Jean Piaget lahir di Neuchâtel, Swiss, 9 Agustus 1896 adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan psikolog perkembangan Swiss, yang terkenal karena hasil penelitiannya tentang anak-anak dan teori perkembangan kognitifnya. Menurut Ernst von Glasersfeld, Jean Piaget adalah juga “perintis besar dalam teori konstruktivis tentang pengetahuan[7]. Ada dua macam studi yang dilakukan oleh Piaget mengenai perkembangan moral anak dan remaja. Piaget melakukan observasi dan wawancara dengan anak-anak usia 4-12 tahun, yaitu :

1. Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng, sambil mempelajari bagaimana mereka bermain dan memikirkan aturan-aturan permainan.

2. Menanyakan kepada anak-anak pertanyaan tentang aturan-aturan etis, misalnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.

Dari hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka, antara lain:

Heteronomous Morality

Merupakan tahap pertama perkembangan moral menurut teori Piaget yang terjadi kira-kira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia. Pemikir Heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku.

1. Misalnya, memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue.

2. Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa.

3. Ketika Piaget menyarankan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam permainan kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan harus selalu sama dan tidak boleh diubah.

4. Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera.

5. Yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman.

Autonomous Morality

1. Tahap kedua perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya

2. Bagi pemikir Autonomos, maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting.

3. Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomos, dapat menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut kesepakatan.

4. Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak terelakkan.

Piaget berpendapat bahwa dalam berkembang anak juga menjadi lebih pintar dalam berpikir tentang persoalan sosial, terutama tentang kemungkinan-kemungkinan dan kerjasama. Pemahaman sosial ini diyakini Piaget terjadi melalui relasi dengan teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, merencanakan sesuatu dengan merundingkannya, ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi antara orangtua dan anak, orangtua memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter.

Perkembangan  Moral Lawrence Kohlberg

Lawrence Kohlberg dilahirkan di Bronxville, New York, pada tanggal 25 Oktober 1927. Ia menjabat sebagai profesor di Universitas Chicago serta Universitas Harvard. Ia terkenal karena karyanya dalam pendidikan, penalaran, dan perkembangan moral. Sebagai pengikut teori perkembangan kognitif Jean Piaget, karya Kohlberg mencerminkan dan bahkan memperluas karya pendahulunya. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya. Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama.  Hal yang menjadi kajian Kohlberg adalah tertumpu pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu sendiri. Melalui penelitian yang dilakukannya selama 14 tahun, Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning. Keenam tahapan perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.

Taraf Pra-Konvensional

Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka)  kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah.  Anak pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi (orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya). Pada taraf ini terdiri dari dua tahapan yaitu:

1)  punishment and obedience orientation (hukuman dan kepatuhan)/(Moralitas heteronom) Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan taat secara buta pada yang berkuasa dianggap bernilai pada dirinya sendiri.

2)  Instrument-relativist orientation Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.  Hubungan antar manusia dianggap sebagai hubungan jual beli di pasar.  Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti menyenangkan saya.

Conventional Level (taraf Konvensional)

Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga ataubangsa bernilai pada dirinya sendiri.  Anak tidak hanya mau berkompromi , tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan ketertiban social.  Dua tahap dalam taraf ini adalah:

1.Tahap interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation.  Tingkah laku yang lebih baik adalah tingkah laku yang membuat senang orang lain atau yang menolong orang lain dan yang mendapat persetujuan  mereka.  Supaya diterima dan disetujui orang lain seseorang harus berlaku “manis”.  Orang berusaha membuat dirinya wajar seperti pada umumnya orang lain bertingkah laku.  Intensi tingkah laku walaupun kadang-kadang berbeda dari pelaksanaanya sudah diperhitungkan, misalnya orang-orang yang mencuri buat anaknya yang hampir mati dianggap berintensi baik.

2. Tahap law and order,  orientation.

Otoritas peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan dan pemeliharaan ketertiban sosial dijunjung tinggi dalam tahap ini.  Tingkah laku disebut benar, bila orang melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban sosial

Postconventional Level (taraf sesudah konvensional)

Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana.  Tahapannya adalah:

1. Social contract orientation. Dalam tahap ini orang mengartikan benar-salahnya suatu tindakan atas hak-hak individu  dan norma-norma  yang sudah teruji di masyarakat.  Disadari bahwa nilai-nilai yang bersiat relatif, maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu konsensus bersama.

2.The universal ethical principle orientation. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara nurani hati.  Sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dianut oleh orang yang bersangkutan, prinsip prinsip etis itu bersifat abstrak.  Pada intinya prinsip etis itu adalah prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi.

Perkembangan moral Kohlberg memiliki sifat/karakter khusus, diantaranya:

1. Perkembangan setiap tahap-tahap selalu berlangsung dengan cara yang sama, dalam arti si anak dari tahap pertama berlanjut ke tahap kedua

2. Bahwa orang (anak) hanya dapat mengerti penalaran moral satu tahap diatas tahap dimana ia berada.

3. Bahwa orang secara kognitif memiliki ketertarikan pada cara berfikir satu tahap diatas tahapnya sendiri.(K.Bertens;2005)[8].

Kritik terhadap Teori Kohlberg

Kohlberg (Orang kultur Barat yang terdidik, elit, berkulit putih, dan pria) memandang otonomi dan keadilan individu sebagai nilai moral yang utama. Ia bahkan menyamakan moralitas dengan keadilan (dengan mengabaikan nilai moral lain seperti keberanian, pengendalian-diri, empati, dll.). Para anggota kelas pekerja dan kelas pedesaan, bagaimanapun, cenderung untuk memiliki pendekatan yang lebih  komunitarian terhadap hidup. Memandang kebaikan yang umum sebagai nilai yang paling tinggi, mempromosikan hubungan yang harmonis dan kepedulian melebihi  keadilan individual. Wanita-wanita diturunkan ke status “kelas lebih rendah” selama berabad-abad, yang mungkin telah mengembangkan suatu pendekatan yang lebih komunitarian terhadap hidup karena alasan tersebut. Masyarakat dan kultur Non-Barat  juga sering melihat bahwa masyarakat lebih penting dibanding individu. Teori Provokatif Kohlberg mengenai perkembangan moral mendapat kritikan dari beberapa kalangan (Kurtines & Gewirtz; 1001; Lapsey. 1992; Puka, 1991). Kritik-kritik tersebut berkenaan dengan hubungan pemikiran moral dan perilaku, kualitas penelitian, kurang mempertimbangkan peranan budaya dalam perkembangan moral, mengesampingkan persepektif tentang kepedulian.

Pemikiran tentang Moral dan Perilaku Moral

Teori Kohlberg dikritik karena terlalu menekankan pada pemikiran moral dan kurang menekankan pada perilaku moral. Pemahaman moral terkadang bisa menjadi tempat berlindung bagi perbuatan tak bermoral. Penggelapan uang di bank dapat menjadi alasan perbuatan mulia, tetapi perilaku mereka sendiri bisa jadi tidak bermoral. Penipu dan pencuri mengetahui apa yang benar, tetapi tetap melakukan hal yang salah.

Pengukuran terhadap Pemahaman Moral

Para kaum developmentalist menyalahkan kualitas penelitian Kohlberg dan berpendapat bahwa seharusnya dilakukan pengukuran pada  perkembangan moral (Boyes, Giordano, & Galperyn, 1993). Misalnya, James Rest (1976, 1983, 1986) berargumen bahwa metode alternative harus digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai pemikiran moral daripada hanya mengandalkan satu metode yang menuntut individu memahami dilemma moral hipotetis. Rest juga mengatakan bahwa cerita-cerita yang dibuat Kohlberg sangat sulit untuk diberikan angka skor. Untuk mengatasi masalah ini, Rest mengembangkan pengukuran moral development yang disebut Defining Issues Test (DIT). Para peneliti berpendapat  bahwa dilemma moral hipotetis yang dibuat dalam cerita Kolhberg tidak sesuai dengan dilemma moral yang dihadapi anak-anak dan orang dewasa dalam kehidupan sehari-hari (Walker, de Vries, & Trevethan, 1987; Yusen, 1997). Kebanyakan cerita Kohlberg fokus pada keluarga dan penguasa. Namun dari sebuah penelitian diketahui bahwa dilemma moral yang dialami orang dewasa adalah  pertemanan, hubungan interpersonal, keluarga dan kekuasaan.

Budaya dan Perkembangan Moral

Dari sudut pandang budaya teori Kohlberg dianggap bias. Berdasarkan penelitian mengenai perkembangan moral di dua puluh tujuh Negara disimpulkan bahwa pemahaman moral lebih bersifat budaya dan sistem penilaian Kohlberg tidak mengenali pemahaman moral yang lebih tinggi pada kelompok budaya tertentu. Contoh pemahaman moral yang tidak diukur oleh system Kohlberg adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kesetaraan komunal dan kebahagiaan kolektif seperti di Israel, kemanunggalan dan kekeramatan segala aspek kehidupan di India. Kohlberg tidak bisa mengukur hal-hal tersebut diatas karena teori kohlberg tidak menekankan hak individu dan prinsip-prinsip abstrak tentang keadilan. Kesimpulan, pemahaman moral lebih dibentuk oleh nilai dan keyakinan dalam sebuah budaya. Bagaimanapun, banyak kritik terhadap teori Kohlberg tentang pengembangan moral dan metoda-metodanya. Beberapa kritikus mengaku bahwa penggunaan situasi-situasi hipotetis mengurangi hasil karena itu mengukur abstrak bukan penalaran konkret. Ketika anak-anak (dan beberapa orang dewasa) diperkenalkan dengan situasi-situasi di luar dari pengalaman mereka sebelumnya, mereka beralih pada peraturan-peraturan yang mereka pelajari dari penguasa eksternal untuk menjawab, bukan berdasarkan pada suara di dalam diri mereka sendiri. Oleh karena itu, anak-anak muda mendasari jawaban mereka pada peraturan tentang “benar”  dan “salah” yang mereka sudah pelajari dari orang tua dan para guru (Langkah-langkah 1 dan 2 menurut teori Kohlberg). Sebaliknya, jika anak-anak muda diperkenalkan dengan situasi-situasi yang sudah mereka kenal baik, mereka sering mempertunjukan kepedulian dan perhatian kepada orang lain, mendasarkan pilihan moral mereka pada keinginan untuk berbagi kebaikan dan memelihara hubungan-hubungan harmonis, menempatkan mereka di langkah ke 3 atau 4 (yang diklaim Kohlberg sebagai sesuatu yang mustahil pada usia mereka).  Penekanan Kohlberg pada penalaran abstrak juga menciptakan hasil yang membingungkan dimana anak-anak muda yang biasa nakal dapat mencetak prestasi lebih tinggi langkah dalam pengembangan moral dibanding anak-anak yang berkelakuan baik. Karena perilaku tidak dipertimbangkan dan penalaran ditentukan melalui situasi-situasi hipotetis, anak-anak yang bertindak dengan cara immoral mungkin mampu menjawab dilema-dilema moral hipotetis dengan cara yang lebih maju dibanding anak-anak yang berkelakuan lebih baik yang berpikir kurang abstrak. Kritik awal terhadap kurangnya perhatian Kohlberg pada perilaku membuat Kohlberg menambahkan tekanan pada  tindakan moral kepada program Just Community bidang pendidikannya. Bagi mereka yang sedang mencari bantuan yang nyata dalam mengembangkan nilai moral pada anak-anak, bagaimanapun, teori Kohlberg tetap praktis untuk digunakan.

Persepktif gender dan  kepedulian

Carol Giligan’s mengkritik teori perkembangan moral Kohlberg. Menurutnya teori Kohlberg tidak mencerminkan hubungan dan kepedulian terhadap sesama. Teori Kohlberg yang mengambil bentuk perspektif keadilan adalah perspektif moral yang fokus pada hak-hak individu dan secara bebas membuat keputusan moral sendiri. Sebaliknya persepektif kepedulian adalah perspektif moral yang memandang bahwa orang lain memiliki kaitan dengan orang lain; menekankan pada komunikasi interpersonal, hubungan dengan orang lain, dan kepedulian terhadap orang lain. Menurut Gilligan, Kohlberg sama sekali melupakan persepektif kepedulian dalam perkembangan moral, menghubungkannya dengan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan (Mungkin hal ini terjadi karena  Kohlberg adalah seorang pria, kebanyakan penelitiannya lebih banyak melibatkan pria, dan menggunakan respon pria sebagai model teorinya). Meski kritik Gilligan mempunyai kelemahan, penilaiannya bahwa teori Kohlberg tak lengkap mempunyai banyak pendukung, meskipun yang lain menghubungkan ketiadaan dari moralitas communitarian lebih kepada kelas bukan pada perbedaan jenis kelamin. Ini semua kekurangan yang mungkin, akan tetapi bagaimanapun teori Kohlberg tentang pengembangan moral adalah yang pertama dari jenisnya dan tetap  merupakan loncatan untuk semua riset tentang penalaran moral. Kritik terhadap teori Kohlberg menjadi pengembangan penalaran moral yang lebih luas dan pemahaman yang lebih inklusif. Program “just Community” Kohlberg juga menghasilkan hasil-hasil penting dan memimpin penciptaan program pendidikan alternatif yang berkelanjutan.

Perkembangan Moral Gilligan

Carol Gilligan adalah ahli Psikolog dari Harvard, ia menemukan dalam penelitiannya bahwa perempuan memiliki perkembangan moral yang berbeda dari laki-laki. Carol Gilligan waktu itu adalah salah seorang rekan tim Lawrence Kohlberg yang meneliti bagaimana kesadaran moral berkembang dalam diri orang muda. Penelitian Gilligan adalah untuk mengkritisi teori perkembangan moral yang dikembangkan oleh Kohlberg. Kohlberg menyimpulkan bahwa manusia melalui tiga tingkatan perkembangan moral ketika berkembang menjadi dewasa. Sangat jarang
orang yang bisa mencapai tingkat tiga yang disebut sebagai moralitas
postkonvensional. Pada tahap ini, orang lebih berorientasi pada kontrak
sosial, yaitu patuh pada peraturan karena aturan diperlukan untuk ketertiban sosial, tetapi dapat diubah bila ada alternatif yang lebih baik. Ataupadatahap enam, tingkah laku mengikuti prinsip-prinsip internal, yaitu keadilan,kesetaraan, untuk menghindari penghukuman diri sendiri, dan kadang-kadang bisa melanggar aturan-aturan masyarakat. Kebanyakan orang berada pada tingkat dua (tahap tiga dan empat) yangmeyakini hukum dan ketertiban, serta patuh pada hukum untuk menghindari perselisihan dengan orang-orang di sekitar mereka. Dari hasil wawancara Giligan dengan anak-anak perempuan berusia antara 6-18 tahun, disimpulkan bahwa anak perempuan secara konsisten menginterpretasikan dilema moral dalam kerangka hubungan antar manusia dengan dasar interpretasi inilah mereka mendengarkan dan mengamati orang lain. Menurut Giligan, anak perempuan memiliki kemampuan untuk memilih secara sensitive irama atau bobot yang berbeda dalam sebuah hubungan dan mengikuti jalannya perasaan. Menurut Giligan, anak perempuan mencapai tahapan kritis ketika mereka beranjak dewasa. Biasanya pada usia 11 hingga 12, anak perempuan mulai menyadari bahwa kepentingan intense mereka dalam sebuah hubungan yang akrab tidak dihargai oleh budaya yang didominasi pria, walaupun masyarakat memandang wanita sebagai mahluk yang penuh kasih sayang. Dilemanya adalah anak perempuan diberikan pilihan yang membuat mereka terlihat egois atau terlalu mementingkan orang lain, akhirnya membungkam keinginan mereka sendiri. Pandangan Giligan yang mengatakan bahwa pemahaman moral laki-laki dan perempuan biasanya tertuju pada isu yang berbeda. Namun demikian pendapat Giligan  bahwa pengukuran perkembangan moral yang digunakan para penganut Kohlberg tradistional bersifat bias terhadap perempuan diperdebatkan oleh banyak orang. Misalnya, kebanyakan penelitian yang menggunakan cerita dan system scoring Kohlberg tidak menemukan perbedaan jenis kelamin. Dengan demikian, teori Gilligan cocok untuk penelitian-penelitian pada hal-hal dan sistem scoring yang berkaitan dengan hubungan, perasaan, pengamatan yang sensitif, dan irama perilaku interpersonal. Pendapat yang mengatakan bahwa wanita sering menunjukan persepektif kepedulian sedangkan pria menunjukkan perspektif keadilan, bukanlah hal yang absolute. Orientasi kedua hal ini tidaklah bersifat ekslusif. Misalnya, dalam sebuah studi, 53 orang dari 80 wanita dan pria sama-sama menunjukkan perspektif kepedulian atau  keadilan, tetapi 27 orang menunjukkan memiliki persepektif keduanya. Gilligan yang menuliskan hasil penelitiannya ke dalam buku yang sangat
terkenal, In a Different Voice, itu menyebutkan bahwa karena contoh
penelitian yang dipakai Kohlberg adalah laki-laki, maka hasil temuan
Kohlberg tidak cocok untuk diterapkan pada perempuan. Gilligan menyebut ada perbedaan antara moral yang dikembangkan laki-laki dan moral yang dikembangkan perempuan. Moral laki-laki lebih berperspektif
keadilan, yang memandang orang di luar dirinya sebagai berbeda dan sendirian serta memfokuskan diri pada hak-hak individu. Sementara perempuan menggunakan perspektif mengasuh, yaitu saling keterhubungan antara orang dan komunikasi. Sebagaimana Gilligan menyebutkan, ‘Dari perspektif keadilan, diri sebagai agen moral berdiri sebagai tokoh yang menentang landasan pertalian-pertalian sosial, menilai berbagai klaim yang saling bertentangan mengenai diri dan yang lain terhadap standar persamaan dan penghormatan yang sama (Imperatif Kategoris, Aturan Utama). Dari perspektif kepedualian, berbagai pertalian menjadi tokoh, menentukan diri dan yang lain. Dalam konteks pertalian, diri sebagai suatu agen moral merasa dan menanggapi perspesi tentang kebutuhan’ (Gilligan 1987: 23). Maka, bagi Gilligan, moralitas didirikan dalam pengertian pertalian kongkrit dan tanggapan langsung diantara orang-orang, suatu pengertian pertalian langsung yang ada mendahului berbagai kepercayaan moral mengenai apa yang benar atau salah atau prinsip-prinsip mana yang diterima. Fokus penelitian Gilligan adalah tanggungjawab membantu, tidak membebani, dan tidak menyakiti orang lain. Keadilan dan kesesamaan menjadi dasarnya. Gilligan lebih mementingkan wanita dibanding Kohlberg yang mementingkan lelaki. Gilligan melihat perkembangan moral adalah sama dengan Kohlberg yaitu dalam 3 peringkat, namun skema perkembangan moralnya berbeda, seperti di bawah ini:

Peringkat 1, Prakonvensional

Pada tahap ini, seseorang hanya tertumpu pada diri sendiri saja. Apa yang penting adalah memenuhi segala keperluan sendiri. “Tindakan betul” dilihat sebagai tindakan yang menguntungkan diri sendiri.

Peringkat 2, Konvensional

Pada tahap ini, seseorang melihat keperluan orang lain sebagai lebih penting daripada keperluan diri sendiri. Berbuat baik bermakna bertanggungjawab dan “tindakan betul” adalah suatu pengorbanan diri bagi kepentingan orang lain.

Peringkat 3, Pascakonvensional

Pada tahap ini, seseorang memberi perhatian yang seimbang antara keperluan diri dengan tujuan mengekalkan hubungan yang sudah ada[9].

URIE BRONSFENBRENNER

Urie Bronfenbrenner yang melakukan pendekatan kultur/budaya dalam teorinya, menyusun tahap orientase moral yang berbeda dengan Kohlberg. Dia memberikan lima (5) orientasi moral, yaitu:

1. Moralitas berorientasi diri (self-oriented morality),

2. Moralitas berorientasi otoritas (authority-oriented morality),

3. Moralitas berorientasi rekanan (peer-oriented morality),

4. Moralitas berorientasi kolektif (colletive-oriented morality),

5. Moralitas berorientasi tujuan (objectively-oriented morality)

Moralitas berorientasi diri serupa dengan tahap prakonvensional Kohlberg. Pada dasarnya, anak hanya tertarik pada pemuasan diri dan hanya memikirkan orang lain dalam batas mereka dapat membantu memberikan apa yang diinginkan atau dibutuhkannya. Tiga orientasi selanjutnya merupakan bentuk moralitas konvensional Kohlberg. Pada tahap moralitas berorientasi otoritas, anak telah menerima tokoh otoritas, baik orangtua, kepala negara, pemuka agama, atau lainnya, yang mendefinisikan apa yang baik dan yang buruk. Moralitas berorientasi rekanan pada dasarnya merupakan bentuk kepatuhan moral, di mana baik atau salah ditentukan bukan oleh otoritas, melainkan oleh teman sebaya. Moralitas berorientasi kolektif, tujuan kelompok yang dimiliki seseorang lebih penting dari kebutuhan individu. Sedangkan moralitas berorientasi tujuan setara dengan tingkatan pascakonvensional Kohlberg. Tujuan menurut Bronfenbrenner, merupakan prinsip universal yang tidak tergantung pada individu atau kelompok sosial, melainkan pada realistas keseluruhan yang mereka punyai. Bronfenbrenner mencatat bahwa tahap 1 ditemukan semua anak dan juga orang dewasa pada semua budaya, sementara tahap 5 hanya terdapat pada sedikit orang dewasa pada setiap budaya. Perbedaan tahap 2,3 dan 4lebih disebabkan budaya dari pada perkembangan.

PENALARAN MORAL (MORAL REASONING)

Dalam menghadapi dilema moral, seseorang harus menentukan pilihan dari perbuatan yang akan dilakukannya. Untuk menentukan pilihan ini seseorang harus menggunakan penalarannya. Penalaran moral bukan merupakan penalaran terhadap standar perilaku yang ditentukan oleh konsensus sosial (social-conventional rules), namun lebih merupakan penalaran terhadap standar penerimaan dan penolakan perilaku yang berhubungan dengan hak dan kewenangan individu (moral rule). Usia menentukan bagaimana penalaran tersebut dilakukan. Islam melihat bahwa perbedaan usia menentukan bagaimana pemikiran moral seseorang. Orang yang lebih muda dipandang lebih tinggi daripada orang yang lebih tua, jika dapat melakukan penalaran moral lebih baik untuk memilih perilaku yang tepat. Hal ini sesuai dengan hadist, “Tuhanku kagum akan seorang pemuda yang tidak terjerumus dalam kenalakan kaum remaja.” (HR Ahmad dan Thabrani) Sejalan dengan kematangan perkembangan intelektual dan pengalaman seseorang, pemahaman terhadap masalah moralitas semakin lebih berkembang. Melihat pentingnya perkembangan penalaran moral dalam kehidupan manusia, maka berbagai penelitian psikologi di bidang ini dilakukan. Teori Kohlberg tentang penalaran moral, melibatkan enam langkah yang setiap orang melewati secara berurutan, tanpa melompati suatu langkah atau membalik urutan tersebut. Teorinya menyatakan bahwa tidak semua orang berkembang melalui enam langkah tersebut. Pada tahun 1950-an, ilmu pengetahuan secara keseluruhan berpegang pada keyakinan kaum positivist bahwa studi ilmiah seharusnya bebas dari nilai moral, sebagai gantinya memelihara sesuatu yang betul-betul “objektif,” sikap bebas nilai. Psikologi Barat pada waktu itu dikuasai oleh behaviorists yang memfokuskan pada perilaku dibanding penalaran atau kehendak. Pada 1958, Lawrence Kohlberg menerbitkan suatu studi yang memutuskan hubungan dengan positivists dan behaviorists, dengan memperkenalkan suatu teori pengembangan moral (menyatukan ilmu pengetahuan dan nilai moral) berdasarkan pada penalaran sikap (bukan perilaku). Kohlberg menggunakan metodenya selama 20 tahun dengan cara menginterview anak-anak dengan menggunakan cerita-cerita dimana tokohnya mengalami dilema moral. Salah satu contohnya adalah cerita ini (Heinz dan Tukang Obat): Di Eropa ada seorang wanita yang menderita sakit kanker. Menurut dokter ada obat terbaru yang dapat menyembuhkan dan obat itu baru saja ditemukan oleh seorang ahli/tukang obat. Obat itu mahal dalam pembuatannya dan sang tukang obat menjualnya 20 kali lipat lebih mahal. Suami wanita yang sedang menderita sakit kanker, Heinz,  meminjam uang kepada setiap orang yang dia kenal untuk membeli obat itu tetapi dia hanya mampu mengumpulkan separuh harga dari yang ditawarkan  tukang obat. Kemudian dia meminta kemurahan hati sang tukang obat untuk menurunkan harga obat tersebut atau dia tetap membeli dengan harga penuh tetapi akan melunasinya kemudian. Sang tukang obat menolaknya dengan alasan dia telah berupaya menemukan obat itu dan ia ingin mendapatkan uang yang banyak  melalui penemuannya itu. Akhirnya Heinz putus asa dan mencuri obat untuk istrinya (Kohlberg, 1969, P. 379).

Cerita di atas adalah salah satu dari delapan cerita yang digunakan Kohlberg untuk meneliti sifat pemahaman atau pemikiran tentang moral. Setelah membaca cerita ini anak-anak diberi pertanyaan mengenai dilema moral. Haruskan Heinz mencuri? Apakah Heinz diadili karena mencuri obat dari apotik ketika dia tidak mempunyai cukup uang untuk membayar? Apakah mencuri dibenarkan? Apa alasannya? Apakah seorang suami harus mencuri jika dia tidak menemukan jalan yang benar untuk mendapatkan obat itu? Apakah seorang suami yang baik akan mencuri? Apakah tukang obat berhak menghargai obat temuannya dengan sangat tinggi sementara tidak ada peraturan yang mengatur pembatasan harga obat? Apa alasannya?  Mengapa ya atau mengapa tidak? Rincian dari situasi yang hipotetisnya kemudian bisa diubah untuk menerbitkan nuansa-nuansa dari penalaran moral seseorang misalnya apakah tergantung pada seberapa sakit istrinya, seberapa miskin suaminya, apakah itu merupakan toko obat berukuran kecil di sudut jalan atau took obat yang berskala besar dan memiliki jaringan luas/ nasional? dll.).

Berdasarkan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan tersebut, Kohlberg menyimpulkan bahwa perkembangan moral terdiri dari tiga tingkatan yang setiap tingkatan memiliki dua tahap. Konsep kunci dalam teori Kohlberg mengenai perkembangan moral adalah Internalisasi, yaitu  perkembangan moral berubah dari perilaku yang dikontrol secara eksternal menjadi perilaku yang dikontrol oleh standard-standard dan prinsip-prinsip internal. Ketika seorang anak berkembang, pemahaman moral mereka semakin menjadi terinternalisasi atau tertanam. Berikut adalah tiga tahap perkembangan moral menurut teori Kohlberg’s :

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)

1. Orientasi kepatuhan dan hukuman

2. rientasi minat pribadi (Apa untungnya buat saya?)

Tingkat 2 (Konvensional)

1. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (Sikap anak baik)

2. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (Moralitas hukum dan aturan)

Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)

1. Orientasi kontrak sosial

2. Prinsip etika universal (Principled conscience)


PEMAHAMAN MORAL MENURUT TEORI KOHLBERG BERDASARKAN CERITA “HEINZ DAN TUKANG OBAT”
Tingkatan Pemahaman Moral Pemahaman/alasan moral yang membolehkan Heinz mencuri  Pemahaman moral yang tidak membolehkan Heinz mencuri
Pemahaman Pra conventional
Tahap 1.Menghindari Hukuman Heinz tidak boleh membiarkan istrinya meninggal, karena akan membuat hidup Heinz menderita Heinz bisa ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara
Tahap 2.Dukungan / Pujian / permakluman Jika Heinz tertangkap, dia bisa mengembalikan obat tersebut dan mungkin hanya akan dipenjara dalam waktu yang singkat Tukang obat adalah seorang pengusaha yang juga memerlukan uang
Pemahaman konvensional
Tahap 3.Memperoleh persetujuan /menghindari penolakan terutama dari keluarga Heinz hanya melakukan sesuatu sebagai seorang suami yang menunjukkan betapa ia mencintai istrinya Hans tidak perlu mencuri, jika istri Heinz meninggal itu bukanlah kesalahannya, melainkan kesalahan tukang obat yang egois
Tahap 4.Keselarasan dengan aturan sosial Jika heinz tidak melakukan apa-apa maka istrinya akan meninggal, jika istrinya meninggal itu adalah kesalahannya. Heinz harus mencuri obat dengan pemikiran akan membayar  tukang obat kemudian Mencuri adalah salah, Heinz akan dihantui perasaan bersalah jika dia mencuri
Pemahaman pasca konvensional
Tahap 5.Prinsip-prinsip yang diterima masyarakat Hukum memang tidak dibuat untuk kondisi yang dialami hEinz, mencuri sama sekali tidak benar, tetapi Heinz dapat dibenarkan melakukan perbuatan mencuri Kita tidak bisa semata-mata menyalahkan orang karena mencuri, tetapi situasi yang ekstrim juga sama sekali tidak membenarkan kita  untuk mengabaikan hukum. Heinz akan kehilangan kehormatan jika membiarkan dikuasai emosi, ia harus berpikir jauh ke depan
Tahap 6. Nurani Dengan mencuri obat Heinz akan hidup mengikuti aturan masyarakat, (melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang suami) tetapi sesunguhnya ia mematikan hati nurani Heinz dihadapkan pada keputusan apakah akan mempertimbangkan orang lain yang membutuhkan obat seperti istrinya. Dia harus melakukan tindakan dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan.

Berdasarkan cerita “HEINZ DAN TUKANG OBAT” Kohlberg meyakini bahwa tingkatan dan tahapan tersebut terjadi dalam sebuah urutan dan berkaitan dengan usia: Sebelum usia 9 tahun, sebagian besar anak-anak memahami dilema moral secara pra konvensional; pada awal masa remaja mereka memahami secara konvensional, dan pada masa awal dewasa, sebagian kecil orang memahami secara pasca konvensional. Dalam penelitian selama 20 tahun yang berkelanjutan, penggunaan Tahapan 1 dan 2 menurun. Tahap 4, yang tidak muncul sama sekali pada pemahaman moral pada usia 10 tahun, muncul pada pemahaman moral pada orang yang berusia 36 tahun sebanyak 62% . Tahap 5 tidak muncul sampai pada usia 20 hingga 22 tahun dan tidak pernah terjadi melebihi 10%. Dengan demikian, tahapan moral muncul kemudian daripada yang diimpikan Kohlberg sebelumnya, dan tahapan yang lebih tinggi, khususnya tahap 6, sangatlah sukar dipahami (Colby & others, 1983). Akhirnya, tahap 6 dihilangkan dari manual pemberian angka/scoring Kohlberg tetapi secara teori masih dianggap penting dalam teori perkembangan moral Kohlber. Berdasarkan teori Piaget penalaran moral di masa 3 tahun pertama dan masa pra sekolah (4-6 tahun) berada pada tingkat Heteronomous Morality (4-7 tahun). Pada tahap Heteronomous Morality, anak memandang aturan-aturan sebagai otoritas yang dimiliki Tuhan, orang tua dan guru, yang tidak dapat dirubah, dan harus dipatuhi dengan sebaik-baiknya.

Sedangkan berdasarkan Kohlberg maka penalaran moral di masa 3 tahun pertama dan masa pra sekolah (4-6 tahun) berada pada tingkat 1 yaitu prakonvensional.  Menurut Kohlber penalaran pra konvensional merupakan tingkat terendah dari penalaran moral, di mana penalaran moral dinilai berdasarkan konsekuensi langsung. Pada tahap satu (hukuman dan kepatuhan) penilaian tentang baik dan buruk tergantung pada konsekunsi fisik. Sedangkan pada tahap dua (pertukaran instrumental) seseorang mematuhi aturan untuk mendapatkan penghargaan atau memenuhi tujuan pribadi. Di sini telah terdapat kemampuan untuk melihat sesuatu dari perspektif lain, tetapi masih dilandasi keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Pembalasan masih dianggap merupakan suatu tugas moral. Banyak ayat Al-Quran yang diperuntukan bagi mereka yang memiliki tingkat penalaran prakonvensional, baik pada tahap hukuman dan kepatuhan, penilaian tentang baik dan buruk tergantung pada konsekuensi fisik. Semakin berat kesalahan yang dilakukan semakin berat hukuman yang diberikan. Al-Quran banyak menggambarkan bagaimana hukuman fisik diberikan untuk menggambarkan kesalahan manusia, contohnya dalam Surat Al-Maidah (5): 38):

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Sedangkan pada tahap pertukaran instumental, seseorang mematuhi aturan untuk mendapatkan penghargaan atau memenuhi tujuan pribadi. Seseorang berinteraksi untuk mendapatkan pertukaran sederhana untuk mendapatkan keadilan. Hal ini tergambar dalam Al-Quran dalam hukum kisas (di mana segala sesuatu dibalasi  dengan yang sejenis) yang telah berlaku sejak masa Nabi Musa a.s. (A-Taurat), sebagai  berikut:

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan lukapun ada kisasnya. Barang siapa yang melespaskan hak kisasnya, maka melepaslah hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim (QS Al-Maidah (5): 45)

Pembalasan dalam hukum kisas dianggap sebagai suatu tugas moral. Namun, dalam ayat di atas, terlihat bahwa manusia didorong untuk memasuki tingkat penalaran moral yang lebih tinggi. Manusia didorong untuk melepaskan hak kisasnya untuk memperoleh sesuatu yang lebih tinggi. Ayat-ayat lain juga banyak memperlihat bagaimana pertukaran dilakukan, antara lain pertukaran untuk amal yang baik, Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya, dan barang siapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sama sekali tidak dirugikan (QS Al-An”am (6): 160)

PERILAKU MORAL (MORAL BEHAVIOR)

Perilaku moral adalah perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral. Perilaku amoral atau non moral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan oleh ketidak acuhan terhadap harapan sosial (pelanggaran secara tidak sengaja terhadap standar kelompok). Sedangkan perilaku tak bermoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial, karena tidak setuju dengan standar social atau kurang menyesuaikan diri dengan harapan sosial[10].

Konsep-konsep moral, terdiri dari:

1. peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan anggota kelompok atau anggota suatu budaya,

2. peraturan perilaku yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok.

Pola perkembangan moral

1. bayi yang baru lahir tidak membawa aspek moral sehingga dianggap amoral atau non moral

2. aspek moral merupakan sesuatu yang berkembang dan dikembangkan (teori psikoanalisa dan teori belajar)

Bayi tidak memiliki hierarki nilai dan suara hati. Bayi tergolong nonmoral, tidak bermoral maupun tidak amoral, dalam artian bahwa perilakunya tidak dibimbing norma-norma moral. Lambat laun bayi akan mempelajari kode moral dari orangtua, kemudian dari guru-guru, dan dari teman-teman bermain, dan juga ia belajar pentingnya mengikuti kode-kode moral ini. Belajar berperilaku moral yang diterima oleh sekitarnya merupakan proses yang lama dan lambat, tetapi dasar-dasarnya diletakan dalam masa bayi, dan berdasarkan dasar-dasar inilah bayi membangun kode-kode moral yang membimbing perilakunya bila telah menjadi besar nantinya. Karena keterbasan kecerdasannya, bayi menilai benar atau salahnya suatu tindakan menurut kesenangan atau kesakitan yang ditimbulkannya, dan bukan menurut baik atau buruknya efek suatu tindakan terhadap orang-orang lain. Karena itu, bayi menganggap suatu tindakan salah jika ia sendiri mengalami akibat buruknya. Ia tidak memiliki rasa bersalah karena kurang memiliki norma yang pasti tentang benar dan salah. Bayi tidak merasa bersalah kalau mengambil benda-benda milik orang lain karena tidak memiliki konsep tentang hak milik pribadi.

Bayi berada dalam tahap perkembangan moral yang menurut Piaget disebut moralitas dengan paksaan, yang merupakan tahap pertama dari 3 tahapan perkembangan moral. Tahap ini berakhir sampai usia tujuh tahun atau delapan tahun yang ditandai oleh kepatuhan otomatis kepada aturan-aturan tanpa penalaran atau penilaian[11]. Perkembangan moral pada awal masa kanak-kanak masih dalam tingkat yang rendah. Hal ini disebabkan karena perkembangan intelektual anak-anak belum mencapai titik di mana ia dapat mempelajari atau menerapkan prinsip-prinsip abstrak tentang benar dan salah. Ia juga tidak mengikuti peraturan karena tidak mengerti manfaatnya sebagai anggota kelompok sosial. Karena tidak mampu mengerti masalah standar moral, anak-anak harus belajar berperilaku moral dalam pelbagai situasi yang khusus. Ia hanya belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa. Dan karena ingatan anak-anak, sekalipun anak-anak yang sangat cerdas, cenderung kurang baik, maka belajar bagaimana berperilaku sosial yang baik merupakan proses yang panjang dan sulit. Anak-anak dilarang melakukan sesuatu pada suatu hari, tetapi keesokan harinya atau dua hari sesudahnya mungkin ia lupa. Jadi anggapan orang dewasa sebagai tindakan tidak patuh seringkali hanya merupakan masalah lupa. Penanaman moral kepada anak usia Taman Kanak-kanak dapat dilakukan dengan berbagai cara dan lebih disarankan untuk menggunakan pendekatan yang bersifat individual, persuasif, demokratis, keteladanan, informal, dan agamis. Beberapa program yang dapat diterapkan di Taman Kanak-kanak dalam rangka menanamkan dan mengembangkan perilaku moral anak di antaranya dengan bercerita, bermain peran, bernyanyi, mengucapkan sajak, dan program pembiasaan lainnya[12]. Awal masa kanak-kanak ditandai dengan apa yang oleh Piaget disebut ”moralitas melalui paksaan”. Dalam tahap ini anak-anak secara otomatis mengikuti peraturan-peraturan tanpa berpikir atau menilai, dan ia menganggap orang-orang dewasa yang berkuasa sebagai mahakuasa. Ia juga menilai semua perbuatan sebagai benar atau salah berdasarkan akibat dan bukan berdasarkan motivasi yang mendasarinya. Menurut sudut pandang anak-anak, perbuatan yang salah adalah yang mengakibatkan hukuman, baik oleh orang lain maupun oleh faktor-faktor alam atau gaib. Kohlberg memperinci dan memperluas tahap-tahapan perkembangan moral Piaget dengan memasukan dua tahap dari tingkat perkembangan moral pertama ini yang disebut sebagai ” moralitas prakonvensional”.  Dalam tahapan pertama, anak- anak berorientasi patuh dan hukuman dalam arti ia menilai benar dan salahnya perbuatan berdasarkan akibat fisik dari perbuatan itu. Tahap kedua, anak-anak menyesuaikan diri dengan harapan sosial agar mendapat pujian.

Apabila awal masa kanak-kanak akan berakhir lambat laun memperluas konsep sosial sehingga mencakup situasi apa saja, lebih daripada situasi khusus. Selain itu mereka menemukan bahwa kelompok sosial terlibat dalam berbagai tingkat kesungguhan pada pelbagai macam perbuatan. Pengetahuan ini kemudian digabungkan dalam konsep moral. Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas tahun konsep anak mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras dari orangtua, menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus disekitarnya. Menurut Piaget, relativisme moral menggatikan  moral yang kaku, misalnya bagi anak lima tahun, berbohong selalu buruk, sedang anak lebih besar sadar bahwa dalam beberapa hal ber bohong tidak selalu buruk. Kohlberg memperluas teori Piaget dan menambahkan tingkat kedua dari perkembangan moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat  moralitas konvensional atau moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Pada tahap ini Kohlberg menyebutkan moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan mempertahankan hubungan yang baik. Tahap kedua Kohlberg menyatakan bahwa kalau kelompok sosial menerima peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota kelompok sosial ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghindari penolakan kelompok dan celaan.

Perkembangan Kode Moral

Kode moral berkembang dari konsep-konsep moral yang umum. Pada akhir masa kanak-kanak menuju masa remaja, kode moral sangat dipengaruhi oleh standar moral dari kelompok di mana anak mengidentitaskan diri. Ini tidak berarti bahwa anak meninggalkan kode moral keluarga untuk mengikuti kode kelompok tempat ia bergabung. Ketika anak mencapai akhir masa kanak-kanak, kode moral berangsur-angsur mendekati kode moral dewasa, yang dengannya anak berhubungan dan berperilaku semakin dekat dengan standar–standar yang ditetapkan orang dewasa. Dilaporkan bahwa anak yang memiliki IQ tinggi cenderung lebih matang dalam penilaian moral daripada anak yang tingkat kecerdasannya lebih rendah, dan anak perempuan cenderung membentuk penilaian moral yang lebih matang daripada anak laki-laki[13].

Apakah proses dasar yang mendasari perilaku moral?

Skala yang dikembangkan Kohlberg hanya menyusun pemikiran moral, bukan tindakan moral. Dengan menggunakan instrumen Kohlberg, tidak selalu terdapat hubungan antara penilaian moral dan tindakan moral, contoh seseorang berbicara dengan moral tinggi belum tentu berperilaku demikian. Padahal dari sudut kemasyarakatan, salah satu ukuran moralitas adalah sejauh mana individu mampu untuk menahan godaan untuk tidak melanggar norma moral, walaupun tidak ada kemungkinan untuk diketahui atau dihukum. Seseorang yang dapat menahan godaan tanpa adanya dorongan eksternal, berarti telah menginternalisasi nilai-nilai moral tersebut pada dirinya. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana pengaruh jenis hukuman dapat mengembangkan daya tahan anak terhadap godaan. Jenis hukuman yang efektif adalah hukuman yang tegas, langsung, konsisten, dan diberikan dengan cara hangat akan membuat anak lebih dapat menahan dirinya dari perilaku yang tidak disukai. Dan akan lebih efektif jika dibantu dengan rasionalisasi kognitif dengan memberikan alasan  mengapa harus menahan diri dari perilaku yang dilarang[14].

Proses penguatan (reinforcement), dan hukuman (punishment) dianggap dapat menjelaskan cara individu belajar tentang respons tertentu dan kenapa respons individu berbeda dengan respons individu lainnya. Ketika individu diberi reinforcement untuk perilaku yang konsisten dengan hukuman dan konvensi sosial, mereka akan lebih mungkin mengulangi perilaku tersebut. Ketika ada model yang berperilaku secara moral, individu akan lebih mengadobsi perilaku tersebut. Ketika individu menerima hukuman (punishment) terhadap perilaku imoral, perilaku tersebut dapat dihilangkan, tetapi dengan akibat timbulnya persetujuan terhadap diberlakukannya hukuman setiap kali muncul kasus yang sama dan juga dapat menyebabkan efek samping emosional terhadap individu. Selain itu perilaku tergantung oleh situasi. Orang belajar bahwa perilaku bisa saja diperkuat dalam sebuah situasi tertentu tetapi tidak pada situasi yang lain, dan mereka akan berperilaku sesuai dengan hal tersebut[15].

Kontrol diri dan kekuatan menahan godaaan sangat dipengaruhi oleh faktor kognitif. Dalam sebuah penelitian, anak pra sekolah diminta untuk mengerjakan tugas yang membosankan (Mischel&Patterson, 1976). Di dekat mereka ada boneka yang dapat berbicara yang sangat menarik yang mencoba mengajak anak untuk ber main Anak yang sudah dilatih strategi instruksional diri lebih mungkin untuk mengontrol perilaku mereka dan meneruskan tugas yang membosankan dibanding anak yang tidak mendapatkan strategi instruksional diri[16].

Dari uraian tersebut, menahan godaan, reinforcement, punishment, dan situasi serta kontrol diri hanyalah beberapa hal yang mempengaruhi apakah anak berperilaku sesuai moral atau tidak. Peran dari faktor kognitif dalam ketahanan terhadap godaan dan kontrol diri menggambarkan bagaimana kognitif menjembatani pengalaman dengan lingkungan dan perilaku moral. Hubungan antara ketiga elemen ini sangat diperhatikan dalam teori kognitif sosial.

Teori kognitif sosial tentang moralitas yaitu teori yang memfokuskan pembedaan antara kompetensi moral individu (kemampuan untuk melakukan perilaku moral) dan performa moral (melakukan perilaku tersebut dalam situasi tertentu). Kompetensi moral individu adalah apa yang bisa dilakukan oleh individu, apa yang mereka ketahui, skill mereka, kesadaran mereka tentang aturan dan peraturan moral, dan juga kemampuan kognitif mereka untuk mengkonstruk perilaku. Kompetensi moral adalah dasar dari proses kognitif-sensorik. Performa moral atau perilaku, ditentukan oleh motivasi dan reward serta insentif dari perilaku dengan cara moral spesifik[17].

PERASAAN MORAL (MORAL FEELING)

Perasaan moral berkaitan dengan emosi. Ketika anak berbuat tidak benar menimbulkan rasa bersalah, dan ketika anak mampu menyenangkan orang lain timbul rasa bahagia. Menurut Ernest Hemingway, ”Moral adalah sesuatu yang setelah Anda lakukan anda merasa nyaman, dan immoral adalah sesuatu yang setelah Anda lakukan Anda merasa tidak nyaman.”

Apakah peran dari emosi dalam perkembangan moral dan bagaimana emosi tersebut berkembang?

Psikoanalisis

Menurut Sigmund Freud, rasa bersalah dan keinginan untuk menghindari perasaan bersalah adalah dasar dari perilaku moral. Secara singkat, pandangan psikoanalisis mengenai perkembangan moral adalah anak melakukan konformitas terhadap standar sosial untuk menghindari perasaan bersalah. Dengan cara ini kontrol diri menggantikan kontrol orang tua.

Indikator perilaku dari rasa bersalah dari anak prasekolah antara lain:

1. Menghindari tatapan mata (melihat ke atas atau ke bawah)

2. Ketegangan pada tubuh (menggeliat, mundur, menundukkan kepala, menutupi wajah dengan tangan)

3. Stres (terlihat tidak nyaman, menangis)

Kondisi rasa bersalah tiap anak berbeda (dalam Santrock, terjemahan edisi kesebelas, Kochanka dkk, 2002) contoh:

1. Anak perempuan mengekspresikan rasa bersalah yang lebih besar dibandingkan anak laki-laki

2. Anak dengan temperamen penakut mengekspresikan rasa bersalah yang lebih besar

3. Anak yang ibunya menggunakan disiplin berorientasi kekuatan seperti mencubit, memukul, atau meneriaki menunjukkan rasa bersalah yang lebih sedikit

Perasaan bersalah pada anak usia dini (tanpa sadar) dipahami sebagai rasa bersalah yang ditimbulkan oleh diri sendiri, namun ketika anak semakin berkembang secara sosial dan kognitif, pemicu rasa bersalah mengalami perubahan. Dalam sebuah penelitian pada anak kelas 5 SD, 2 SMP dan 2 SMA, orang tua adalah pihak yang paling mungkin membangkitan rasa bersalah individu, seiring dengan perkembangan maka prevalensi rasa bersalah yang dibangkitkan oleh anggota keluarga semakin berkurang, tetapi rasa bersalah yang disebabkan oleh pacar menjadi lebih sering.

Empati

Merasakan empati berarti beraksi terhadap perasaan orang lain dengan respons emosional yang mirip dengan perasaan orang lain tersebut (Damon, 1988). Berempati adalah menempatkan diri pada posisi orang lain secara emosional. Empati adalah keadaan emosi tetapi memiliki komponen kognitif yaitu kemampuan untuk melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain (pengambilan perspektif).  Contoh: Bayi dapat melakukan empati global yaitu respons empati bayi di mana batasan jelas mengenai perasaan dan kebutuhan diri sendiri dan orang lain belum terbentuk. Anak berusia 11 bulan ikut menangis, mengisap jempolnya atau membenamkan kepalanya dalam pangkuan ibunya setelah dia melihat anak lain jatuh dan terluka. Namun tidak semua bayi mengalami hal ini, ada bayi yang melihat kesakitan orang lain malah rasa ingin tahunya muncul. Oleh karena itu, meskipun empati global ditemukan pada beberapa bayi, hal ini tidak menjadi karakteristik perilaku semua bayi. Ketika mereka berusia 1-2 tahun, anak mungkin merasakan perhatian yang tulus terhadap kesulitan orang lain, baru ketika mereka sampai pada masa kanak-kanak awal mereka bisa merespons kesulitan orang lain tersebut. Kemampuan ini tergantung pada kesadaran yang baru pada anak bahwa orang bereaksi dengan cara berbeda pada masing-masing situasi. Pada masa kanak-kanak akhir mereka mulai merasakan empati pada orang yang tidak beruntung.

Deskripsi dari Damon mengenai perubahan dalam perkembangan empati dijelaskan dalam tabel berikut:

Periode Usia                      Empati
Masa Bayi Awal Empati global: respon empatis tidak dibedakan antara perasaan dan kebutuhan diri sendiri maupun orang lain
Usia 1-2 Tahun Muncul rasa perhatian, namun belum bisa menterjemahkan perasaan menjadi perilaku yang efektif
Kanak-Kanak Awal Anak mulai sadar bahwa perspektif orang berbeda, kesadaran ini memungkinkan anak untuk merespons dengan lebih sesuai terhadap kesulitan orang lain
10-12 Tahun Anak mengembangkan orientasi empati pada orang yang kurang beruntung. Pada masa remaja, sensitifitas yang baru terbentuk ini dapat memberikan pengaruh humanitarian terhadap pandangan ideologis dan politis seseorang

Teori psikoanalisis klasik yang berfokus pada kekuatan rasa bersalah tidak sadar dalam perkembangan moral, Damon menekankan peran empati. Namun pada masa sekarang banyak ahli perkembangan yang percaya bahwa baik emosi positif seperti empati, simpati, kekaguman dan self-esteem dan juga emosi negatif seperti marah, murka, rasa bersalah, malu berkontribusi terhadap perkembangan moral anak (Damon, 1988; Eisenberg&Fabes, 1998; Robert&Strayer, 1996). Ketika dialami secara kuat, emosi ini mempengaruhi anak untuk berbuat sesuai dengan standar benar-salah. Emosi ini menjadi dasar alamiah bagi anak untuk memperoleh nilai moral dan memotivasi mereka untuk memperhatikan kejadian yang berhubungan dengan moral. Meskipun begitu, emosi moral tidak berdiri sendiri dalam membangun kesadaran moral anak dan tida cukup untuk menghasilkan respons moral, emosi moral sangat terkait dengan aspek kognitif dan sosial dari perkembangan anak. Konteks dalam perkembangan moral yang salah satunya berasal dari orang tua yang meliputi pengasuhan, kualitas hubungan anak-orang tua dan disiplin dari orang tua, terdapat sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa secara umum anak yang bermoral cenderung memiliki orang tua yang:

1.  Hangat dan mendukung, bukan menghukum

2.  Menggunakan disiplin induktif

3. Memberikan kesempatan bagi anak dalam mempelajari dan memahami perasaan orang lain

4.  Melibatkan anak dalam pengambilan keputusan keluarga dan dalam proses  pemikiran mengenai keputusan moral

5. Menjadi model terhadap penalaran dan perilaku moral, dan menyediakan kesempatan bagi anak untuk juga melakukan hal tersebut

6. Menyediakan informasi mengenai perilaku apa yang diharapkan dan mengapa

7.  Membangun moralitas internal daripada eksternal

PERILAKU AGRESIF

Secara umum, perilaku agresif pada seorang anak digambarkan sebagai perilaku tidak mau diam/tenang, cenderung kasar dan suka menyerang. Tingkah laku agresif bisa meliputi fisik maupun verbal yang bertujuan menyakiti orang lain. Sebenarnya tingkah laku agresif ini adalah reaksi yang normal pada anak usia dini. Hal ini tampil sebagai kesiapsiagaan anak untuk melindungi dirinya agar aman, tetapi memang jika pola-pola itu menetap secara berlebihan maka akan menjadi masalah yang serius yang harus segera dikontrol. Hal ini bukan hanya untuk meniadakan perilaku agresif itu sendiri yang menyebabkan anak menjadi diasingkan oleh teman-temannya.

Dalam Papalia Olds dikatakan bahwa bentuk perilaku agresif yang paling umum dalam masa kanak-kanak dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Agresi instrumental yakni perilaku agresif yqang digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan

2. Agresi permusuhan yakni perilaku agresif yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain.

Baik pelaku agresi instrumental dan agresi permusuhan butuh bantuan dalam mengubah cara mereka memproses informasi sosial sehingga mereka tidak menginterpretasikan agresi sebagai sesuatu yang dibenarkan atau berguna. Ada beberapa jenis terapi yang ditawarkan, seperti:

1. Terapi keluarga yakni perawatan psikologis dimana seorang terapis bertemu dengan seluruh anggota keluarga secara bersamaan untuk menganalisis pola-pola fungsi keluarga

2. Terapi perilaku yakni pendekatan terapeutik menggunakan berbagai prinsip teori belajar untuk mendorong perilaku yang diinginkan atau menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan

3. Terapi seni yakni pendekatan terapeutik yang memungkinkan seseorang mengungkapkan perasaan yang mengganggu dengan menggunakan berbagai bahan dan media seni, tanpa menggunakan kata-kata

4. Terapi bermain yakni pendekatan terapeutik dimana anak bermain dengan bebas sementara terapis mengamati dan terkadang berkomentar, bertanya atau memberikan saran

5. Terapi obat yakni penggunaan obat-obatan untuk mengobati gangguan emosional ataupsikologis

Perilaku agresif sudah nampak sejak usia 2,5-3 tahun (Prof. Dr. Martini Jamaris, M.Sc.Ed dalam Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia TK, 2003). Agresif dapat ditimbulkan oleh perilaku orang tua terhadap anak, seperti membentak, mengancam, dan ditarik secara paksa dll. Perilaku yang ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak ini pada hakekatnya adalah model yang ditunjukkan oleh orang tua kepada anak tentang bagaimana berperilaku agresif. Oleh sebab itu perilaku orang tua atau guru hendaknya jangan menjadi model bagi anak untuk berperilaku agresif. Selain itu, tayangan TV pun merupakan salah satu sumber model yang dapat ditiru anak untuk berperilaku agresif.

Pendapat tersebut didukung pula oleh pakar lainnya seperti tertulis di bawah ini (dalam Psikologi Perkembangan Anak, Dr. Reni Akbar-Hawadi, 2001):

1. Anak yang agresif cenderung menampilkan sikap yang menyerang, bertingkah laku temperamental bila merasa frustasi, suka bertengkar, memilih berkelahi untuk menyelesaikan konflik, tidak mempedulikan hak dan harapan orang lain

2. Pada pengamatan langsung, anak agresif terlihat sering menakut-nakuti atau secara fisik menyerang orang lain, mengejek, mengolok, mempermalukan orang lain, atau menuntut agar keinginannya segera dipenuhi

3. Karakteristik anak dengan tingkah laku yang agresif adalah bersikap senang bermusuhan, senang menyerang secara fisik maupun verbal, sering melakukan pelanggaran terhadap milik orang lain, atau mempunyai keinginan untuk menguasai suatu hal tertentu

4. Respon agresif dapat dikategorikan ke dalam empat kategori yaitu menyerang secara fisik, menyerang dengan objek, menyerang secara verbal, serta melanggar atas milik orang lain

Faktor yang mempengaruhi tingkah laku agresif secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Dari dalam diri anak, seperti rasa frustasi dalam kehidupan sehari-hari

2. Dari luar diri anak, seperti perilaku orang-orang yang ada dalam lingkungan terdekatnya, tontonan (film) kekerasan serta hukuman fisik dari orang tua yang bertujuan untuk mendisiplinkan.

Akibat dari perilaku agresif pada anak awalnya adalah anak dikucilkan dari teman-temannya karena dianggap ‘anak nakal’. Namun, selanjutnya mungkin saja jika perilaku ini tidak teratasi anak mengalami kegagalan dalam mengembangkan sikap sosialnya dan hal ini akan menyebabkan anak memiliki konsep diri yang buruk. Karena dicap ‘nakal’ atau ‘sulit diatur’ sehingga ia sendiri merasa tidak aman dan kurang bahagia.

Penanganan preventif:

1. Pengasuhan orang tua yang selalu memenuhi tuntutan anak, selalu memberi kebebasan, berlaku submisif, menyebabkan anak berperilaku agresif. Anak akan menjadi sulit dikontrol, kurang bertanggung jawab dan menjadi pemberontak

2. Penelitian lain juga membuktikan adanya pengaruh TV bertema kekerasan, sehingga sangat perlu batasan dari orang tua bagi anak dalam mengkonsumsi acara TV

3. Anak memiliki kemampuan meniru perilaku orang sekitarnya. Untuk itu, orang tua yang sering bertengkar harus yakin bahwa anak tidak mengobservasi tingkah laku bertengkar dengan penyelesaian secara agresif

4. Ciptakan suasana gembira dalam rumah. Penelitian menunjukkan bahwa perasaan yang menyenangkan menyebabkan anak cenderung berlaku ramah pada dirinya dan orang lain

5. Berilah kesempatan pada anak untuk melatih fisik dan gerakannya. Dengan demikian anak menyalurkan ketegangan dan energi yang ada dalam dirinya

Penanganan kuratif:

1. Memberikan ‘hadiah’ pada anak setiap kali ia bermain tanpa menyakiti orang lain atau tanpa berteriak-teriak

2. Jika sikap agresif muncul, jangan berikan hukuman fisik melainkan hukuman mendidik lainnya

3. Katakan bahwa sikap agresifnya mengganggu orang lain tapi diucapkan dengan tidak menyakiti perasaannya ataupun menimbulkan hasrat perkelahian

4. Mengembangkan hasrat pertimbangan sosial dalam diri anak, misal berikan penjelasan mengenai apa yang seharusnya dapat dilakukan untuk menghindari perkelahian, apa akibat dari tingkah laku agresif yang dilakukannya. Anak perlu diajari memahami perasaan orang lain akan perbuatannya. Anak juga perlu diajari bagaimana cara menghargai milik orang lain dimana ia dapat membedakan antara miliknya dan milik orang lain

5. Mengajarkan anak keterampilan sosial agar anak memiliki keterampilan asertif

6. Mencari alternatif lain untuk melepaskan kemarahan, seperti bermain dan olah raga

7. Berilah aktivitas pada anak yang membuat ia menjadi sibuk, seperti melalui seni dan musik sebagai sarana untuk mengekspresikan diri secara ekspresif

Selain pandangan mengenai penanganan preventif dan kuratif perilaku agresif dari Reni Akbar-Hawadi, lulusan terbaik fakultas psikologi UI,  ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam menangani anak dengan perilaku agresif, yaitu:

1. Tidak membandingkan anak dengan anak lain

2. Tidak meberi cap yang tidak baik pada anak

3. Tidak terlalu menunjukkan perhatian berlebih pada tingkah laku anak

4. Tidak terlalu memaksakan anak, tapi doronglah secara perlahan namun sistematis

ALTRUISME

Altruisme memiliki definisi: 1) paham (sifat) lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain (kebalikan dari egoisme), 2) (Antr) sikap yang ada pada manusia, yang mungkin bersifat naluri berupa dorongan untuk berbuat jasa kepada manusia lain[18]. Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri[19].

Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb). Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan.

Konsep ini telah ada sejak lama dalam sejarah pemikiran filsafat dan etika, dan akhir-akhir ini menjadi topik dalam psikologi (terutama psikologi evolusioner), sosiologi, biologi, dan etologi. Gagasan altruisme dari satu bidang dapat memberikan dampak bagi bidang lain, tapi metoda dan pusat perhatian dari bidang-bidang ini menghasilkan perspektif-perspektif berbeda terhadap altruisme. Berbagai penelitian terhadap altruisme tercetus terutama saat pembunuhan Kitty Genovese tahun 1964, yang ditikam selama setengah jam, dengan beberapa saksi pasif yang menahan diri tidak menolongnya.

Altruisme, Empati dan Pro-Sosial

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Dengan kata lain, manusia membutuhkan pertolongan orang lain. Orangtua membantu anak dengan mengajarinya berbagai keterampilan sosial agar anak mampu berfungsi dengan baik sebagai anggota masyarakat. Perilaku menolong tampak pada saat terjadi bencana, contohnya pada saat tsunami di Aceh. Banyak orang memberikan sumbangan untuk membantu pemulihan korban bencana.

Perilaku altruisme merupakan perilaku menolong orang lain yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang yang ditolong, tanpa terlalu mempedulikan kesejahteraan diri dan empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan diri pada posisi orang lain dan merasakan apa yang dialami orang tersebut. Sebuah teori mengatakan bahwa jika seseorang merasakan empati terhadap orang lain, ia akan memunculkan perilaku altruisme terhadap orang tersebut (Aronson et al. dalam  OLiPH and Joey, 2006). Akan tetapi sebagian orang berpendapat bahwa, pure altruism tidak pernah ada. Motivasi seseorang untuk membantu orang lain sebenarnya terpulang pada pemenuhan kebutuhan pribadinya. Ketika seseorang menolong orang lain, ia akan merasakan kepuasan tersendiri karena telah berhasil memenuhi kebutuhannya. Sudah menjadi konsensus umum bahwa kita harus mengucapkan terima kasih atas pertolongan orang lain. Ucapan terima kasih dan mungkin disertai pujian akan meningkatkan self-esteem seseorang. Selain itu, ia akan mendapatkan reputasi baik di mata orang-orang.

Mengenai empati, empati akan muncul apabila didorong oleh motivasi tertentu. Misalnya, kita melihat seorang teman murung setelah mendapat nilai quiz yang buruk. Kita berempati terhadap orang itu karena dulu kita pernah mengalami hal itu dan kita berharap ada orang yang mau memahami dan menghibur kita. Mungkin dulu kita tidak pernah mendapatkannya. Dengan berempati pada orang itu, kita akan merasa lega karena kita tidak seburuk orang lain yang tidak mempedulikan perasaan kita. Atau mungkin juga kita tidak pernah mendapat nilai yang buruk namun kita takut bahwa suatu saat kita akan mengalaminya. Kita memproyeksikan perasaan pribadi kita kepada orang tersebut dengan berempati terhadap orang tersebut. Selain itu, mungkin kita juga berharap orang lain akan melakukan hal yang sama apabila kita mengalami kemalangan.

Namun sering kita mendengar orang yang mengeluh karena tidak ada orang lain yang membantunya saat kesusahan. Padahal ketika orang lain membutuhkan bantuannya, ia selalu menolong orang tersebut. Dalam cerita rakyat Malin Kundang, dikisahkan bahwa ibu Malin Kundang mengutuk Malin Kundang sebagai anak durhaka karena setelah pengorbanan-pengorbanan yang dilakukannya, Malin menolak mengakui ibunya. Tindakan ibu Malin memikirkan tentang pengorbanan-pengorbannya untuk Malin sudah menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar tulus membesarkan anaknya.

Dalam masyarakat Indonesia, dikenal pemeo banyak anak banyak rejeki. Berbeda dengan kebudayaan di Barat yang ‘melepas’ anaknya setelah cukup umur, kebudayaan timur menganggap bahwa anak adalah milik keluarga. Anak diharapkan dapat memperbaiki nasib keluarga dan menjadi sumber kebanggaan keluarga di masyarakat. Misalnya, ada orangtua yang ingin anaknya menjadi dokter karena profesi dokter sangat dihargai masyarakat. Oleh karena itu, mereka membesarkan anak dengan sebaik-baiknya, memberikan fasilitas sebaik yang mereka mampu. Ketika anak tidak berhasil memenuhi harapan orangtua, mereka kecewa dan mungkin menganggap anaknya tidak tahu balas budi. Kembali pada cerita Malin Kundang, ibu Malin mungkin sebenarnya juga ingin mendapatkan penghormatan masyarakat yang bersumber dari anaknya. Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa pure altruism tidak ada, dalam hubungan orangtua dan anak sekalipun.

Lingkungan masyarakat terkecil (keluarga) saja tidak ada lagi sikap saling menolong, bagaimana mungkin kita mengharapkan perilaku altruisme ini muncul di luar lingkungan keluarga, yakni di masyarakat kita sendiri?  Altruisme adalah bentuk memberi pertolongan atau bantuan secara ikhlas, tanpa pamrih.  Tidak ada kepentingan pribadi, apalagi motif menguntungkan baginya. Orang seperti ini mengabaikan diri sendiri demi kepentingan kesejahteraan, kesenangan atau keselamatan orang yang ditolong. 

Pro-sosial merupakan gambaran perilaku mudah menolong orang lain yang dilandasi faktor-faktor yang lebih luas dibanding altruisme. Sikap pro-sosial dalam diri seseorang banyak dipengaruhi kedekatan hubungan seseorang. Perilaku muncul karena adanya kecocokan, tuntutan sosial atau kepentingan pribadi. Jangankan perilaku altruisme, banyak contoh sikap maupun perilaku di berbagai berita baik koran maupun tv, sebagai gambaran perilaku pro-sosial pun semakin sulit didapat. Lihatlah sebagian besar kehidupan masyarakat metropolitan, orang lain sudah tidak lagi dipandang sebagai mahkluk yang perlu mendapat bantuan atau pertolongan.  Keluarga masing-masing sibuk dengan kepentingannya, saling tidak mau mengganggu atau diganggu.  Pengajaran maupun praktik perilaku pro-sosial,  apalagi  menolong tanpa pamrih menjadi sangat minimal dan bahkan kurang nampak.  

Mengapa Menolong ?

Harus diakui hidup di kota metropolitan sangat berbeda dengan mereka yang hidup di kota kecil. Sebagian besar aktivitas dilandasi oleh motif dan tujuan yang jelas.  Karenanya perilaku menolong orang lain tanpa motif bisa jadi sudah sulit ditemui di kota besar.  Bisa jadi ini akibat tekanan kehidupan metropolitan entah dari segi ekonomi maupun sosial. Orang hidup dalam kejaran waktu, kurang peduli dengan situasi lingkungan, rasa takut dan curiga berlebihan pada orang lain bertumbuh. Pandangan teoritis mengapa seseorang memutuskan untuk memberikan bantuan kepada orang lain menjadi kabur karena beberapa  faktor, diantaranya adalah sebagai berikut.  Pertama, orang menjadi kurang peka terhadap urusan atau masalah orang lain. Situasi atau orang  yang memerlukan bantuan dipersepsikan sebagai situasi atau hal yang umum dan biasa terjadi. Untuk memberi bantuan orang juga cenderung menilai terlebih dahulu apakah situasi tersebut memerlukan bantuan atau tidak. Kedua, ketika  “hati nurani”  sudah tidak merespon dan terusik oleh sebuah masalah, tingkat tanggung jawab menjadi berkurang, bahkan tidak ada atau merasa bukan menjadi tanggung jawabnya sehingga menajdi cuek  atau egp – emang gue pikirin.  Ketiga, bagi sebagian orang yang nuraninya tergerak, keputusan menolong baru akan dilakukan dengan terlebih dahulu memperhitungkan untung rugi.

Intinya, dengan memberikan pertolongan apakah membahayakan dirinya, menyita waktunya atau bahkan dengan menolong kemudian akan menjadikan  masalah  baginya. Sebagai contoh sering kita dengar kasus  penodongan, pencopetan atau bentuk kekerasan lain terhadap orang lain dan kita tidak bisa berbuat apapun untuk menolongnya.  Ternyata memberi bantuan atau menolong orang lain pun perlu dukungan keamanan, dalam hal ini lingkungan dan sosial yang kondusif untuk dapat mengembangkan perilaku pro-social. Meski begitu,  kita berharap perilaku pro-social tetap perlu ditingkatkan. Pendidikan baik di rumah maupun di sekolah mengenai hal ini tetap harus dilakukan. Memang tidak mudah untuk mewujudkan perilaku pro-social, khususnya pada mereka yang hidup di kota metropolitan ini. Karenanya, contoh dan teladan bagi anak-anak dari orangtua mutlak dilakukan. Semua perlu dilakukan secara dini guna menumbuhkan kepekaan dan mengasah  empathy  kita sebagai landasan  perilaku pro-social di masyarakat.  Barangkali terlalu naïf  hari gini bicara ”hati-nurani” dan  “pro-sosial”, tetapi siapa lagi kalau bukan kita yang harus mau mempraktikannya. Dukungan keluarga, lingkungan, dan sistem keamanan ditengah pergulatan mengatasi  urusan dapur masing-masing memang perlu ada terlebih dahulu.

Altruisme pada Anak-anak

Altruisme ialah suatu minat yang tidak mementingkan diri sendiri dalam menolong seseorang. Timbal balik dan pertukaran (reciprocity and exchange) terlibat dalam altruisme. Timbal balik ditemukan di seluruh dunia manusia. Timbal balik mendorong anak-anak untuk berbuat baik kepada orang lain sebagaimana mereka mengharapkan orang lain berbuat yang sama kepada mereka. Sentimen-sentimen manusia disarikan dalam timbal balik ini. Barangkali kepercayaan adalah prinsip yang paling penting dalam jangka panjang dalam altruisme. Rasa bersalah dapat muncul di permukaan kalau anak tidak membalas (melakukan timbal balik), dan kemarahan dapat terjadi kalau seseorang tidak melakukan timbal balik. Tidak semua altruisme dimotivasi oleh timbal balik dan pertukaran, tetapi interaksi dan reaksi dengan orang lain dapat menolong kita memahami hakekat altruisme. Keadaan-keadaan yang paling mungkin melibatkan altruisme ialah emosi yang empatis terhadap seseorang yang mengalami kebutuhan atau suatu relasi yang erat antara dermawan dan penerima derma. William Damon menggambarkan suatu urutan perkembangan altruisme anak-anak, khususnya berbagi (sharing). Hingga usia 3 tahun, berbagi dilakukan karena alasan-alasan yang nonempatis; pada kira-kira 4 tahun, kombinasi kesadaran empatis dan dukungan orang dewasa menghasilkan suatu rasa kewajiban untuk berbagi; pada tahun-tahun awal sekolah dasar, anak-anak mulai secara sungguh-sungguh memperlihatkan gagasan-gagasan yang lebih obyektif tentang keadilan. Pada masa ini prinsip keadilan mulai dipahami; pada tahun-tahun pertengahan dan akhir sekolah dasar, prinsip-prinsip prestasi dan kebajikan dipahami[20].

Dalam buku Psikologi Sosial karangan David O. Sears, altruisme adalah tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun atau disebut juga sebagai tindakan tanpa pamrih. Altruisme dapat juga didefinisikan tindakan memberi bantuan kepada orang lain tanpa adanya antisipasi akan reward atau hadiah dari orang yang ditolong. Definisi lain dari altruisme yaitu peduli dan membantu orang lain tanpa mengharap imbalan. Ada juga yang berpendapat altruisme adalah keadaan motivasional seseorang yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan orang lain.

Menurut Cialdini (dalam Iqbal Ali, 2009) anak adalah individu yang berusia antara 10-12 tahun, yang merupakan masa peralihan antara tahapan presosialization (tahap dimana anak tidak peduli pada orang lain, mereka hanya akan menolong apabila diminta atau ditawari sesuatu agar mau melakukannya, tapi menolong itu tidak membawa dampak positif bagi mereka), tahap awareness (tahap dimana anak belajar bahwa anggota masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka saling membantu, mengakibatkan mereka menjadi lebih sensitif terhadap norma sosial dan tingkah laku prososial), dan tahap internalization (15-16 tahun). Pada tahap ini perilaku menolong bisa memberikan kepuasan secara intrinsik dan membuat orang merasa nyaman. Norma eksternal yang memotivasi menolong selama tahap kedua sudah diinternalisasi.

Cialdini dan Kenrick (dalam IqbalAli, 2009) telah mengadakan penelitian tentang motivasi untuk menolong. Partisipan dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama anak usia 6-8 tahun dan kelompok kedua remaja berusia 15-18 tahun. Kedua kelompok mendapat perlakuan yang sama yaitu setengah dari partisipan diminta untuk berpikir tentang masa lalunya yang menyedihkan, sedangkan setengah yang lain memikirkan masa lalunya yang netral. Kedua kelompok diberi kesempatan untuk menolong orang lain yang tidak dikenal dengan memberikan beberapa kupon yang telah mereka menangkan dalam suatu permainan. Hasilnya anak yang dikondisikan dalam keadaan sedih tidak lebih termotivasi untuk menolong dibanding dalam keadaaan netral. Sebaliknya, remaja yang dikondisikan dalam keadaan sedih lebih termotivasi untuk menolong dibanding dalam keadaan netral.

Menurut teori cognitive development, salah satu proses kognitif yang terlibat dalam perkembangan sikap menolong pada anak adalah ketika anak tersebut membuat atribusi tentang penyebab tingkah lakunya sendiri sama seperti tingkah laku orang lain. Menurut beberapa peneliti sebelum 7 atau 8 tahun, anak bereaksi hanya pada karakteristik eksternal seseorang (misalnya ”rambutnya merah”), perilaku tiba-tiba (misalnya ”dia mengambil mainanku”), atau konsekuensi tingkah laku (misalnya ”dia telah menerima hadiah”). Mereka tidak fokus terhadap aspek yang tidak dapat diamati dari seseorang misalnya aspek kepribadian, sedangkan anak usia 9 atau 10 tahun sudah bisa membuat kesimpulan abstrak tentang orang lain dan memiliki kecenderungan untuk memberi atribusi seperti orang biasa terutama pada penyebab internal atau personal.

Beberapa penelitian jenis field studies pernah dilakukan dengan permasalahan apakah acara televisi yang mengandung karakter prososial mempunyai pengaruh jangka panjang terhadap tingkah laku anak-anak yang menonton acara tersebut. Sebuah studi yang dilaksanakan di Australia oleh Ahammer dan Murray (dalam IqbalAli, 2009) menemukan bahwa mempertunjukkan anak pada acara televisi yang mengandung tingkah laku prososial selama setengah jam per hari dalam kurun waktu 5 hari dapat meningkatkan sikap kooperatif dan kemauan menolong sesama pada anak-anak. Peninjauan komprehensif terhadap penelitian tentang bagaimana program televisi dengan tema prososial atau yang mengandung pesan sosial mempengaruhi anak yang menontonnya. Dia menyimpulkan bahwa program-program televisi tersebut mempunyai dampak positif yang lebih kuat kepada anak dibandingkan dampak negatif dari program yang mengandung tema agressif atau antisosial.

Hipotesis Empati Altruisme

Menurut Hipotesis Empati Altruisme yang dinyatakan oleh Batson bahwa dengan menyaksikan orang lain yang sedang dalam keadaan membutuhkan akan menimbulkan kesedihan atau kesukaran pada diri orang yang melihatnya seperti kecewa dan khawatir. Mekanisme utama dari model empati Batson ini adalah reaksi emosional terhadap masalah orang lain. Batson mengusulkan bahwa empati concern mengurangi stress atau tekanan terhadap orang lain. Empathy concern merupakan penyebab motivasional altruistik yang situasinya terletak pada identifikasi dermawan terhadap situasi genting bagi korban.

Batson (dalam IqbalAli, 2009) mengidentifikasi bahwa ada 3 cara untuk menolong. Dua cara utama bersifat egoistik. Cara pertama didasarkan pada pembelajaran sosial dan reinforcement. Cara kedua melibatkan pengurangan ketegangan dan cara ketiga mewakili altruisme. Pada cara ini persepsi kebutuhan orang lain berhubungan dengan ikatan khusus dengan orang tersebut (contohnya karena kesamaan dengan orang itu atau usaha yang disengaja untuk menempatkan diri pada posisi orang itu) menggeneralisasikan empathy concern.

Reality show adalah suatu acara yang diselenggarakan di televisi dan temanya bisa bermacam-macam, ada yang berupa pencarian bakat, hingga menjebak kekasih dan kawan. Yang membedakannya dari acara-acara televisi lainnya adalah tidak adanya naskah atau jalan cerita yang disiapkan sebelumnya dan orang-orang yang terlibat di dalamnya pun bukanlah aktor/aktris. Di Indonesia, acara ini sebenarnya sudah cukup lama diselenggarakan. Namun istilah reality show baru saja dikenal di negeri ini pada tahun 2000-an. Secara umum, ada dua jenis hiburan (reality show) di televisi kita. Pertama, suatu tontonan yang dibuat untuk tujuan tontonan itu sendiri, hiburan untuk hiburan. Reality show dibuat dengan bertumpu pada kejutan untuk kejutan itu sendiri. Di sana kita tak akan menemukan nilai apa-apa selain hiburan itu sendiri. Segala usaha mendramatisasi tontonan hanya untuk mencapai efek guncangan yang segar dan bukan untuk tujuan yang lain. Semua selesai ketika pertunjukan berakhir karena hanya untuk melayani ekstase hiburan dalam arti yang sebenar-benarnya. Kedua, jenis yang mengandung nilai-nilai tertentu di dalamnya, seperti nilai moral atau yang lainnya. Contohnya adalah reality show Tolong yang dibuat Helmi Yahya itu. Di situ penonton dapat menangkap pentingnya menumbuhkan naluri saling menolong sesama tanpa pretensi, suatu kepekaan sosial yang harus muncul secara spontan sebagai bagian inheren dari watak positif individu yang tak dapat direkayasa secara instan, tetapi suatu bentukan pribadi yang tertanam secara utuh.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar reni-Hawadi, 2001. Psikologi Perkembangan Anak. Grasindo, Jakarta.

Hurlock, Elizabeth B, 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang rentang Kehidupan Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta.

Iqbal,Ali (2009). Altruisme: Helping Without Selfish. [Online]. Tersedia:  http://kammium.wordpress.com/2009/01/17/altruisme.helping.without.selfish. [22Oktober2009]

Jamaris Martini, 2003. Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman kanak-kanak. UNJ, Jakarta.

Olds Felman Papalia, 2009. Perkembangan Manusia, Terjemahan Edisi Kesepuluh Buku 1. Salemba Humanika, Jakarta.

OLiPH and Joey (2006) Empathy-Altruism: The Existence. [Online]. Tersedia:  Error! Hyperlink reference not valid.. [22Oktober2009]

Purwakanian Hasan, Aliah B, 2008. PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ISLAM, Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian. PT.GRAFINDO PERKASA, Jakarta, 2008

Radyaswati, A (2008) Sikap Menolong Tumbuh di Keluarga [Online]. Tersedia: http://www.Kompas.com//real/xml/2008/06/19105185544/ sikap.menolong.Tumbuh.  di.keluarga [22Oktober2009]

Santrock, john W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga, 2007.

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/etika/etika-dan-moral

http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Piaget

http://suficinta.wordpress.com/2008/04/07/buah-fikir-kohlberg-bagi-filsafat-moral/

http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/18934

http://findaricles.com/p/articles/mi_gf02_0003/ai_2602000337


[1] Mulyani Sri, Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tentang Etika (2).       http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=7672

[2] Ibid

[5] Aliah B, Purwakania Hasan, 2006. Psikologi Perkembangan Islami. Menyingkapi rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian.Rajagrafindo Perkasa, Jakarta

[6] Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga, 2007

(7) http;//id.wikipedia.org/wiki/jean_piaget

[11]  Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta.

[13] Hurlock, Elizabeth B, 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang  Kehidupan Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta.

[14]   Purwakanian Hasan, Aliah B, 2008. Psikologi Perkembangan Islam, Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian. PT.Grafindo Perkasa, Jakarta, 2008.

[15] Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga, 2007.

[16] Ibid

[17] Ibid

(18) http;//bahtera.org/kteglo/?mod=dictinionary&action=view&phrase=altruisme

(19) http;//id.wikipedia.org/wiki/altruisme

Pemerolehan Bahasa Kedua

Posted: Maret 4, 2011 in Uncategorized

PENDAHULUAN

Semua manusia termasuk mereka yang hidup didalam hutan rimba dan pulau-pulau terpencil menggunakan bahasa untuk saling berkomunikasi. Apapun yang dilakukan oleh manusia ketika berinteraksi dengan sesamanya, entah itu ketika bermain, berkelahi, bercinta atau melakukan transaksi jual beli, mereka berbicara dengan tatap muka, terkadang juga kita berbicara  melalui telepon. Terkadang kita bicara dengan menggunakan kata-kata lisan, terkadang cukup dengan menggunakan fasilitas sms di handpone kita. Singkat kata dalam kehidupan kita hampir tidak ada waktu berlalu tanpa kita berbicara, bahkan dalam tidur pun terkadang kita masih berbicara. Sebagian dari kita malah berbicara kepada hewan peliharaan, sebagian lagi malah senang berbicara sendiri. Kajian dan Fenomena Bahasa Kedua ini pertama kali dilakukan oleh Thomas Mowbray setelah Raja Richard memindahkan dia dari Inggris ke Perancis. Dalam perkataan Thomas Mowbray kita dapatkan kekhawatiran umum bagi yang harus meninggalkan bahasa aslinya dan kebudayaan asli guna menyesuaikan ke dalam sekelilingnya dan menguasai bahasa yang baru. Sebab periode itu Mowbray merasa tidak mampu untuk mengekspresikan dirinya dalam bahasa baru seperti bahasa aslinya sendiri. Problem Mowbray ini bersifat umum. Mempelajari bahasa kedua terjadi di seluruh dunia karena berbagai sebab seperti imigrasi, kebutuhan perdagangan dan ilmu pengetahuan serta pendidikan. Belajar bahasa lain mungkin menjadi penting dalam aktivitas intelektual manusia setelah menguasai bahasa ibu. Oleh karena itu tidaklah heran bahwa riset di bidang ini menjadi sangat menarik dalam ilmu pengetahuan kognitif. Sebab begitu kompleksnya dalam penguasaan bahasa kedua[1].

Sejak zaman dahulu, Negara inggris dikenal sebagai kerajaan dengan kesenian yang memiliki kebudayaan dan kesenian yang menarik serta cara dan perilaku yang sopan dalam kehidupan sehari-harinya pada abad ke XVI-XIX, pelatihan untuk berbagai tatacara serta etika hanya bisa didapatkan oleh kalangan tertentu saja, teutama dikalangan para bangsawan inggris, sehingga terbentuk kesenjangan social yang sangat mencolok antar kalangan atas dan kalangan menengah bawah. Pada abad ke XX barulah pelatihan etika tersebut mulai oleh berbagai kalangan masyarakat inggris termasuk berbagai masyarakat yang berasal dai kalangan menengah ke bawah[2].. Jika dilihat dari segi tatacara dan etika dalam kehidupan sehari-hari, Negara kerajaan Inggris merupakan salah satu negara benua eropa yang diakui secara internasional memiliki etika yang dianggap sebagai sifat sopan. Oleh karena itu banyak usaha dilakukan oleh berbagai kalngan masyarakat dari berbagai Negara untuk mempelajari kebudayaan dan etika dari masyarakat Negara kerajaan Inggris. Dalam hal ini, baik Inggris maupun Indonesia telah bertindak secara suka-suka didalam membuat kesepakatan umum mengenai kata-kata penyebutan benda-benda hasil kebudayaan yaitu table (meja) dan chair (kursi) didalam bahasanya masing-digunakan oleh manusia adalah faktor cuaca dan budaya. Penggunaan bahasa dikalangan umat manusia merupakan suatu fenomena yang bersifat universal dan jumlah bahasa yang digunakan sangat banyak, yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Perbedaan diantara bahasa-bahasa yang digunakan ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya karena bahasa itu merupakan suatu convention (kesepakatan umum) yang bersifat arbitrary (suka-suka). Setiap orang biasanya hanya mampu berbicara dengan menggunakan satu bahasa saja yaitu, bahasa yang ia peroleh secara otomatis dan wajar karena biasa digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh orang-orang yang berada diluar lingkungan kelompok masyarakatnya. Ia tidak memahami bahasa-bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi oleh orang-orang yang berada diluar lingkungan kelompok masyarakatnya. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh seseorang didalam lingkungan kelompok masyarakatnya, yang dia peroleh secara alamiah dan wajar sejak lahir disebut bahsa ibu atau bahasa pertamaorang tersebut, sedangkan bahasa yang digunakan untuk berkominikasi oleh orang-orang di luar lingkungan kelompok masyarakatnya dinamakan bahasa asing yang apabila dipelajari oleh orang tersebut akan menjadi bahasa keduanya. Istilah bahasa kedua atau second language digunakan untuk menggambarkan bahasa-bahasa apa saja yang pemerolehannya/penguasaannya dimulai setelah masa anak-anak awal (early childhood), termasuk bahsa ketiga atau bahasa-bahasa lain yang dipelajari kemudian. Melihat keadaan dunia sekarang yang semakin go internasional dimana teknologi mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga banyak teknologi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Hal ini menyebabkan terjadinya interaksi antara Negara yang satu dan Negara lainnya semakin bebas dan terbuka, maka akan lebih baik jika masyarakat mempelajari suatu hal yang bersifat diakui secara internasional seperti halnya bahasa inggris yang digunakan dan dipelajari di setiap Negara yang bahasa internasional, maka akan bermanfaat juga bagi masyarakat jika mempelajari kebudayaan serta etika yang juga diakui secara internasional sebagai kepribadian yang sopan.

PEMBAHASAN

Pengertian Pemerolehan Bahasa Kedua

Sebelum membahas pengertian pemerolehan bahasa kedua, pertama-tama yang harus diketahui adalah istilah pemerolehan. Menurut Dardjowidjojo[3] dalam bukunya “Psikolinguistik”, istilah pemerolehan dipakai untuk menerjemahkan bahasa Inggris acquisition, yang diartikan sebagai proses penguasaan bahasa secara alami dari seorang anak saat ia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini berbeda dari istilah pembelajaran yang dalam bahasa Inggris adalah learning. Dalam pengertian pembelajaran, proses itu berada dalam suasana yang formal, belajar di kelas serta ada seorang guru yang mengajar. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses seorang anak belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses orang dewasa yang belajar di kelas adalah pembelajaran.

Menurut Wikipedia[4], pemerolehan bahasa kedua adalah proses seseorang belajar bahasa kedua disamping bahasa ibu mereka. Pemerolehan bahasa kedua merujuk kepada apa yang siswa lakukan dan tidak merujuk kepada apa yang guru lakukan. Penelitian pemerolehan bahasa kedua mempelajari psikologi dan sosiologi dari proses pembelajaran. Terkadang istilah “pemerolehan” dan “pembelajaran” tidak diperlakukan sebagai sinonim tapi justru mengacu pada aspek sadar dan bawah sadar dari masing-masing proses. Bahasa kedua atau B2 biasanya mengacu pada semua bahasa yang dipelajari setelah bahasa ibu mereka, yang juga disebut bahasa pertama, B1.

Di Indonesia, bahasa pertama dari seorang anak yang tinggal di Jawa Tengah, bisa jadi bahasa daerahnya, yaitu bahasa Jawa. Dalam bukunya “Sosiolinguistik”, Chaer dan Agustina[5] menulis bahwa pada umumnya, bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing-masing karena bahasa Indonesia baru dipelajari ketika anak masuk sekolah dan ketika ia sudah menguasai bahasa ibunya. Menurut sebuah blog di dalam sebuah situs[6], elemen-elemen dari sebuah bahasa yang baru, seperti perbendaharaan kata, komponen fonologi dan struktur tata bahasa dikembangkan serupa dengan tahap pembelajaran yang bayi tempuh ketika memperoleh bahasa pertama: babbling (bababa), perbendaharaan kata (milk lalu kemudian milk drink), penolakan (no play) dan membentuk pertanyaan ( where she go). Pada usia 6 sampai 7 tahun ke atas, anak mulai membagi kedua bahasa tersebut. Dibandingkan dengan pemerolehan bahasa pertama, proses pemerolehan bahasa kedua tidak linear, tapi lebih seperti jalan yang zigzag. Menurut Krashen seperti yang dikutip oleh blog tersebut, untuk anak-anak ini, bahasa kedua adalah hal yang dipelajari daripada diperoleh. Dalam beberapa kasus, bahasa kedua diajarkan lewat instruksi formal dan dipelajari lewat proses sadar yang berakhir dengan “mengetahui tentang bahasa”. Di samping itu, gangguan dari bahasa ibu seperti: fonologi, morfologi dan sintaks memengaruhi bahasa kedua mereka dan menciptakan kesulitan. Mereka mungkin saja kesulitan mengenali beberapa suara dari bahasa baru atau kesulitan menggerakkan mulut dan lidah mereka dalam cara yang tidak biasa (sehingga mengakibatkan aksen yang berbeda). Lebih lanjut, kesadaran diri dan motivasi pelajar ketika mencoba bahasa baru mungkin juga menjadi masalah dalam proses pemerolehan. Karena itu, untuk mencapai pemerolehan, anak harus terus menerus mendapat penerapan bahasa kedua yang benar dalam banyak konteks linguistik yang berguna bagi mereka.

Karakteristik Perkembangan Bahasa Anak Usia 0-6 tahun

Age Language Developments
Birth to 1 month Infant communicates by crying and recognizes sounds heard in womb
1-6 months Infant coosv  Infant recognizes familiar words
6-12 months Infant recognizes sounds in native languagev  Infant babbles,  then imitates language sounds. Infant may say first words
12-18 months Toddler overextends word meanings
18-30 months Naming explosion takes placev  First sentences are often            telegraphicv  Child begins to engage in conversationsChild overregularizes language rules
30-36 months Child learns new words almost dailyv  Child combines three or more words, and can say up to 1,000 wordsv  Child uses past tense
3-4 years Vocabulary, grammar and syntax are improving and more complexv  Emergent literacy skills are developingv  Private speech increases
5-6 years Speech is almost adultlike, and spoken vocabulary is about 2,600 wordsv  Child understands about 20,000 wordsv  Child can retell plots

Karakteristik ini diambil dari Human Development[7].

Universal bahasa: nature dan nurture

Dalam perbincangan mengenai proses pemerolehan bahasa terdapat perdebatan sengit di kalangan ahli bahasa mengenai sifat pemerolehan bahasa yaitu mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dan yang kedua adalah pemerolehan bahasa yang bersifat nature. Menurut para ahli bahasa, pemerolehan bahasa yang bersifat nurture berarti bahwa pemerolehan bahasa seseorang itu ditentukan oleh lingkungan sekitar dimana ia berada, sedangkan pemerolehan bahasa yang bersifat nature berarti bahwa pemerolehan bahasa itu pada dasarnya merupakan suatu bekal yang telah dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan ke dunia. Para pendukung pemerolehan bahasa yang bersifat nurture pada umumnya adalah para ahli bahasa dari aliran behaviorisme sedangkan para pendukung pemerolehan bahasa yang bersifat nature umumnya adalah mereka yang berasal dari aliran nativisme. Oleh karena itulah, pembahasan mengenai nurture dan nature ini tidak terlepas dari kedua aliran tersebut. Kedua sifat pemerolehan bahasa tersebut diatas merupakan topik yang cukup menarik bagi penulis untuk dibahas disini karena menurut beberapa pihak masalah nature dan nurture ini masih merupakan suatu kontroversi yang belum ditemukan jalan keluarnya sedangkan menurut pihak lain, keduanya telah menjadi sesuatu yang sesungguhnya sama-sama diperlukan dalam pemerolehan bahasa. Pada bagian pembahasan dari tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga  bagian utama, yang pertama adalah pembahasan mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dari sudut pandang para ahli yang mendukungnya, bagian kedua adalah pembahasan mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nature dari sudut pandang para ahli yang mendukungnya, dan bagian yang ketiga adalah contoh kasus yang menunjukkan bahwa baik nurture maupun nature ternyata sama-sama diperlukan dalam proses pemerolehan bahasa seseorang.

Nurture

Bagian ini membahas proses pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dari sudut pandang beberapa ahli yaitu Ivan Pavlov, John B. Watson dan B.F. Skinner. Pada intinya yang dimaksud dengan proses pemerolehan bahasa yang bersifat nurture adalah bahwa proses pemerolehan bahasa seseorang itu merupakan suatu kebiasaan yang dapat diperoleh melalui proses pengkondisian (Brown, 2000:34).  Anak-anak memberikan respon kebahasaan melalui pemberian stimuli yang terus diperkuat dan mereka belajar memahami ujaran dengan cara memberikan respon terhadap ujaran tersebut dan dengan cara mendapat penguatan atas respon yang diberikannya. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli behaviorisme yang sangat meyakini bahwa anak-anak hadir di dunia disertai dengan sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis yang bersih tanpa ada pemahaman sebelumnya atas dunia maupun atas bahasa, dan bahwa anak-anak tersebut kemudian dibentuk oleh lingkungan mereka dan perlahan-lahan terkondisikan melalui beragam jadwal penguatan (Brown, 2000:22).

Ivan Pavlov

Ivan Pavlov adalah seorang ahli psikologi dari Rusia yang melaksanakan serangkaian eksperimen yang kemudian terkenal dengan sebutan classical conditioning. Dalam eksperimennya tersebut Pavlov menggunakan anjing sebagai subyek. Pavlov kemudian memeroleh kesimpulan bahwa stimuli netral awal yang berupa suara dari garpu yang dibunyikan menghasilkan kekuatan yang mendatangkan respon yang berupa pengeluaran air liur anjing yang pada mulanya dihasilkan dari stimuli lain yaitu penglihatan atau bau makanan anjing. Dengan demikian maka Pavlov telah membuktikan bahwa proses belajar itu terdiri dari pembentukan beragam asosiasi antara stimuli dan respon refleksif (Brown, 2000:80).

John B. Watson

John B. Watson adalah seorang psikolog yang menemukan istilah behaviorisme dan sekaligus menemukan suatu aliran ilmu psikologi baru yang menyatakan bahwa para psikolog seharusnya hanya terfokus pada perilaku yang dapat diamati secara langsung. Lebih jauh, menurut Watson, pada dasarnya pernyataan-pernyataan ilmiah dapat selalu diverifikasi (atau dibantah) oleh siapapun yang mampu dan bersedia untuk melakukan observasi yang diperlukan. Namun kemampuan ini tergantung pada kegiatan untuk memelajari hal-hal yang dapat diamati secara obyektif. Menurutnya proses kejiwaan bukan merupakan sebuah subyek yang tepat bagi studi ilmiah karena proses kejiwaan merupakan peristiwa pribadi yang tidak ada seorangpun yang dapat melihat atau menyentuhnya. Sedangkan perilaku merupakan respon atau aktifitas yang jelas atau dapat diamati oleh sebuah organisme. Maka Watson menegaskan bahwa para psikolog dapat memelajari apapun yang dilakukan atau dikatakan orang –berbelanja, bermain catur, makan, memuji seorang teman- namun mereka tidak dapat memelajari secara ilmiah pikiran, harapan, dan perasaan yang mungkin menyertai perilaku tersebut.

Berangkat dari pandangan barunya terhadap psikologi tersebut dan dengan berpegangan pada temuan Pavlov yaitu dengan menggunakan teori classical conditioning maka Watson menyatakan bahwa penjelasan atas segala bentuk pembelajaran adalah dengan melalui proses pengkondisian maka manusia membentuk sejumlah hubungan stimuli-respon, dan perilaku manusia yang lebih kompleks dipelajari melalui cara membangun serangkaian atau rantai-rantai respon (Brown, 2000:80).

Dengan demikian Watson mengambil posisi yang ekstrim terhadap salah satu pertanyaan psikologi yang tertua dan paling mendasar yaitu masalah mengenai nature dan nurture. Watson menyatakan bahwa setiap orang itu dibentuk menjadi apa adanya mereka kemudian dan bukan dilahirkan. Ia mengabaikan pentingnya keturunan, dengan menyatakan bahwa perilaku ditentukan sepenuhnya oleh lingkungan. Namun pandangan Watson tersebut tidak pernah mendapat kesempatan untuk diuji lebih lanjut. Meskipun demikian tulisan-tulisannya memberikan sumbangan yang cukup besar bagi elemen lingkungan yang seringkali dihubungkan dengan behaviorisme.

B.F. Skinner

Seorang ahli bahasa lain yang juga berkecimpung dalam teori behaviorisme dan mengikuti jejak dan tradisi Watson adalah B.F. Skinner, seorang psikolog Amerika yang hidup pada tahun 1904 sampai dengan 1990. Setelah memperoleh gelar doktor pada tahun 1931, Skinner menghabiskan sebagian besar karirnya di Universitas Harvard tempat ia memeroleh kemasyuran atas penelitiannya terhadap pembelajaran pada organisme rendah, sebagian besar pada tikus dan burung dara. Pada tahun 1950-an ia memperjuangkan kembalinya pendekatan stimulus-respon milik Watson. Ia memiliki teori klasik yaitu Verbal Behavior yang merupakan usaha lanjutan dari teori umum pembelajaran Skinner sendiri yang disebut dengan pengkondisian operan (operant conditioning). Skinner melakukan eksperimen terhadap tikus dimana ia melatih tikus untuk mendapatkan makanan dengan menekan pedal tertentu. Setelah tikus tersebut mendapatkan pengetahuan bahwa jika ia ingin makan maka ia harus menekan pedal, kemudian proses untuk memeroleh makanan dipersulit dengan menyalakan lampu dimana sebelum mendapatkan makanan ia harus menekan pedal ketika lampu berkedi-kedip. Proses berikutnya adalah penekanan pedal sebanyak dua kali ketika lampu berkedip-kedip yang juga dapat dipahami oleh tikus tadi (Dardjowidjojo, 2003:235). Maka apa yang dimaksud dengan pengkondisian operan oleh Skinner adalah pengkondisian dimana organisme (manusia) menghasilkan suatu respon, atau operan (sebuah kalimat atau ujaran atau aktifitas-aktifitas yang beroperasi atas dasar lingkungan), tanpa adanya stimuli yang dapat diamati; operan tersebut dijaga (dipelajari) melalui penguatan (reinforcement) (Brown, 2000:22-23). Teori Skinner ini menerangkan bagaimana berbagai kecenderungan respon dicapai melalui pembelajaran. Jika respon diikuti oleh konsekuensi yang menguntungkan atau disebut juga penguatan, maka respon tersebut menguat dan jika respon menghasilkan konsekuensi negatif  atau hukuman), maka respon tersebut akan melemah. Melalui eksperimennya tersebut, Skinner menemukan bahwa pemerolehan pengetahuan, termasuk pengetahuan mengenai bahasa merupakan kebiasaaan semata atau hal yang harus dibiasakan terhadap subyek tertentu yang dilakukan secara terus-menerus dan bertubi-tubi (Dardjowidjojo, 2003:235).

Dalam bukunya Diluar Kebebasan dan Martabat (Beyond Freedom and Dignity) yang diterbitkan tahun 1971 Skinner menyatakan bahwa semua perilaku sepenuhnya diatur oleh rangsangan eksternal. Dengan kata lain, perilaku manusia ditentukan oleh cara-cara yang dapat diprediksi oleh prinsip-prinsip hukum, seperti halnya terbangnya anak panah yang diatur oleh hukum-hukum fisika. Maka, jika seseorang meyakini bahwa tindakan-tindakannya merupakan hasil-hasil dari keputusan-keputusan secara sadar, maka ia keliru. Menurut Skinner, semua manusia dikendalikan oleh lingkungannya, bukan oleh dirinya sendiri.

Selanjutnya, dengan mengikuti tradisi Watson, Skinner menunjukkan minat yang kecil terhadap apa yang terjadi “di dalam” diri manusia. Ia menyatakan bahwa adalah sia-sia untuk berspekulasi terhadap proses-proses kognitif pribadi yang tidak dapat diobservasi. Melainkan, ia memfokuskan pada bagaimana lingkungan eksternal membentuk perilaku yang jelas. Ia menyatakan adanya determinisme, yang menilai bahwa perilaku sepenuhnya ditentukan oleh stimuli lingkungan. Menurut pandangannya, orang cenderung menunjukkan beberapa pola perilaku karena mereka memiliki kecenderungan-kecenderungan respon  (response tendencies) yang stabil yang mereka capai melalui pengalaman. Kecenderungan-kecenderungan respon tersebut dapat berubah di masa mendatang, sebagai hasil dari pengalaman baru, namun mampu terus bertahan untuk menciptakan tingkat konsistensi tertentu dalam perilaku seseorang.

Lebih lanjut, Skinner memandang pribadi seorang individu sebagai sebuah kumpulan kecenderungan-kecenderungan respon yang terikat pada berbagai situasi stimuli. Sebuah situasi tertentu dapat dihubungkan dengan sejumlah kecenderungan respon  yang bervariasi dalam kekuatan tergantung pada pengkondisian di masa lalu. Karena kecenderungan-kecenderungan respon secara konstan diperkuat atau diperlemah oleh pengalaman-pengalaman baru, teori Skinner memandang perkembangan kepribadian sebagai sebuah perjalanan yang berkelanjutan seumur hidup. Skinner tidak melihat alasan untuk membagi proses perkembangan ke dalam beberapa tahap. Ia juga tidak memberikan importansi khusus pada pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak.

Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa, Skinner adalah seseorang yang mendukung nurture, karena baginya, setiap ujaran yang diucapkan manusia sesungguhnya mengikuti satu bentuk yang bersifat baik verbal maupun nonverbal dan perilaku bahasa semacam ini hanya dapat dipelajari manusia dari lingkungan atau faktor-faktor eksternal yang ada di sekitarnya (Pateda, 1991:99). Dengan demikian ia mempertegas dan memperjelas pandangan bahwa stimuli adalah hal yang terpenting dalam proses pemerolehan bahasa karena pada dasarnya stimuli yang memengaruhi respon.

Dalam hubungannya dengan aliran behaviorisme sendiri, menurut Lyons (1977:122) terdapat prinsip atau kecenderungan khusus yang menyatakan bahwa aliran ini cenderung memperkecil peran insting dan dorongan-dorongan yang dibawa sejak lahir dan penekanan atas peran yang dimainkan oleh pembelajaran dimana hewan dan manusia memperoleh pola-pola perilaku mereka; menekankan pada pemupukan (nurture) dan bukan pada sifat alami (nature), lebih menekankan pada lingkungan ketimbang pada faktor keturunan.

Selanjutnya Bell (1981:24) mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:

1.   Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi memiliki pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja yang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari penjelasan.

2.   Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang diawali dengan peniruan.

3.   Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang baik pula.

4.   Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan begitu sering sehingga respon yang diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.

Nature

Bagian ini membahas proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature dari sudut pandang beberapa ahli, yaitu Noam Chomsky, Derek Bickerton dan David McNeill. Pada dasarnya yang dimaksud dengan proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah bahwa proses pemerolehan bahasa ditentukan oleh pengetahuan yang dibawa sejak lahir dan bahwa properti bawaan tersebut bersifat universal karena dialami atau dimiliki oleh semua manusia (Brown, 2000:34).

Noam Chomsky

Sebagai wujud dari reaksi keras atas behaviorisme pada akhir era 1950-an, Chomsky yang merupakan seorang nativis menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa itu bersifat nurture atau dipengaruhi oleh lingkungan. Chomsky berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada nature karena menurutnya ketika anak dilahirkan ia telah dengan dibekali dengan sebuah alat tertentu yang membuatnya mampu memelajari suatu bahasa. Alat tersebut disebut dengan Piranti Pemerolehan Bahasa (language acquisition device/LAD) yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:235-236).

Skinner dipandang terlalu menyederhanakan masalah ketika ia menyama-ratakan proses pemerolehan pengetahuan manusia dengan proses pemerolehan pengetahuan binatang, yaitu tikus dan burung dara yang digunakan sebagai subyek dalam eksperimennya, karena menurut pendekatan nativis, bahasa bagi manusia merupakan fenomena sosial dan bukti keberadaan manusia (Pateda, 1991:102). Selain itu ada pula alasan lain mengapa pendekatan nativis merasa tidak setuju terhadap teori Skinner. Alasan tersebut berhubungan dengan bahasa itu sendiri, yaitu menurut para nativis bahasa merupakan sesuatu yang hanya dimiliki manusia sebab bahasa merupakan sistem yang memiliki peraturan tertentu, kreatif dan tergantung pada struktur (Dardjowidjojo, 2003:236). Masih dalam kaitannya dengan bahasa, karena tingkat kerumitan bahasa pula, maka kaum nativis berpendapat bahasa merupakan suatu aktivitas mental dan sebaiknya tidak dianggap sebagai aktivitas fisik, inilah sebabnya mengapa pendekatan nativis disebut juga dengan pendekatan mentalistik (Pateda, 1991:101).

Derek Bickerton

Pendukung lain dari proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah Derek Bickerton (Brown, 2000:35). Ia melakukan sejumlah penelitian mengenai bekal yang dibawa manusia sejak lahir (innateness) dan mendapatkan beberapa bukti yang cukup signifikan. Bukti-bukti tersebut mengungkapkan  bahwa manusia itu sesungguhnya telah “terprogram secara biologis” untuk beralih dari satu tahap kebahasaan ke tahap kebahasaan berikutnya dan bahwa manusia terprogram sejak lahir untuk menghasilkan sifat-sifat kebahasaan tertentu pada usia perkembangan yang tertentu pula (Brown, 2000:35). Dengan demikian pemerolehan bahasa tidak ditentukan oleh proses kondisi yang diberikan pada anak namun ditentukan oleh proses yang berjalan dengan sendirinya sejak anak lahir ke dunia seiring dengan kematangan pengetahuan bahasa dan usia anak tersebut.

David McNeill

Dalam Brown (2000:24) menyatakan bahwa LAD terdiri dari empat properti kebahasaan bawaan, yaitu:

1.   Kemampuan untuk membedakan bunyi ujaran manusia (speech sounds) dari bunyi lain dalam lingkungan

2.   Kemampuan untuk mengorganisir data kebahasaan menjadi beragam kelas yang dapat diperhalus atau diperbaiki di kemudian hari

3.   Pengetahuan bahwa hanya jenis sistem kebahasaan tertentu yang mungkin untuk digunakan dan jenis sistem lainnya tidak mungkin untuk digunakan

4.   Kemampuan untuk melakukan evaluasi secara konstan terhadap sistem kebahasaan yang terus berkembang sehingga dapat membangun sistem yang paling sederhana dari masukan kebahasaan yang ada.

Sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana manusia mempelajari bahasa, Bell (1981:24) juga berusaha mengajukan beberapa pandangan Chomsky, yaitu:

1.   Aktivitas yang terjadi di dalam pikiranlah, misalnya cara memproses, menyimpan dan mengambil pengetahuan dari simpanan tersebut, yang merupakan pusat perhatian utama dan bukan perwujudan secara fisik dari pengetahuan.

2.   Pembelajaran merupakan masalah “penerimaan secara masuk akal” dari data yang diterima otak melalui panca indera.

3.   Kemampuan individu untuk merespon situasi baru dimana jika hanya berbekal kebiasaan stimuli-respon semata tidak akan dapat membuat individu tersebut siap.

4.   Pembelajaran merupakan suatu proses mental karena adalah lebih baik untuk mengetahui dan tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata daripada berkata-kata tanpa pemahaman.

Contoh Kasus Nature dan Nurture

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang menunjukkan bahwa baik nurture maupun nature ternyata sama-sama diperlukan dalam proses pemerolehan bahasa manusia.

1. Secara umum bayi memberikan reaksi dan menunjukkan aktivitas berbahasa terhadap lingkungan di sekitarnya meskipun ia tidak menyadari aktivitas tersebut. Ia mencoba mengeluarkan sejumlah potensi berupa bunyi bahasa atau kata dan secara teratur ia melakukan pengulangan. Jika tidak mendapat respon berupa pengakuan dari lingkungannya, seperti ayah, ibu atau saudaranya, maka bayi mengubah potensi tersebut dan mengulangi proses yang sama sampai ia mendapatkan pengakuan dari lingkungan (Pateda, 1991:102).

2.  Di sebuah desa di Perancis, pada tahun 1800, ditemukan anak laki-laki berusia 11-12 tahun yang tinggal di hutan dan sering menyusup ke desa untuk mencari makan. Ketika tertangkap dan dididik oleh direktur Institut Tuna Rungu yaitu Dr. Sicard, anak tersebut tidak dapat berbicara seperti manusia lain. Kemudian ia dididik oleh ahli lain, Jean-Marc-Gaspard Itard. Dibawah asuhan dan didikan yang baru ini, pola laku kehidupan Victor, nama yang diberikan pada anak laki-laki tersebut, dapat berubah namun tetap tidak mampu menggunakan bahasa (Dardjowidjojo, 2003:236-237).

3.  Di Los Angeles, pada tahun 1970, ditemukan seorang anak perempuan yang disekap oleh orang tuanya di gudang belakang rumahnya. Selama 13 tahun ia tinggal dan sering disiksa ayahnya di dalam gudang tersebut, dan hanya diberi makan namun tidak pernah diajak berbicara oleh orang tuanya. Setelah diselamatkan, anak perempuan tersebut diberi nama Ginie kemudian dilatih agar dapat berbahasa selama 8 tahun, namun ternyata sama halnya dengan Victor pada kasus sebelumnya, ia tetap tidak mampu menggunakan bahasa (Dardjowidjojo, 2003:237).

4.   Di Ohio, seorang anak perempuan berusia 6,5 tahun, yaitu Isabelle, diasuh oleh ibunya yang tuna wicara. Ia kemudian diasuh oleh Marie Mason, seorang pimpinan rumah sakit, dengan cara yang normal, dan ternyata Isabelle mampu menggunakan bahasa seperti anak-anak normal lainnya (Dardjowidjojo, 2003:237). Pada contoh kasus pertama yang berhubungan dengan bayi pada umumnya, tampak bahwa memang manusia mempunyai bekal bawaan atau nature untuk menguasai bahasa dan dengan dibantu nurture maupun pengaruh dari lingkungan seperti orang tua atau saudaranya, bayi tersebut mampu mengembangkan bekal bawaannya tersebut sampai akhirnya ia dapat menggunakan bahasa dengan sempurna. Sedangkan pada contoh kasus kedua dan ketiga, meskipun Victor dan Isabelle juga memiliki kemampuan bawaan untuk menguasai bahasa atau nature, namun karena tidak adanya pengaruh dari lingkungan semenjak mereka dilahirkan atau nurture, Victor tinggal di hutan dan Ginie yang meskipun tinggal dengan orangtuanya sendiri namun hanya disiksa dan tidak pernah diajak bicara, maka usaha yang diupayakan ketika mereka telah berusia lebih dari 10 tahun agar kedua anak tersebut dapat menggunakan bahasa menjadi sia-sia belaka. Untuk kasus keempat, yaitu Isabelle, proses pemerolehan bahasa yang bersifat nurture yang diberikan di usia yang tergolong lebih muda daripada Victor dan Ginie, yaitu 6,5 tahun, ternyata memberikan bantuan yang cukup besar terhadap kemampuan bawaannya atau nature sehingga ia mampu menggunakan bahasa. Dengan demikian tampak bahwa antara sifat pemerolehan bahasa nature dan nurture ternyata yang satu tidaklah lebih penting dari yang lain karena tanpa satu sama lain, pemerolehan bahasa tidak dapat berjalan dengan baik bahkan dapat menemui kegagalan.

Universal dalam pemerolehan bahasa

Pemerolehan bahasa seorang anak berkaitan dengan konsep universal. Ada tiga komponen yang universal, yaitu: komponen fonologi, sintaksis dan semantik.

1. Universal pada komponen fonologi

Menurut Roman Jakobson, seperti yang dikutip oleh Dardjowidjojo, dalam hal vokal bunyi pertama yang keluar waktu anak mulai berbicara adalah bunyi /a/, /i/, dan /u/. Hal ini dikarenakan ketiga bunyi ini membentuk sistem vokal minimal (minimal vocalic system), sehingga bahasa manapun di dunia ini pasti memiliki minimal tiga vokal ini. Dalam hal konsonan, yang pertama muncul adalah oposisi antara bunyi oral dengan bunyi nasal (/p-b/ dan /m-n/) lalu bunyi bilabial dengan dental (/p/-/t/). Sistem ini dinamakan sistem konsonantal minimal (minimal consonantal system).

Laws of Irreversible Solidarity yang diajukan Jakobson, seperti yang ditulis Dardjowidjojo, sebagai berikut:

a. Bila suatu bahasa memiliki konsonan hambat velar, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan hambat dental dan bilabial. Contoh: bila bahasa X memiliki bunyi /k/ dan /g/, bahasa tersebut pasti memilki /t/-/d/ dan /p/-/b/.

b. Bila suatu bahasa memiliki konsonan frikatif, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan hambat. Contoh: bahasa Y memiliki /f/ dan /v/, bahasa itu pasti memiliki /p/-/b/, /t/-/d/ dan /k/-/g/.

c. Bila suatu bahasa memiliki konsonan afrikat, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan frikatif dan konsonan hambat. Contoh: bahasa Z memiliki /c/-/j/, bahasa itu pasti memiliki /s/, /t/ dan /d/.

Bunyi yang dikuasai anak mengikuti urutan universal di atas. Karena /m/ dan /a/ lebih mudah, maka bunyi ini akan keluar awal dari anak. Itulah sebabnya kata awal yang keluar dari anak adalah /mama/, yang diartikan sebagai ayah dan ibu.

2. Universal pada komponen sintaktik dan semantik

Pada komponen sintaktik ada pola kalimat yang diperoleh secara universal. Dimanapun anak itu berada, ia akan selalu mulai dengan ujaran satu kata, kemudian berkembang menjadi dua kata, setelah itu, tiga kata atau lebih. Pada komponen semantik, macam kata yang dikuasai dan berapa jumlahnya tergantung pada keadaan masing-masing anak. Anak petani di desa mungkin lebih awal menguasai kata cangkul dan sabit dibandingkan kata komputer atau kamera. Jumlah kata yang akan dikuasai mungkin tidak sebanyak anak perkotaan dari keluarga mampu yang dapat membelikan buku, mainan untuk anaknya. Urutan universal dalam komponen ini adalah prinsip sini dan kini (here and now). Maksudnya, dimanapun juga kosakata yang dikuasai anak adalah objek yang ada di sekelilingnya dan yang saat itu ada. Anak belum dapat membayangkan benda yang tidak ada, atau peristiwa yang sudah atau belum terjadi. Anak juga mengikuti prinsip universal yang disebut: penggelembungan makna (overextension). Jika ia diperkenalkan dengan suatu benda yang bundar dan disebut bahwa itu bulan, maka sewaktu ia melihat jam atau gambar matahari, ia akan menamakannya bulan.

Pemerolehan Bahasa Kedua dan Bilingual

Istilah bilingual erat kaitannya dengan pemerolehan bahasa kedua. Diebold, seperti dikutip oleh Chaer dan Agustina, menyatakan bahwa bilingualisme pada tingkat awal atau disebut incipient bilingualism adalah bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, atau lebih spesifiknya anak-anak, yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap awal. Pada tahap ini, walaupun bilingualisme masih sangat sederhana tapi tidak dapat diabaikan karena pada tahap inilah letak dasar bilingualisme selanjutnya. Lebih lanjut diuraikan oleh Chaer dan Agustina bahwa bilingualisme adalah rentangan bertahap yang dimulai dari menguasai B1 ditambah mengetahui sedikit akan B2, lalu penguasaan B2 meningkat secara bertahap, sampai pada akhirnya menguasai B2 sama baiknya dengan B1. Menurut Perez & Torrez-Guzman, seperti yang dikutip dalam sebuah blog yang ditulis oleh Beverly Clark[8], tidak ada dampak buruk bagi anak-anak yang bilingual. Perkembangan pola bahasa mereka sama dengan anak-anak yang monolingual. Dikatakan lebih lanjut bahwa anak-anak yang mengembangkan kecakapannya dalam menggunakan bahasa ibu mereka untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, memecahkan masalah dan berpikir dapat dengan mudah mempelajari bahasa kedua dalam cara yang sama.

Walaupun demikian ada beberapa variasi dalam seberapa baiknya dan seberapa cepatnya seseorang menguasai bahasa kedua. Tidak ada bukti bahwa dalam mempelajari bahasa kedua, anak mendapat lebih banyak keuntungan dibandingkan orang dewasa. Ketika seorang anak belajar bahasa kedua, ia akan tetap kesulitan dalam pengucapan, tata bahasa, perbendaharaan kata dan mungkin saja tidak akan pernah benar-benar fasih dalam bahasa tersebut. Tidak ada cara yang mudah untuk menjelaskan mengapa seseorang dapat dengan mudah menguasai bahasa kedua dan mengapa yang lain tidak. Bialystok, menurut Clark, menyatakan bahwa pendidikan, sosial, perbedaan individual, kepribadian, usia dan motivasi dapat memengaruhi pembelajaran bahasa.

Linda M. Espinosa[9] dalam makalahnya, mengutip Bialystok, Genesee dan Hakuta & Pease-Alvarez, menyatakan bahwa adanya peningkatan dalam penelitian yang dilakukan oleh para peneliti, yang memperlihatkan bahwa banyak anak mampu belajar dua bahasa dan kemampuan bilingual yang mereka miliki memberi keuntungan dalam hal kognitif, budaya dan ekonomi.

Lebih lanjut Espinosa, yang masih mengutip pendapat Bialystok, menulis bahwa kemampuan bilingual telah dikaitkan dengan kesadaran yang lebih besar dan kesensitivitasan pada struktur linguistik, sebuah kesadaran yang ditransfer dan digeneralisasi pada literasi awal dan kemampuan nonverbal. Anak-anak yang mempunyai kesempatan untuk bicara dua bahasa harus didukung untuk tetap menjaga keduanya, sehingga mereka dapat menikmati keuntungan status bilingual. Anak-anak yang di rumahnya tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu harus didukung untuk mengolah bahasa rumah mereka sebaik bahasa Inggris. Menjaga bahasa rumah bukan hanya penting untuk akademik dan perkembangan kognitif anak di masa mendatang, tapi juga kemampuan anak untuk menciptakan identitas budaya yang kuat, mengembangkan dan melanjutkan ikatan yang kuat dengan keluarga, dan maju dalam dunia yang multilingual dan global ini.

Simultaneous vs. Sequential dalam Pemerolehan Bahasa Kedua

Barry McLaughlin, seperti yang dikutip Espinosa, telah membuat perbedaan antara anak yang belajar bahasa kedua simultaneously or sequentially. Ketika seorang anak belajar dua bahasa simultaneously, contohnya: sebelum usia tiga tahun, jalur perkembangan mirip dengan bagaimana anak monolingual memperoleh bahasa. Tetapi, ada beberapa ketidaksetujuan dalam literatur tentang hasil kemampuan bilingual yang lebih rendah dalam perkembangan kosakata, dibandingkan anak yang mempelajari bahasa tunggal. Ketika anak memeroleh dua bahasa dan menjadi bilingual, salah satu bahasa mendominasi yang lainnya. Ini adalah hal yang normal. Hal yang jarang terjadi ketika kedua bahasa menjadi seimbang di dalam perkembangannya.

Perkembangan bahasa dari anak yang mempelajari bahasa kedua setelah usia tiga tahun, atau sequentially, mempunyai tahapan-tahapan yang berbeda dan sangat tergantung dengan karakteristik serta lingkungan belajar bahasa anak. Pada tingkat perkembangan ini, dasar-dasar bahasa pertama telah anak kuasai. Mereka mengetahui struktur dari satu bahasa, tapi sekarang mereka harus mempelajari tata bahasa, perbendaharaan kata, dan sintaks yang spesifik dari sebuah bahasa yang baru. Menurut Tabors dan Snow seperti yang ditulis Espinosa, sequential pemerolehan bahasa kedua mengikuti perkembangan empat tahapan yang berkesinambungan:

  1. Penggunaan bahasa rumah

Ketika seorang anak telah menjadi kompeten dalam satu bahasa dan diperkenalkan pada sebuah suasana dimana semua orang berbicara dalam bahasa yang berbeda, misalnya seorang anak  yang sedang belajar bahasa Inggris (English Language Learner) memasuki kelas pra-sekolah yang didominasi oleh anak-anak yang berbahasa Inggris, anak tersebut akan sering menggunakan bahasa rumahnya walaupun  yang lain tidak mengerti. Periode ini bisa pendek atau dalam beberapa kasus, anak tersebut akan terus berusaha membuat yang lain mengerti apa yang dia bicarakan untuk beberapa bulan ke depan.

a. Periode nonverbal

Setelah anak menyadari bahwa berbicara dalam bahasa rumahnya tidak akan berguna, mereka memasuki sebuah periode dimana mereka jarang berbicara dan menggunakan cara nonverbal untuk berkomunikasi. Ini adalah periode pembelajaran bahasa aktif untuk anak tersebut; ia sibuk mempelajari suara dan kata-kata bahasa baru (receptive language) tapi tidak secara verbal menggunakan bahasa yang baru untuk berkomunikasi. Ini adalah tahap yang paling penting dari pembelajaran bahasa kedua yang mungkin bertahan lama atau sebentar. Asesmen bahasa manapun yang dilakukan pada tahap perkembangan ini dapat menghasilkan informasi menyesatkan yang merendahkan kapasitas kemampuan bahasa anak sesungguhnya.

b. Telegraphic and Formulaic Speech

Sekarang anak siap untuk menggunakan bahasa baru dan melakukannya lewat telegraphic speech yang melibatkan penggunaan formula. Ini mirip dengan anak monolingual yang sedang mempelajari kata-kata atau frase yang mudah untuk mengungkapkan keseluruhan pemikirannya. Misalnya saja, seorang anak mungkin saja mengatakan, “me down” mengindikasikan bahwa ia ingin turun ke bawah. Formulaic speech merujuk pada potongan kata-kata yang belum dianalisa atau bahkan terkadang suku kata yang dirangkai yang merupakan pengulangan yang telah didengar anak. Misalnya saja, Tabors (1997) melaporkan bahwa anak  English Language Learner (ELL) dalam sebuah Kelompok Bermain, yang ia sering amati, menggunakan frase “Lookit” untuk mengajak anak yang lain bermain. Ini adalah frase yang anak-anak dengar dari orang lain yang membantu tercapainya tujuan sosial mereka, walaupun anak-anak tersebut tidak mengerti arti dari kata2 tersebut.

c. Bahasa yang produktif

Sekarang anak sudah mulai meninggalkan telegraphic atau formulaic utterances untuk menciptakan frase dan pemikiran mereka sendiri. Anak dapat menggunakan tata bahasa yang paling mudah seperti “I wanna play”, tapi setelah itu ia akan memperoleh kontrol pada struktur dan perbendaharaan kata dari bahasa baru. Kesalahan penggunaan bahasa adalah hal yang biasa dalam periode ini karena anak-anak sedang bereksperimen dengan bahasa baru mereka dan mempelajari aturan dan strukturnya.

Seperti perkembangan manapun yang berkesinambungan, tahapan2 ini fleksibel dan tidak mengikat. McLaughlin dkk (McLaughlin, Blanchard, Osanai, 1995) memilih untuk mendeskripsikan proses ini seperti gelombang, “….bergerak ke dalam dan ke luar, umumnya bergerak menuju satu arah, tapi melambat, lalu kemudian bergerak maju lagi.

Anak-anak sequential bilingual dapat mempunyai pola perkembangan yang berbeda dibandingkan monolingual dalam beberapa aspek perkembangan bahasa. Ini termasuk perbendaharaan kata, kemampuan membaca serta menulis dan komunikasi interpersonal. Anak ELL (English Language Learner) biasanya mempunyai perbendaharaan kata yang lebih sedikit dalam bahasa Inggris dan bahasa rumah mereka dibandingkan anak yang monolingual. Ini mungkin saja terjadi karena kapasitas memori mereka yang terbatas. Jika mereka menggunakan bahasa ibu di rumah dan menggunakan bahasa Inggris di sekolah, anak mungkin mengetahui beberapa kata dalam bahasa yang satu tapi tidak di bahasa lainnya. Misalnya, seorang anak mungkin mempelajari kata-kata: chalk, line, recess, dsb. dalam bahasa Inggris di sekolah, tapi tidak mengetahui padanan katanya dalam bahasa Indonesia karena di rumah tidak pernah membicarakan hal itu. Tapi ketika total seluruh kata dalam kedua bahasa dijadikan satu, ini dapat jadi sama dengan jumlah kata yang anak-anak monolingual ketahui.

Code Switching dan Language Mixing

Penting diketahui oleh para pendidik bahwa code switching (mengganti bahasa dalam satu kalimat ke kalimat lain) dan language mixing (memasukkan satu kata dalam bahasa lain ketika berbicara dalam bahasa yang lain) adalah normal dalam pemerolehan bahasa kedua. Ini tidak berarti anak tidak dapat membedakan kedua bahasa, tapi karena anak mungkin saja kekurangan kata dalam bahasa yang satu atau kedua-duanya sehingga sulit untuk mengungkapkan apa yang ingin mereka ucapkan. Penelitian menunujukkan bahwa orang dewasa mencampurkan kedua bahasa untuk memperlihatkan dan menekankan identitas kebudayaan mereka. Code switching dan language mixing adalah hal yang normal dan alami dalam pemerolehan bahasa kedua sehingga orang tua maupun pendidik tidak perlu khawatir tentang hal ini. Yang ditekankan disini bukanlah tentang aturan bahasa yang kaku tapi tentang bagaimana meningkatkan komunikasi dalam bahasa-bahasa tersebut.

KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa:

Istilah pemerolehan berbeda dari pembelajaran, tetapi hal ini harus dilihat dari beberapa hal seperti: suasana belajar, usia anak sewaktu memeroleh bahasa kedua dan kesadaran anak akan pembelajaran. Baik nature maupun nurture merupakan dua hal yang sama-sama penting karena yang satu mendukung keberadaan yang lain. Memiliki kemampuan bawaan sejak lahir untuk memelajari bahasa atau nature semata tidak banyak bermanfaat jika tidak ada nurture atau pengaruh dari lingkungan. Sebaliknya, tanpa nurture atau pengaruh dari lingkungan semata juga tidak akan berpengaruh jika manusia tidak dibekali dengan kemampuan pribadi untuk memeroleh bahasa. Namun tentunya kenyataan bahwa baik nature maupun nurture merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting dalam pemerolehan bahasa manusia sebaiknya memerlukan lebih banyak lagi pembuktian baik melalui penelitian maupun eksperimen terhadap manusia, khususnya terhadap bagaimana manusia memelajari bahasa yang merupakan salah satu ciri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Perkembangan bahasa anak yang bilingual tidak jauh berbeda dari yang monolingual. Tapi mereka harus tetap didorong untuk menjaga kefasihan kedua bahasa tersebut. Anak yang belajar dua bahasa simultaneously, jalur perkembangannya mirip dengan anak monolingual memperoleh bahasa. Sedangkan perkembangan bahasa dari anak yang mempelajari bahasa kedua sequentially, mempunyai tahapan-tahapan yang berbeda dan tergantung dengan karakteristik serta lingkungan belajar bahasa anak.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul & Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

http://ceep.crc.uiuc.edu/pubs/katzsym/clark-b.html

http://en.wikipedia.org/wiki/Second_language_acquisition

http://sccac.lacoe.edu/cpin/network_meetings/2007Jan18/From%20Caterpillar%20to%20Butterfly/SecondLanguageAcquisitionLEspinosa.pdf

http://www.best4future.com/blog/how-children-acquire-second-languages


[2] http://www.learnenglish.de/britishnutre/formemanner

[3] Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

[5] Chaer, Abdul & Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

[7] Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R.D. 2008. Human Development. New York: McGraw-Hill

PEMBUAHAN ( FERTILIZATION )

Fertilisasi pada manusia terjadi di dalm saluran reproduksi wanita. Fertilisasi demikian disebut fertilisasi internal. Fertilisasi merupakan proses berfungsinya sel telur dengan sperma. Fertilisai biasanya diawali dengan proses persetubuhan (kopulasi). Melalui rangsangan seksual dan gerakan penis di dalam vagina menyebabkan sperma bersama air mani (semen) terpancar ke luar uretra (ejakulasi).

Pada saat ejakulasi, semen yang dipancarkan mengandung 150 juta hingga 350 juta sperma ke dalam vagina. Namun, kurang dari100 sperma yang akhirnya berhasil mencapai permukaan sel telur dan biasanya hanya satu sperma yang berhasil membuahi sel telur. Di dalam vagina, enzim proteolitik mengubah lendir dalam semen menjadi cairan yang lebih encer sehingga sperma menjadi sangat motil. Sperma bergerak dari vagina melalui uterus dan oviduk dalam waktu sekitar satu jam. Sperma berenang seperti berudu sedang menggerakan ekornya. Biasanya fertilisasi terjadi di bagian atas oviduk.

Pada proses fertilisasi, beberapa sperma berusaha masuk melewati tiga lapisan pelindung sel telur menuju inti sel telur.ketiga lapisan pelindung tersebut adalah korona radiata (berupa selubung dari sel-sel folikel), zona pelusida (larutan jeli), dan membran plasma sel telur. Untuk menembus ketiga lapisan pelindung sel telur, sperma mengeluarkan enzim-enzim yang tersimpan pada akrosom. Misalnya, hialuronidase, enzim untuk melarutkan senyawa hialuronid pada korona radiata.

Ketika satu sperma berhasil mebuahi sel telur (fertilisasi), bagian permukaan sel telur segera melepaskan senyawa kimia ke dalam zona pelusida. Senyawa kimia tersebut berfungsi untuk mencegah sperma lainnya masuk ke dalam sel telur. Selanjutnya, sel telur melanjutkan proses pembelahan meiosis II untuk menghasilkan sel kelamin yang haploid. Pada fertilisasi, inti sperma (haploid) menyatu dengan inti sel telur (haploid) membentuk zigot (diploid) yang terdiri dari 46 kromosom dalam diri kita

Selanjutnya, zigot berkembang menjadi embrio. Perkembangan embrio dimulai pada saat telur yang dibuahi berada di dalam oviduk. Sambil mengalami pembelahan mitosis secara berulang kali, telur bergerak menuju uterus dalam tiga atau empat hari sebagai blastosis. Blastosis merupakan tingkatan blastula pada mamalia, yaitu strujtur bola berongga pada perkembangan embrio (lebih kurang seminggu setelah fertilisasi). Kemudian blastosis tertanam dalam dinding uterus yang menebal melalui suatu proses yang disebut implantasi. Jika implantasi berhasil, terjadilah kehamilan.

1)Saluran reproduksi

Saluran reproduksi terdiri atas epididimis, vas deferens, saluran ejakulasi, dan uretra. Epididimis merupakan saluran panjang berkelok-kelok di dalam skrotum yang keluar dari testis. Setiap testis memiliki satu epididimis. Epididimis berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara sperma hingga menjadi matang sehingga sperma dapat bergerak menuju sel telur.

Gambar 7

Vas deferens merupakan saluran lanjutan dari epididimis. Bagian ujung saluran tersebut terdapat di dalam kelenjar prostat. Fungsi vas deferens adalah untuk mengangkut sperma dari epididimis ke kantong mani (kantong semen).

Saluran ejakulasi merupakan saluran yang berfungsi menyalurkan sperma dari vas deferns menuju uretra. Berdeda dengan  saluran reproduksi sebelumnya. Saluran ejakulasi ini berukuran pendek.

Uretra merupakan saluran akhir dari saluran saluran reproduksi. Uretra berfungsi untuk menyalurkan sperma dan urine ke luar tubuh.

MEKANISME HEREDITAS DAN GENETIK

  • Hereditas; secara bahasa adalah turun menurun, sedangkan secara istilah adalah penurunan sifat genetik dari orangtua ke anak (KBBI).
  • Ilmu genetik mempelajari hereditas. Genetika berasal dari Bahasa Latin GENOS berarti suku bangsa atau asal usul. Jadi, genetika berarti ilmu yang mempelajari bagaimana sifat keturunan (hereditas) yang diwariskan kepada anak-cucu, serta variasi yang mungkin timbul didalamnya (Genetika Dasar, Azmi Elvita dkk, FK UNRI).

BAGIAN SEL

  • Manusia dewasa mempunyai 10 milyar sel. Sel terdiri dari 3 bagian: nucleus; cytoplasma yang mengelilingi nucleus; dan membran sel yang menyelubungi sel.
  • Di dalam nucleus terdapat materi genetik tubuh, yakni DNA, tersusun didalam rangkaian kromosom. Pada manusia terdapat 23 pasang kromosom, semuanya ada 46. Yang 22 pasang adalah autosom, kromosom biasa, sedangkan pasangan ke-23 terdiri dari kromosom seks yang  berperan menentukan jenis kelamin, yakni kromosom X  dan Y. Ketika pasangan terdiri dari dua kromosom X (XX), maka seseorang adalah perempuan; ketika terdiri atas satu dari dua tipe (XY), maka seseorang adalah laki-laki.
  • Sel terbagi dalam dua tipe besar; sel tubuh yang proses reproduksinya disebut mitosis, dan sel gamet yang proses reproduksinya disebut meiosis. Dalam mitosis, setiap 46 kromosom dalam sel membelah diri, sehingga membentuk satu sel baru yang juga berisi 46 kromosom dan persis sama dengan sel sebelumnya. Sedangkan dalam meiosis, setiap sel membelah diri dimana semuanya berbeda satu sama lain dan masing-masing hanya berisi 23 kromosom. Sel-sel anak tersebut disebut gamet, yakni sperma atau ovum yang menyatu dalam pembuahan membentuk individu baru dengan 46 kromosom lengkap.

DALAM KROMOSOM

  • Struktur DNA –seperti rangkaian spiral- terdiri dari 4 base: adenine (A), thymine (T), guanine (G), dan cytosine (C). Setiap rangkaian, yang disebut nucleotide, terdiri dari sepasang base yakni A-T dan G-C. Nucleotide tersebut yang menentukan informasi kode yang dibawa gen.
  • Gen adalah bagian dari rangkaian DNA yang terdiri dari beberapa kumpulan jaringan nucleotide. Pada umumnya, gen berisi 1.000 nucleotide, dan beberapa berisi 2 juta. Jadi, kromosom dalam sel tubuh manusia berisi 100 ribu gen, dan bahwa setiap kromosom melalui proses crossing over selama meiosis, membuat setiap individu menjadi unik.
  • Dalam setiap pasang kromosom, gen untuk beberapa sifat ( warna mata dan bentuk hidung) berada di lokasi yang sama dan disebut dengan allel. Kedua gen tersebut menggambarkan bagaimana sifat terlihat, tetapi karena dua allel selalu tidak sama, banyak kombinasi berbeda dari karakteristik yang dihasilkan.
  • Terdapat dua macam gen: gen struktural dan gen regulasi. Tugas gen struktural adalah mengawasi produksi protein dalam sel, yang membantu berfungsinya bagian tubuh. Sedangkan tugas gen regulasi adalah mengontrol aktifitas gen struktural dan menentukan produksi protein yang dibutuhkan organ-organ tertentu, seperti jantung, hati, dan otak, juga memulai dan mengontrol berbagai perubahan selama puberitas –respon lingkungan sekitar.
  • Jadi, dengan memahami proses tersebut, maka gen mempengaruhi kemampuan sensor, sistem syaraf, otot dan tulang kita, dsb, kemudian juga mempengaruhi prilaku dan perkembangannya.

PENELITIAN MENDEL

  • Beberapa prinsip dasar hereditas mulai dipahami semenjak pertengahan 1800-an, ketika ditemukan dan diteliti oleh ilmuwan Austria Gregor Mendel (1822-1884). Percobaan Mendel menggunakan tumbuhan kacang polong.
  • Mendel mengawinkan tumbuhan berbunga-ungu dan berbunga-putih, hasilnya adalah semua keturunannya berbunga ungu. Apakah sifat putih yang tidak tampak telah menghilang? Sebenarnya tidak, karena ketika Mendel mengawinkan tumbuhan berbunga-ungu yang baru satu sama lain, satu dari empat keturunan generasi-kedua adalah putih.
  • Dia berkesimpulan bahwa setiap sifat yang tampak, seperti warna, membutuhkan dua elemen –sepasang gen (allel), turunan dari setiap orangtua. Sifat yang terlihat atau yang tampak adalah phenotip dan gen yang mendasarinya adalah genotip.

PRINSIP TRANSMISI GENETIK

  • Teori Mendel menghasilkan prinsip dominan. Allel dari suatu sifat tidaklah sama, dan biasanya satu mendominasi yang lain. Jadi, gen yang berbunga ungu adalah dominan dan gen berbunga putih adalah ressesif. Mendel menemukan bahwa ketika suatu gen adalah dominan maka karakteristiknya tampak; hanya ketika kedua gen adalah ressesif maka karakteristik lain akan tampak. Misalkan, warna sifat dalam tumbuhan kacang polong adalah gen ungu (P) atau putih (w), kemudian tumbuhan dengan genotip PP, Pw, atau wP akan memiliki bunga ungu, dan hanya tumbuhan dengan genotip ww yang akan memiliki bunga putih. Tumbuhan tersebut bisa memiliki phenotip yang sama (bunga ungu) dengan genotip yang berbeda (PP, Pw, atau wP)
  • Prinsip segregasi dimana setiap sifat warisan menurun seperti unit yang terbagi (allel yang memproduksi warna bunga terpisah dan menurun, misalkan ungu (PP) dan putih (ww); terpisah menjadi P dan w; dan menurun menjadi Pw ). Prinsip independent assortment menyatakan bahwa sifat-sifat yang menurun adalah independen (misalkan, sifat warna-bunga tidak menurunkan sifat tangkai-panjang).

REVISI PRINSIP MENDEL

  • Sifat tunggal kadangkala memproduksi lebih dari satu pasang gen –prosesnya dikenal dengan warisan polygenic. Beberapa sifat menghasilkan gen yang menunjukkan dominan tidak lengkap, yaitu mereka tidaklah sepenuhnya dominan atau ressesif. Misalkan, penyakit anemia sel sabit (sickle-cell anemia) diturunkan dari gen ressesif. Darah seseorang yang memiliki gen ressesif ini bersama dengan gen normal dominan akan memperlihatkan karakteristik asing dari penyakit ini.
  • Codominance, dimana kedua gen sifat adalah dominan sehingga karakteristik keduanya terlihat. Misalkan, gen untuk golongan darah A dan B adalah dominan, sehingga hasilnya adalah seseorang yang memiliki golongan darah AB.
  • Lingkungan juga bisa mempengaruhi penampakan gen. Misalkan, warna bulu rubah kutub bisa berubah karena temperatur dari putih ketika musim dingin ke coklat pada musim panas. Jadi, interaksi gen-lingkungan juga mempengaruhi karakteristik phenotip pada berbagai spesies

KELAINAN DAN PENYAKIT GENETIK PADA MANUSIA

Walaupun secara garis besar genetik seseorang menghasilkan pertumbuhan normal, tetapi gen juga bisa menjadi sumber masalah. Beberapa kelainan dan penyakit manusia merupakan hereditas, beberapa lainnya bukanlah hereditas tetapi hasil dari kesalahan selama pembelahan sel dalam meiosis; juga karena radiasi, drug, virus, kimiawi, dan proses penuaan.

KELAINAN DAN PENYAKIT HEREDITAS PADA SIFAT DOMINAN

  • Chorea Huntington. Pada umumnya menyerang seseorang pada usia 30 dan 40 tahun. Secara perlahan, sistem syaraf mulai memburuk, sulit mengontrol pergerakan otot dan mengganggu fungsi otak (Haith & Miller).
  • Akondroplasia, disebabkan tidak terbentuknya komponen tulang rawan pada kerangka tubuh secara benar, sehingga mempunyai kaki dan lengan yang tidak normal (kerdil) namun intelejensi, ukuran kepala, dan ukuran tubuh normal.
  • Brakidaktili, kelainan yang dicirikan dengan jari tangan atau kaki yang memendek karena memendeknya ruas-ruas tulang jari.
  • Polidaktili, terdapatnya jari tambahan pada satu atau kedua tangan/kaki. Tempat jari tambahan itu berbeda-beda, ada yang terdapat dekat ibu jari atau kelingking (Azmi Elvita dkk).

SIFAT RESSESIF

  • Tay-Sachs, gangguan sistem syaraf karena kekurangan enzim yang menghancurkan lemak didalam sel-sel otak. Jaringan lemak membengkak, menyebabkan sel-sel otak mati. Penyakit ini hanya terjadi pada 1 per 300 ribu kelahiran, tetapi pada orang Yahudi di USA didapati lebih dari 90% yakni 1 per 3.600 kelahiran. Bayi penderita terlihat normal ketika lahir sampai usia 1,5 tahun. Kemudian, pada usia 8 bulan biasanya menjadi lesu, dan seringkali pada akhir usia 1 tahun, mereka buta. Pada umumnya meninggal pada usia 6 tahun. Saat ini, belum ada pengobatan untuk penyakit ini.
  • Phenylketonuria (PKU), gangguan metabolisme protein dalam tubuh, terjadi ketika tubuh gagal memproduksi enzim yang menghancurkan phenylalanine, asam amino. Akibatnya, zat-zat ini menumpuk dalam darah dan mengganggu peredaran sel-sel otak. Bayi penderita biasanya lahir sehat, jika tidak diobati, akan memburuk setelah beberapa bulan ketika darah phenylalanine meningkat. Masa-masa sawan dan serangan sering terjadi, dan biasanya korban menjadi terbelakang.
  • Anemia sel sabit (sickle-cell anemia;SCA), berupa sel darah merah yang tidak mengandung hemoglobin normal, protein yang membawa oksigen dalam tubuh. Jadi, kelainan hemoglobin menyebabkan sel darah merah menjadi sickled. Sel-sel sickled tersebut menghambat pembuluh darah sehingga mencegah darah mencapai bagian-bagian tubuh. Permintaan oksigen tak terpenuhi, sehingga penderita akan sangat kesakitan, menghancurkan jaringan, dan meninggal. Kira-kira 9% orang Amerika-Afrika membawa gen ini (Haith & Miller).
  • Fibrosis sistik, disebabkan tidak adanya protein yang membantu ion klorida melalui membran plasma, sehingga menghasilkan banyak lendir yang mempengaruhi pankreas, saluran pernapasan, kalenjar keringat, dsb.
  • Galaktosemia, disebabkan tidak dapat menggunakan galaktosa (laktosa dari ASI ibu) karena tidak dihasilkan enzim pemecah laktosa, gejalanya berupa malnutrisi, diare dan muntah. Bisa dihindari dengan diet bebas laktosa.
  • Albino, terjadi karena tubuh tidak mampu membentuk enzim yang diperlukan untuk merubah asam amino menjadi beta-3, 4-dihidroksipheylalanin untuk selanjutnya diubah menjadi pigmen melanin.
  • Thalassemia, ditandai dengan berkurangnya atau tidak sama sekali rantai hemoglobin, sehingga hanya mempunyai kemampuan sedikit untuk mengikat oksigen. Dibedakan pada thalassemia mayor yang sangat parah, sering menyebabkan kematian waktu bayi; dan minor yang tidak parah, mempunyai gejala pembengkakan limpa sedikit (Azmi Elvita dkk).

KELAINAN STRUKTUR KROMOSOM

  • Down Syndrome, kelebihan kromosom autosom (nomor 21). Bayi penderita penyakit ini mengidap mental terbelakang dan memiliki penampilan khusus berupa muka rata dan kelopak mata yang terlipat. Mereka juga cenderung memiliki otot tidak sehat dan masalah pada ekspresi bahasa. Penyebab Down syndrome teridentifikasi pada tahun 1957. Kemungkinan pasangan memproduksi anak dengan down syndrome meningkat tinggi berhubungan dengan usia ibu. Sedikit dari 1 per 1.000 ribu bayi dengan Down syndrome dari ibu berusia 30 tahun, sedangkan 75 kali lebih besar terjadi dari ibu berusia 45 dan 49. (padahal, hanya proporsi kecil dari kelahiran dimana ibu menderita Donw syndrome). Usia ayah tidaklah penting, tetapi ayah berkontribusi memberikan kelebihan kromosom 20-30% dari kasus.
  • Sindrom Cri du chat, disebabkan karena kekurangan kromosom autosom. Bayi penderita, menangis seperti kucing, memiliki mental terbelakang dan gangguan syaraf, biasanya meninggal ketika bayi atau anak-anak.
  • Tumor Wilms, anak-anak penderita ini tidak memiliki selaput, bagian mata yang berwarna, dan kemungkinan rentan memiliki kanker ginjal ketika bayi atau usia anak-anak (Haith & Miller)
  • Sindrom Jacobs (XYY, 47), berciri-ciri pria bertubuh normal, berperawakan tinggi, bersifat antisosial, perilaku kasar dan agresif, wajah menakutkan, memperlihatkan watak kriminal, IQ dibawah normal.
  • Sindrom Klinefelter (XXY, 47), penderita berkelamin laki-laki tetapi cenderung bersifat kewanitaan, testis mengecil dan mandul, payudara membesar, dada sempit, pinggul lebar, rambut badan tidak tumbuh, tubuhnya cenderung tinggi (lengan dan kakinya panjang), mental terbelakang.
  • Sindrom Turner (XO, 45), penderita berkelamin perempuan, namun tidak memiliki ovarium, alat kelamin bagian dalam terlambat perkembangannya (infatil) dan tidak sempurna, steril, kedua puting susu berjarak melebar, payudara tidak berkembang, badan cenderung pendek (kurang lebih 120 cm), dada lebar, leher pendek, mempunyai gelambir pada leher, dan mengalami keterbelakangan mental.
  • Sindrom Edward, kelebihan kromosom autosom (nomor 18). Ciri-ciri penderita adalah memiliki kelainan pada alat tubuh telinga dan rahang  bawah kedudukannya rendah, mulut kecil, mental terbelakang, tulang dada pendek, umumnya hanya mencapai umur 6 bulan saja.
  • Sindrom Patau, kelebihan kromosom autosom (nomor 13, 14, atau 15). Ciri-ciri penderita berkepala kecil, mata kecil, sumbing celah langit-langit, tuli, polidaktili, mempunyai kelainan otak, jantung, ginjal dan usus serta pertumbuhan mentalnya terbelakang, biasanya meninggal pada usia kurang dari 1 tahun (Azmi Elvita dkk).

KELAINAN DAN PENYAKIT KARENA TAUTAN SEKS (SEX-LINKED)

  • Dalam tautan seks (sex-linked), penyakit ressesif tertentu berhubungan dengan gen dalam kromosom sex: Pertama, penyakit yang tertaut kromosom X yang dibawa seorang ibu, pada umumnya terjadi pada anak laki-laki, karena bagi anak perempuan, gen dominan normal dari kromosom X ayah biasanya menolak gen cacat dari kromosom X ibu, sedangkan laki-laki lebih mudah terserang karena tidak ada perlawanan dari gen dominan kromosom Y ayah. Misalkan: penyakit Hemophilia, disebabkan karena tiadanya protein tertentu yang diperlukan untuk penggumpalan darah (pembekuan darah ketika terluka) atau kalaupun ada kadarnya rendah sekali; Buta warna, penderita tidak dapat membedakan warna hijau dan merah, atau bahkan semua warna (Papalia & Old); Distrofi otot, terjadi karena tiadanya satu protein otot (distrofin) ditandai dengan melemahnya otot-otot dan hilangnya koordinasi; Sindrom fragile X, bagian kromosom X yang mengalami konstriksi (pelekukan) dibagian ujung lengan kromosom yang panjang ditandai oleh keterbelakangan mental.
  • Kedua, penyakit yang tertaut kromosom Y, artinya kelainan hanya terjadi pada laki-laki. Misakan: Hypertrichosis, tumbuhnya rambut pada bagian tertentu ditepi dan telinga; Weebed toes, tumbuhnya kulit diantara tangan atau kaki mirip dengan kaki katak atau burung air; Hystrixgravier, tumbuhnya rambut panjang dan kaku dipermukaan tubuh sehingga terlihat menyerupai hewan landak yang tubuhnya berduri (Azmi Elvita dkk).

TEST DAN KONSELING GENETIK

  • Test dan konseling genetik bisa membantu calon orangtua untuk memperkirakan resiko kelahiran karena pengaruh genetik atau kromosom. Pasangan yang sudah siap memiliki anak dengan kemungkinan memiliki genetik; yang keluarganya memiliki kelainan dan penyakit turunan –terkena atau dicurigai, atau datang dari komunitas yang berisiko menurunkan kelainan gen bisa mendapatkan informasi tentang kemungkinan mereka mewarisinya ke anak-anak.
  • Konselor genetik akan menelusuri sejarah keluarga, mengetes fisik calon orangtua dan beberapa anak-anak biologis mereka, dan melakukan tes laboratorium dari darah, kulit, urine, atau sidik jari yang diperlukan. Kromosom dari jaringan tubuh dianalisa dan difoto, diperbesar dan disesuaikan dengan ukuran dan struktur pada grafik yang disebut karyotype. Grafik ini bisa memperlihatkan kelainan kromosom dan menunjukkan  seseorang yang terlihat normal mungkin bisa menurunkan kelainan genetik ke anak. Konselor mencoba membantu klien untuk memahami resikonya, menjelaskan implikasinya, dan memberikan informasi terbaru untuk mengatasinya.
  • Ahli genetik telah memberikan kontribusi besar dalam rangka menghindari penyakit bawaan. Misalkan, semenjak banyak pasangan Yahudi dites gen Tay-Sachs, penyakit tersebut telah berkurang. Begitu juga, pemeriksaan dan konseling para perempuan berusia produktif dari negara Mediterrania, dimana terdapat penyakit beta thalassemia, telah mengurangi kelahiran bayi yang terkena dan memberikan pengetahuan resikonya bagi carrier.
  • Saat ini, para peneliti mengidentifikasi gen-gen yang berkontribusi pada berbagai kelainan dan penyakit serius, sebagaimana gen-gen yang mempengaruhi sifat-sifat normal. Usaha mereka kemungkinan menjadikan test genetik meluas kepada profil genetik yang terlihat –prospek yang memberikan keuntungan.

Interaksi Hereditas dan Lingkungan

Interaksi

Pengaruh timbal-balik; saling mempengaruhi satu sama lain (kamus Ilmiah Popular, Windy Novia, 2008).

Lingkungan (Environment)

Totalitas pengaruh bukan bawaan, atau pengalaman pada perkembangan.

Berbagai Lingkungan Perkembangan

  1. Keluarga Inti, sebuah unit kekeluargaan, ekonomi, dan rumah tangga dua generasi yang terdiri atas satu atau dua orang tua dan anak-anak kandungnya, anak-anak tiri, serta anak-anak tirinya.
  2. Budaya, keseluruhan cara hidup sebuah masyarakat atau kelompok termasuk adat istiadat, tradisi, keyakinan, nilai, bahasa, dan produk-produk fisik –semua prilaku yang dipelajari dan diturunkan oleh orangtua kepada anak-anak.
  3. Kelompok etnis, sebuah kelompok yang dipersatukan oleh budaya, leluhur, agama, bahasa, atau asal-usul suku bangsa, yang memberikan kontribusi pada sebuah pemahaman identitas yang dibagi bersama.
  4. Ras dan kesukuan, sebuah generalisasi berlebihan yang mengaburkan perbedaan-perbedaan budaya dalam satu kelompok.

Genetika perilaku

Genetika perilaku adalah bidang yang mencoba menemukan pengaruh hereditas dan lingkungan pada perbedaan individual dalam sifat dan perkembangan manusia (Eaves & Silberg, 2003; Maxson, 2003; knafo, Lervolino & Plomin, 2005; Kuo dkk, 2004). Untuk mengetahui pengaruh hereditas pada perilaku, ahli genetika perilaku sering menggunakan dua macam studi yaitu:

Studi kembar, sebuah studi dimana kemiripan tingkah laku kembar identik dibandingkan dengan kemiripan perilaku pada kembar fraternal.

  1. Kembar identik (monozigotik), berkembang dari sebuah sel telur yang dibuahi     membelah menjadi dua replika yang identik secara genetik, masing-masing menjadi satu orang.
  2. Kembar fraternal (dizigotik), berkembang dari sel telur dan sperma yang terpisah, membuat mereka secara genetik tidak lebih mirip daripada saudara kandung biasa.

Studi Adopsi, studi yang mencoba menemukan apakah karakteristik perilaku dan psikologis dari anak adopsi lebih seperti orang tua adopsi mereka.

Korelasi Hereditas-Lingkungan

  1. Korelasi genotip pasif-lingkungan, terjadi karena orang tua biologis, yang secara genetik berhubungan dengan si anak, memberikan lingkungan yang mendidik bagi anak. Sebagai contoh, orang tua dapat memiliki kecendrungan genetik untuk menjadi cerdas dan terampil.
  2. Korelasi genotip evokatif-lingkungan, terjadi karena karakteristik anak merangsang jenis-jenis lingkungan tertentu. Contohnya, anak yang aktif dan selalu tersenyum mendapat rangsangan sosial lebih banyak daripada anak yang pasif dan pendiam.
  3. Korelasi genotip-lingkungan aktif (niche-picking), terjadi ketika anak memilih lingkungan yang ada mereka pikir sesuai dan memberi rangsangan. Contohnya, anak yang pandai bergaul cenderung memilih konteks sosial di mana mereka dapat berinteraksi dengan orang-orang, sedangkan anak yang pemalu tidak demikian.

Pengalaman Lingkungan yang Terbagi dan Tidak Terbagi

  1. Pengalaman lingkungan yang terbagi (shared environment) adalah pengalaman saudara kandung yang umum, seperti kepribadian atau orientasi intelektual orang tua mereka, status sosial-ekonomi; keluarga, dan lingkungan di mana mereka tinggal.
  2. Pengalaman lingkungan yang tidak terbagi (non-shared environment) merupakan pengalaman unik anak, baik di dalam maupun di luar keluarga, yang tidak dibagi dengan saudara kandung. Contoh, orang tua sering berinteraksi secara berbeda dengan setiap saudara kandung, dan setiap saudara kandung berinteraksi secara berbeda dengan orang tua (Hetherington, Reiss, & Plomin, 1994).

Pandangan Epigenetik

Pandangan epigenetik menyatakan bahwa perkembangan merupakan akibat dari perubahan dua arah yang terus menerus antara hereditas-lingkungan. Contoh, seorang bayi mewarisi gen dari kedua orang tua pada saat pembuahan. Selama perkembangan pra kelahiran, toksin, makanan, dan stress dapat mempengaruhi beberapa gen untuk berhenti berfungsi sedangkan yang lain menjadi lebih kuat atau lebih lemah. Selama masa bayi, pengalaman lingkungan seperti toksin, makanan, stress, pembelajaran, dan dukungan terus memperbarui aktivitas ganetik.

Kesimpulan

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Hereditas dan lingkungan bekerja sama atau berkolaborasi untuk menghasilkan intelegensi, watak, tinggi badan, berat badan, kemampuan memukul bola, kemampuan membaca, dan lain-lain (Coll, Bearer, & Lerner, 2004; Gottlieb, 2004; Gottlieb, Wahlsten, & Lickliter, 1998, 2006; Mc Clearn, 2004). Serta kontribusi relatif dari hereditas dan lingkungan tidak menambahkan apapun, Artinya, dapat dikatakan bahwa sekian persen faktor bawaan dan sekian persen pengalaman membentuk siapa diri kita saat ini.

PERKEMBANGAN PRENATAL

Pertumbuhan dan perkembangan janin adalah suatu rangkaian peristiwa yang luar biasa menakjubkan. Berawal dari bersatunya sel sperma dan sel telur, dimulailah perjalanan kehidupan dari suatu pribadi yang unik, tak ada duanya. Nafas kehidupan langsung ditiupkan oleh Sang Pencipta begitu pembuahan terjadi.

Kita memang tak dapat menyaksikan langsung bagaimana si buah hati tumbuh dan berkembang di dalam rahim ibunya. Namun kami ak an menjelaskan secara rinci perkembangan janin pada masa prenatal selama Sembilan bulan.

BULAN PERTAMA

Dalam waktu satu minggu, kedua sel pertama dari makhluk hidup yang baru ini tumbuh dengan terus-menerus menjadi lebih dari seratus sel. Keduanya masih lebih kecil daripada sebuah titik dan masih tetap diselimuti oleh  membrana pellucida, yang masih sama dengan yang melindungi telur, hanya sedikit diperenggang. Selama tiga atau empat hari  pertama kelompok sel itu mengapung perlahan-lahan melalui tuba menuju rahim. Kira-kira pada hari keempat kelompok sel itu sampai di uterus atau rahim. Di situ ia terus mengapung-apung dua atau tiga hari lamanya. Kemudian, menjelang akhir minggu pertama, gugus itu melekatkan diri pada dinding dalam rahim dan tetap tinggal disana sampai hari kelahiran.

Rahim dipersiapkan baik-baik untuk menyambut kelompok sel itu. Dalam rongga yang sebesar topi jari atau bbidal, ia menyimpan suatu cairan yang mengandung banyak zat gula dan garam. Kelompok sel yang berenang dengan bebas, mengambil makanan dari cairan itu. Selain itu, ia juga dilindungi oleh cairan terhadap kerusakan.. bilamana kelompok sel yang mengapung-apung itu sudah matang untuk ditanam, perlengkapan rahim pun sudah cukup dipersiapkan, sehingga dapat menjadi alas yang subur. Di sinilah letak tugas siklus menstruasi. Pada setiap siklus atau daur haid ini secara teratur selaput lendir diperbaharui. Siklus itu selalu mulai sesudah menstruasi dengan memperbaharui lapis dalam dari rahim. Lapis yang sebelumnya dikeluarkan dulu dan suatu lapisan tebal bagaikan karet busa diciptakan lagi. Lapis ini merupakan sarang sangat baik ntuk kelompok sel, yang harus ditanamkan. Jaringan yang diperbaharui ini pun merupakan sumber darah yang kaya, yang sangat dibutuhkan oleh embrio yang sedang tumbuh. Jika dalam waktu sebulan tidak terjadi pembuahan, siklus berakhir dengan menstruasi, yaitu pembongkaran dan lepasnya jaringan yang dibangun ittu. Ada yang menyebut kejadian ini sebagai tangisan rahim yang merasa kecewa. Jika rahim itu tidak dikecewakan, menstruasi tidak terjadi karena suatu perubahan hormonal sang ibu. Lalu jaringan yang kaya makanan itu berkembang terus-menerus selama seluruh masa kehamilan, demikian menjamin keperluan hidup sang bayi dengan sebaik-baiknya.

Saat kelompok sel yang berumur empat hari tiba dalaam rahim, ia terdiri atas k.l. tiga lusin sel. Sel itu mengumpul berdempetan dan dalam bahasa ahli yang disebut morula. Selama  morula mengapung di cairan rahim, tiga lusin selnya memperbanyak diri menjadi k.l. seratus limapuluh sel yang berbeda-beda. Waktu proses ini berlangsung, dalam inti buah be saran itu terbentuklah semacam ruang kosong. Maka, sekelompok sel itu disebut blast cyst. Pada hari keenam atau ketujuh globing ini menetap dan bersarang pada dinding dalam uterus, yang rupanya seperti bunga karang atau selapis karet busa, mungkin karena sekarang telah dibutuhkan sumber makan baru. bias Anya blast cyst memilih suatu tempat di lengkungan atas. Kejadian yang sangat penting ini disebut nidasi atau implantasi, maksudnya penyarangan atau penanaman. Selama proses nidasi ini, beberapa  pembuluh yang sangat halus dalam jaringan sel sang ibu, dibuka. Sisa jaringan yang rusak atau tetes darah kecil yang keluar, merupakan makanan untuk sel-sel yang sedang tumbuh. Sel-sel ini menghisap makanan untuk sel-sel yang sedang tumbuh. Sel-sel ini menghisap zat makanan dengan cara sama seperti tumbuh-tumbuhan menyerap makanan dari tanah lembab. Ternate blast cyst amnesia ini pun dengan segera mengeluarkan semacam jaringan akar yang halus sekali, yang disebut villi. Guna akar-akar ini selain untuk menerima zat makanan, juga supaya gugusan sel ini dapat mengikatkan diri dengan kokoh pada dinding uterus. Menjelang akhir minggu pertama jaringan tersebut mulai sembuh sambil menutupi glembung yang telah masuk itu dalam sebuah kapsul, yang terdiri dari kelompok banyak sel. Dengan demikian, perlindunngan ditambah. Di dalam dinding itu berlangsunglah sekarang suatu metamorfose.

Dalam minggu kedua sel-sel membranous sebuah perisai embrio dan  sebuah kantong di atasnya. Perisai itu mempunyai jaringan persiapan untuk tubuh seluruhnya, hampir seluruh bagian ujungnya yang lebar adalah bagian yang akan menjadi otak.

Dalam minggu ketiga badan berkembang. Panjangnya sepersepuluh inci, jantung mulai berdenyut, otak terdiri dari dua bagian, jaringan syarat tulang punggung dalam taraf permulaan dibatasi oleh bakal tulang punggung dan ruas-ruas otot.

Dalam minggu ke empat tingginya hampir mencapai 6 mili. Ia telah mempunyai kepala, tubuh dan kuncup-kuncup tangan. Kantong air tumbuh bersama embrio. Kantong kuningan telur yang tidak berfungsi itu segera mengecil, tetapi tetap ada sampai hari kelahiran sebagai jaringan sel yang tak berguna.

BULAN KEDUA

Dalam tiga minggu pertama bulan kedua embrio yang primitif itu berubah menjadi seorang bayi kecil yang sudah terbentuk baik. Dalam minggu ke tujuh ia telah memperlihatkan bentuk tubuhnya dan semua organ dari bakal orang dewasa, walaupun panjangnya hanya dua senti, beratnya satu gram. Ia mempunyai wajah manusia dengan mata, telinga, hidung, dan lidah, bahkan di rahangnya sudah terdapat kuntum-kuntum gigi sulung. Tubuhnya telah mmenjadi padat, diberi bantal otot dan terlapis dalam sehelai kulit amat halus. Lengannya yang hanya sebesar sebuah tanda seru, mempunyai tangan serta jari-jari dan ibu jari. Kaki yang tumbuh lebih perlahan-lahan sudah mempunyai lutut, tapak kaki dan jari kaki panjangnya dapat dibedakan dengan cukup jelas.

Badan kecil itu bukan hanya ada, tetapi juga bekerja. Otak secara garis besar

Sudah mirip otak dewasa, menyiarkan rang sang-rang sang yang mengkoordinasikan kegiatan alat-alat tubuh lain. Jantung berdenyut dengan kuat. Perut telah menghasilkan sedikit getah lambing. Hati membentuk sel-sel darah, dan buah pinggang mengeluarkan sedikit asam kencing dari darah. Otot pada lengan dan badan sudah dapat digerakkan sedikit.

Jika embrio telah mencapai tingkat perkembangan ini tanpa kerusakan dan kekurangan, terciptalah syarat baik untuk peerkembangan seterusnya. Pada hakekatnya tubuh ini hanya megabit ukuran dan kesanggupan alat-alatnya untuk befogs secara baik sampai ia mencapai umur duapuluh lima atau duapuluh tujuh tahun.

Kepekaan sel-sel yang sedang berkembang, mungkin membawa pula suatu keuntungan biologis yang besar. Kepekaan ini memungkinkan semua sel dapat bereaksi terhadap petunjuk-petunjuk gen dan sel lain. Efektivitas sistem pemberitahuan ini dengan sangat baik dapat dilihat pada perkembangan telinga, tangan dan kaki. Kedua telinga berkembang secara sejajar dan teratur. Sama halnya dengan kedua tangan dan kaki. Selain itu, setiap embrio mempunyai telinga, tangan dan kaki, yang khas sesuai dengan keistimewaan pribadi dan keluarganya. Dalam minggu ketujuh ada beebread embrio yang telinganya lebih besar daripada embrio yang lain, ada bebera pa lagi yang mempunyai cuping telinga yang sangat monomial, dan ada juga yang hampir tanpa cuping telinga. Tangan dan kaki memperlihatkan ciri-ciri pribadi yang khas terutama pada garis-garis kulit telapak tangan dan kaki. Sesudah bulan kedua pola garis tangan dan kaki telah dicetak tetap, tak berubah lagi.

menu rut data Penang Galan perkembangan embrio setiap hari tumbuh satu milimeter. Ak an tetapi badannya tidak tumbuh secara serentak dan merata, pelbagai bagian bertumbuh pada pelbagai jangka waktu. Pada hari ketigapuluh disamping batang badan muncullah kuntum lengan seperti benjolan kecil-kecil yang bundar. Kira-kira pada hari ketigapuluh satu kuntum-kuntum lengan itu mulai memperllihatkan bagian tangan, lengan dan bahu. Sedang kira-kira pada hari ketigapuluh tiga pada bagian tangan sudah dapat dibedakan bentuk jari-jari. Pada hari itu pula mata untuk per tama kalinya Kalimantan gelap warnanya, karena di selaput jala atau retina sedang terbentuk pigmen. Pada hari ini otak seperempat kali lebih besar daripada dua hari sebelumnya. Sepuluh hari kemudian telah terlihat struktur kommpleks dari otak yang sudah dibentuk dengan lengkap walaupun masih kecil sekali. Pada hari ketigapuluh tiga juga, lubing hidung yang agak berjauhan letaknya, piggery bertonjolan dan kemudian berkembang menjadi hidung dan rahang atas. Empat hari kemudian yaitu hari ketigapuluhtujuh, muncullah ujung hidung. Kedua lubing hidung sudah saling berdekatan dan sekarang terdapatlah sebuah hidung lengkap dengan dua jalan udara terpisah. Pada hari ini juga bagian dalam dari telinga dilengkapi pula. Kelopak mata baru saja mulai berkembang sebagai daun mengelilingi pinggir matta. Seminggu kemudian kelopak mata sudah cukup besar, sehingga hampir menutupi anak mata. Hal ini terjadi pada hari keempatpuluh empat. Embrio sekarang telah mempunyai rahang atas dan bawah yang lengkap dari sebuah lidah dan kuntum-kuntum per tama dari keduapuluh gigi sulung, yang terletak di dalam gusi.

Kini embrio itu bukan lagi makhluk yang hampir tak gerenuk seperti pada bulan per tama. Dalam minggu keenam telah terdapat pokok kerangka tulang tubuh yang lengkap. Kerangka itu masih belum terdiri atas tulang, Melainkan seperti ujungg hidung orang dewasa, yaitu tulang rawan. Antara hari keempatpuluh enam dan keempatpuluh delapan tulang rawan itu diganti dengan sel-sel per tama tulang sesungguhnya, selalu dimulai dari kedua tulang  lengan bagian atas.

Munculnya sel-sel tulang yang per tama ini menunjukkan berakhirnya masa embryonic. Kriterium ini dipilih oleh ahli embriologi, karena permulaan pembentukkan tulang terjadi bersamaan dengan penyelesaian tubuh. Pembangunan struktur ini diikuti perkembangan fungsi-fungsi. Jika pada akhir bulan kedua embrio sudah menjadi fetus sebenarnya ia sudah boleh disebut bayi.

BULAN KETIGA

Dalam bulan ketiga bayi sudah agak giat, walaupun beratnya hanya sekitar 30 gram, dan masih begitu kecil sehingga ia dapat bergerak dengan mudah di dalam sebutir telur angsa. Pada akhir bulan ia sudah sanggup mendorongg-dorong dengan kakinya, memutar-mutar telapak kakinya, membengkok dan merentangkan jari-jarinya, membuat tinju, menggerakkan jempol, membengkokkan sendi tangan, mengerutkan Dhi, membuka mulut dan mengatupkan bibir. Ia belum dapat menceratkan bibirnya untuk mengisap, tetapi sudah sanggup menelan dan memang ia sering menelan. Sejak sekarang sampai saat kelahirannya ia menelan air ketuban agak banyak. Bahkan dia sudah dapat bernafas. Jauh sebelum pusat pengawasan pernafasan dan jaringan paru-paru siap untuk menghirup dan melepaskan udara, sang bayi sudah mulai untuk menarik dan melepaskan nafas. Demikianlah, air ketuban lewat melalui paru-paru (menghisap cairan ini penting untuk perkembangan teratur globing-globing paru-paru). Tetapi, sang bayi tidak tersedak seperti orang dewasa yang tenggelam, yang pasti akin terjadi seandainya ia menghirup cairan yang sama sesudah kelahirannya. Sebab, ia sekarang belum tergantung dari masuknya persediaan udara. Zat asam yang diperlukan disediakan melalui tali pusat yang berhubungan dengan ibunya.

Dua syarat asasi untuk bergerak adalah otot dan syaraf. Dalam minggu keenam dan ketujuh saraf dan otot mulai bekerjasama. Daerah bibir terlebih dahulu dapat merasa sentuhan. Jika diusap dengan hati-hati, embrio beraksi dengan membungkukkan badannya ke samping dan embrio bereaksi membuat suatu gerak cepat ke belakang. Hal ini disebut reaksi total, karena seluruh badan bereaksi, bukan hanya bagian yang disentuh. Reaksi setempat dan terbatas seperti menelan sesudah bibir disentuh, baru mulai dalam bulan ketiga.

Dalam minggu kesembilan dan kesepuluh kemampuan sang bayi maju pesat. Hal ini terjadi karena selama dua minggu ini humbugging saraf-otot tiga kali dilipatgandakan. Jika sekarang dahi sang bayidisentuh, ia dapat memalingkan kepalanya ke samping, mengangkat alisnya dan mengerutkan siku-siku dan sendi tangannya secara bebas.

Minggu keduabelas membawa sederetan keterampilan baru, sang bayi kini dapat menggerakkan jemppolnya berlawanan dengan jari-jari lainnya. Ia belajar pula menelan. Dia juga sanggup mengangkat sedikit bibir atasnya, seakan-akin tersenyum, tapi sebenarnya hanya tingkat pendahuluan refleks menghisap.

Pada akhir minggu keduabelas, sang bayi telah mencapai suatu tingkat penting dalam perkembangannya. Dan inilah suatu tingkat perkembangan yang penting, karena mulai sekarang sifat reaksi-reaksinya berubah.

Menjelang akhir bulan ketiga setiap bayi memperlihatkan suatu tingkah laku yang sangat pribadi. Hal ini disebabkan karena struktur otot pada setiap bayi berlainan.

Bulan ketiga membawa penyempurnaan yang penting karena pada ujung jari timbulah pangkal-pangkal kuku dan tidak lama kemudian dilengkapi dengan kuku-kuku kecil. Wajah sang bayi menjadi lebih cantik. Matanya yang pada permulaan agak jauh letaknya satu sama lain, kini mendekati hidung.

Pada bulan ketiga ini perbedaan antara laki-laki dan preplan dapat dibedakan dengan mudah, meski perbedaan itu amattlah kecil. Pada anak preplan tumbuhlah bibir kamala yang menyelubungi tonjolan yang kelak menjadi kelentit. Pada anak laki-laki akin tetap menjadi zakar yang utuh.

BULAN KEEMPAT

Dalam bulan ke empat bayi tumbuh begitu pesat, sehingga ia mencapai setengah tingginya waktu Kalahari kelak. Dalam waktu empat minggu ini saja beratnya dilipatgandakan enam kali dan tingginya bertam bah duabelas sentimeter. Ukuraan tingginya sekarang 16 cm, tetapi walaupun beratnya begitu cepat Berta bah, beratnya kurang dari 180 gram.

Untuk pertumbuhan sehebat ini, sang bayi harus mendapat sejumlah zat hidup yang cukup besar, makanan, zat asam dan air. Semuanya ini disampaikan oleh ibunya melalui plasenta atau tembuni. Plasenta ialah alat yang meme gang seluruh konsumsi bayi sampai saat kelahirannya. Plasenta itu berakar dalam selaput lendir rahim.

Plasenta adalah suatu alat yang sanggup menjawab berbagai kebutuhan. Plasenta dapat menjalankan bermacam-macam fungsi sekaligus seperti fungsi paru-paru, buah pinggang, usus, hati dan kelenjar hormon. Dalam bulan ke empat plasenta menjadi sumber utama dari hormon yang dipergunakan baik untuk sang ibu selama kehamilan maupun untuk menghasilkan susu.disamping itu plasenta dapat menghasilkan globulin yaitu unsur darah untuk pemberantas infeksi.

Bayi berhubungan dengan plasenta  melalui tali pusat. Seluruh tubuhnya berfungsi sebagai suatu sistem tertutup yaitu ia mempunyai peredaran darah tersendiri dan jantung tersendiri yang pada bulan keempat memompa kira-kira 30 liter sehari. Tali pusat itu berasal dari embrio. Ia berasal dari pusat bayi dan tumbuh bersama dengannya, dimana cairan sebanyak hampir 350 liter perhari melalui tali pusat ini dan mengalir dalam sebuah pita pembuluh yang terletak di dalam tali pusat. Pembuluh-pembuluh itu disimpan dalam suatu zat semacam agar-agar yang memenuhi tali pusat itu. Zat itu disebut agar-agar Wharton. Warnanya biru kehijauhijauan dan Kalimantan melallui kulit kuning tali pusat. Dalam tali pusat darah yang sudah terpakai dijauhkan dari bayi melalui dua urat nadI. urat nadI itu membawa darah ke plasenta, tempat beribu-ribu pembuluh yang ber cabang-cabang darah kembali ke tali pusat. Jalan kembali ke bayi melalui sebatang pembuluh yang masuk tubuh di pusat dan  mengedarkan darah segar dalam tubuh sang bayi.

Darah ibu dan bayi terpisah. Darah ibu tidak pernah masuk tali pusat, namun zat makanan untuk bayi hanya berasal dari ibu. Ia sanggup memelihara bayi dan diri sendiri.

BULAN KELIMA

Dalam bulan kelima panjang bayi mencapai duapuluh lima sentimeter, berattnya hampir setengah kilo. Besarnya Berta bah k.l. lima senti dan beratnya Berta bah tigaratus gram. Dalam bulan ini rambut kepala,  alis dan bulu mata mulai muncul. Bahkan satu bulan kemudian rambut kepala sudah dapat lengkap tumbuh penuh. Kini pada dada putra maupun putrid berkembanglah puting pucat warnanya dengan kelenjar dan saluran susu. Kerongkongan makin lama makin keras. Di ujung jari tangan dan beebread waktu kemudian juga pada jari kaki timbullah kuku yang kuat.

Dalam bulan kelima denyut jantung menjadi lebih kuat dan dapat Ter dengar pada lam bung ibu. Dengan memakai stetoskop kedengeran jelas sekali. Kalau ada bayi kembar, dokter dapat mendengar suara kedua jantung. Otot bayi kini semakin kuat dan karena bayi sudah menjadi lebih besar, gerak-geriknya sekarang mulai terasa oleh ibu. biasanya menjelang akhir bulan keempat atau permulaan bulan kelima, untuk per tama kalinya ibu merasakan gerakan bayinya. Adakalanya akan tetapi jarang sekali, gerakan bayi sudah terasa dorongan dan pemutaran. Jika ibu memperhatidisebut posisi. setiakan sungguh-sungguh, ia dapat membedakan tangan dari kaki, kepala dari pantat, dan kadang-kadang merasakan semacam ketukan, kira-kira limabelas sampai tigapuluh kali semenit. Kalau demikian bayi cegukan. Dapat terjadi bayi kena cegukan di dalam rahim seperempat malahan sampai setengah jam lamanya.

Dalam kan dungan, bayi tidur dan bangun hampir sama seperti bayi yang baru dilahirkan. Jika ia tidur, ia selalu mengam bil sikap kesayangannya yang disebut posisi. Setiap bayi mempunyai posisi sendiri-sendiri. Ada yang tidur dengan dagu di dada, sedangkan yang lain mendongakkan kepala ke belakang, kadang-kadang ssejauh mungkin. Jika bayi terbangun, dia dengan bebas dapat bergerak dalam cairan, dia berpaling ke samping dan sekali-sekali jungkir balik. Pada umur ini kepalanya kadang terletak diatas, kadang dibawah. Kebiasaan ini tetap dipegang sampai bulan kesembilan, tetapi dalam bulan ini ia tidak dapat lagi bergerak begitu bebas.Kadang-kadang sang bayi terbangun karena kehebohan di luar. Dapat terjadi seumpama kalau ibu sedang mandi, bunyi gayung yang jauh membangunkannya, musik yang keras atau bunyi mesin dapat juga membangunkannya.

BULAN KEENAM

Dalam bulan keenam tinggi bayi Bertambah dengan lima senti lagi, sehingga menjadi tigapuluh senti. Sekarang terbentuk pula sedikit lemak dibawah kulit dan berat bayi mencapai delapanratus gram. Dalam bulan ini kuntum-kuntum gigi mulai berkembang  di langit mulut, di belakang gigi sulung. Kini kelopak mata dapat juga bergerak dan bayi dapat membuka dan menutup matanya dan melirik keatas kebawah dan kesamping. Pegangannya menjadi sedemikian kuat sehingga ia sanggupp mengangkat berat tubuhnya sendiri. Sangat penting seandainya terjadi ke lahiran dini, bahwa sang bayi dalam bulan keenam sudah sanggup mengadakan pernafasan teratur kira-kira duapuluh empat jam lamanya. Ia mungkin dapat hidup terus dalam conveuse atau alat pengeram. Beberapa kali telah terjadi bayi yang hanya berumur duapuluh tiga atau duapuluh empat minggu dan dengan berat setengah kilo dapat diselamatkan. Akin tetapi bias Anya fungsi bernafas dan pencernaan kurang terbentuk untuk dapat menunaikan tugas sepenuhnya.

Jika bayi dilahirkan begitu dini, ia masih sangat kecil dan kelahirannya mudah. Sering dalamm keadaan itu ia masih diselimuti amnion. Amnion atau ketuban itu kuat dan sedikit kenyal. Dindingnyaa bening dan kira-kira sekuat kertas ini. Warna amnion itu keperak-perakan merupakan sehelai jaringan hidup dan terdiri atas sel kulit satu lapis saja. Bila bayi tumbuh, amnion itu menambah sel-selnya dan ikut tumbuh. Amnion adalah gelem bung ter tutup dilengkapi dengan lubing menahan air tempat tali pusat masuk.

Walaupun amnion itu menahan air dan juga cairan yang ada tak dapat meresap keluar, cairan amnion atau air ketuban bukan air yang menggenang. Sebaliknya setiap jam sepertiga volume diambil dan diganti. Setiap hari ditukar berliter-liter. Darimana datangnya cairan itu, dan kemana perginya. Kami belum mempunyai jawa ban yang lengkap. Mungkin sekali sumber utama persediaan cairan itu adalah paru-paru dan ginjal sang bayi. Memang jaringan paru-paru dan ginjal bias anya menghasilkan secular cairan yang agak besar. Sumber kedua adalah amnion itu sendiri. Sel-sel hidup dari kulit ini juga menghasilkan cairan. Lalu, ada molekul-molekul air, garam dan gula dari rahim yang melalui kulit amnion masuk dalam glembung itu. Bagaimana cairan ini keluar, belum terang. Kemungkinan besar diambil dan dipakai oleh bayi sendiri. Dalam bulan kelima glembung mengandung cairan kira-kira sedikit lebih dari satu liter. Sampai bulan ketujuh banyaknya tetap agak sama. Kemudian berkurang sampai k.l. separuhnya dan dengan demikian sang bayi yang sudah menjadi lebih besar, diberi ruang yang lebih leluassa. Banyaknya cairan sampai ke lahiran tetap sama.

Peranan air amnion ini dimengerti dari sudut evolusi para makhluk hidup. Dalam air berlangsunglah per alihan dari laut ke tanah untuk makhluk hidup yang lebih tinggi jumlahnya. Pada permulaan, air amnion itu melindungi embrio yang halus dan lemah itu, kemudian dia menahan tekanan dari luar dan melindungi bayi, dan menjaga supaya suhu badan agak sama. Bayi seakan-akin mengapung dalam air ketuban, sehingga ia tak ada beratnya dan dengan mudah dapat bergerak. Kini ia dapat berguling-guling, hal yang baru mungkin dilakukan lagi dalam ayunan beebread bulann sesudah kelahirannya. Ak an tetapi tinggalnya yang lama di dalam cairan dapat merusak kulit bayi. Oleh karena itu, sang bayi dilindungi oleh suatu salep kental keputihan yang dihasilkan oleh kulitnya sendiri bagaikan selapis lemak ekstra. Salep ini disebut vernix.

BULAN KETUJUH

Pada bulan ketujuh rambut kepala selesai tumbuh dan bulu lanugo(tumbuh dise luruh rambut dan tubuh bayi) untuk sebagian besar sudah rontok. Sang baayi sekarang belajar menghisap dan sudah pandai menghisap ibu jarinya. Ada bayi yang lahir dengan ibu jari yang kapalan, sebagai akibat dari menghisapnya waktu masih dalam kan dungan.

Saraf-saraf otak terus berkembang dimana janin sudah gemlike kesadaran dan kemampuan meningkat. Kulit janin semakin mulus dan tak terlalu Keri put lagi karena makin bertambahnya lemak. Pertambahan lemak ini juga menyebabkan cepatnya kenaikan bobot janin yang mencapai 1,36-1,4 kg di bulan ini. Janinpun tampak lebih bulat. Sementara panjang  dari puncak kepala hingga bokong mencapai 27 cm, atau panjang dari kepala sampai ib jari sekitar 43 cm.

BULAN KEDELAPAN

Bulan kedelapan bayi Bertambah se kurang-ku rangnya satu kilo, terutama karena terbentuk selapis lemak pelindung, yang harus memelihara badan agar tetap hangat sesudah . Jika kan dungan selama waktu ini ibu makan  terlampau banyak, sang bayi dapat pula menjadi terlalu gemuk. Tetapi, kalau pertumbuhan berat berlangsung normal, sang bayi pada akhir bulan ini memenuhi rahim sampai penuh, sehingga ia hanya bergerak dengan berpaling kesamping, tidak dapat lagi ber koprol. Mungkin kini ia megabit sikap tenang dengan kepalanya ke bawah. Demmikian halnya dengan kebanyakan bayi, karena kepala menjadi bagian tubuh terberat dan paling cocok bila terletak di bagiaan bawah dari rahim.

BULAN KESEMBILAN

Dalam bulan kesembilan ruangan yang tersedia menjadi lebih sempit lagi. Jika bayi bergerak, gerak geriknya itu Kalimantan di lambing ibu sebelah luar. Tidak mustahil bahwa ddengan satu sepakan kakinya di dalam Kaduna bayi hampir dapat menjatuhkan sebuah buku dari pangkuan ibunya.

Jika ibu tidak mempunyai persediaan secukupnya untuk memuaskan berbagai kebutuhan bayi yang semakin Berta bah, hal ini dapat menyebabkan ke lahiran dini. Anak kembar sering dilahirkan dini ak an tetapi hal ini mungkin disembarking karena kekurangan ruang, sehingga rahim mengalami pregnant yang lebih daribiasa. Jika rahim tidak dapat lagi meregangkan diri bayi dilahirkan.

Dalam bulan kesembilan sang bayi sudah dapat mempertahankan kehidupannya, karena dalam tiga bulan terakhir, ibunya sudah meneruskan banyak zat pelindung kepadanya. Dari darah ibu sang bayi menerima banyak zat putih telur membranes penyakit-penyakit, yang disebut anti bodi. Dalam tubuhnya sang ibu sudah membentuk anti bodi melawan beebread penyakit yang sudah pernah dideritanya, sehingga ia menjadi kebal terhadap penyakit. Bayi menerima suatu zat tambahanyang sangat baik untuk melawan penyakit. Kami maksudkan gamma globulin, yang untuk sebagian dihasilkan oleh ibu. Akin tetapi, bagian terbesar dibentuk oleh plasenta dan deerskin kepada ibu dan bayi. Gamma globulin itu membantu ibu supaya dalam tiga bulan terakhir kehamilannya dapat memberantas penyakit-penyakit dengan lebih baik.

Dalam bulan terakhir konsentrasi antibodi dan gamma globulin itu dalam darah bayi se kurang-ku rangnya sama kuat seperti dalam darah ibu. Alam telah menyiapkan ke lahiran. Ibu merasa tenang bila rahim yang diperenggang, turun kira-kira lima senti dalam tubuhnya. Pada saat ini bagian depan bayi masuk dalam pintu atas panggul. Sejak sekarang ini kepala atau bokong bayi terletak kuat-kuat di tempat masuk terowongan tulang, jalan yang harus distemper bayi. Dia sekarang betel-betel terjepit.

Pertumbuhan bayi bias Anya berhentti pada hari keduaratus enam  puluh sampai kira-kira satu minggu sebelum Kalahari. Mungkin karena plasenta sudah menjadi tua dan kehilangan kemampuannya. Karena plasenta merosot, rumahtangga hormon Ibu berubah, dan demikian mulailah sakit ingin  melahirkan. Mekanisme ini sedemikian tepat sehingga 75 persen semua bayi dilahirkan antara hari keduaratus enam puluh satu dan keduaratus tujuhpuluh satu. Jumlah hari-hari ini sedikit dibandingkan dengan banyak dan besarnya perubahan, jika dinyattakan dengan angka, hal ini tak akin mampu dibayangkan. Sampai Kalahari, dari satu sel tunggal telah terjadi duaratus juta sel dengan berat enam bilion kali berat telur yang dibuahi. Walaupun pesatnya pertumbuhan bayi yang pada permulaan sangat tinggi, mundur menjelang saat Kalahari, namun seandainya bayi hanya tumbuh terus deengan kecepatan tiga bulan terakhir ini,  ia pada hari ulang thorny yang per tama akin mencapai berat badan tujuhpuluh dua setengah kilo, dan pada umur duapuluh tahunlipat berjuta-juta kali berat  bumi. Syukurlah berat badan manusia mulai kelahiraanya sampai umur dewasa hanya Berta bah duapuluh kali lipat.

MASA KELAHIRAN

Pada kelahir an kebutuhan-kebutuhan bayi secara ajaib berlangsung serasi dengan kemampuan ibu. Segalanya berlangsung pada waktu tepat. Bayi sudah cukup matang untuk dilahirkan dan diia justru dilahirkan pada saat rahim tidak dapat diperluas lagi. Walaupun demikian bayi masih persis cukup kecil supaya dapat melewati jalan Kalahari yang sempit itu. Karena kekurangan ruang ia kurang dapat bergerak lagi dan juga tidak dapat tumbuh lagi. Pertumbuhan berhenti beebread hari sebelum ke lahiran karena makanan yang diberikan kepada bayi oleh plasenta yang sudah menjadi tua itu, berkurang. Karena plasenta yang menjadi tua dan karena reaksi otot-otot rahim terhadap perluasan yang besar itu, maka mulailah proses persalinan yang mengagumkan itu.

Jika bayi dilahirkan sesudah Sembilan bulan, beratnya yang biasa antara dua setengah sampai empat kilo.

Tahapan persalinan normal

Ke lahiran bayi dibagi dalam empat tahap atau juga disebut empat kala. Butuh waktu kira-kira 14-18 jam pada persalinan anak per tama lantaran ibu belum berpengalaman.

Kala 1 (pembukaan)

Tahapan ini menandai dimulainya proses persalinan hingga pembukaan lengkap mulut rahim. Berawal dari fase laten, yakni saat dating serangan kontraksi ringan yang hilang timbul. Dittander dengan mulas yang semakin teratur tetapi belum terlalu kuat,, disertai keluarnya lendir bercampur darah, dan adanya pembukaan mulut rahim dari 0-3 cm. dilanjutkan dengan fase aktif, yaitu pembukaannya sudah mencapai 4 cm, mulas semakin kuat, kadang disertai pecahnya selaputt ketuban, dan berakhir bila pembukaan telah mencapai 10 cm atau disebut juga pembukaan lengkap. Dari fase laten sampai pembukaan lengkap memakan waktu sangat lama, bias 10 hingga 18 jam. Kebanyakan ibu mengeluh nyeri pada punggung dan perut bagian bawah. Keluhan semakin memuncak pada akhir tahapan ini di saat kontraksi makin kuat dan mulut rahim hampir terbuka sebelumnya. Adakalanya kontraksi dimulai secara teratur, tapi berhenti di tengah proses tahapan iniehingga persalinan tak juga mengalami Karajan selama beberaapa jam,. bias Anya dokter akin melakukan akseleras persalinan yaitu suatu upaya untuk mempercepat proses ersalinan.

Kala 2 (pengeluaran bayi)

Tahapan ini dimulai saat mulut rahim sudah terbuka penuh sampai dengan pengeluaran bayi. bias anya waktunya lebih singkat   dibbandingkan dengan kala satu, kira-kira 1-2 jam untuk ke lahiran per tama, ddan lebih singkat untuk Kalahari anak berikutnya. Pada tahap ini, ibu baru boleh menngejan, Karnataka membuat ibu tak kunjung lahir. Dan ini bias menyebabkann gawat janin lantaran bayi kekurangan oxygen. Jadi mengejanlah dengan benar. Kala dua persalinan juga disebut sebagai tahap critical, Karenna semua prediksi awal persalinan bias berubah sama sekali dari perkiraan. Jika terdapat complicacy persalinan, kemungkinan akin diakhiri dengan bedah sesar. Atau bias miscount persalinan dilakukan pervaginam, tapi dokter memutuskan untuk menggunakan alat Bantu forseps/vakum.

Kala 3 (pengeluaran plasenta)

Disebut juga kala uri, dimulai dari beherapa menit setelah bayi lahir saat plasenta keluar. Tahapan ini bias berlangsung antara 15-30 menit. Setelah plasenta dikeluarkan, dokter akin memeriksanya untuk memastikan bahwa plasenta terlalu dalam tertanam pada dinding rahim membuat ibu beresiko mengalami pendarahan. Hal yang sama juga akin terjadi bila plasenta terlalu cepat keluar, karena bagian dalam rahim tertatik yang akhirnya terbalik, lalu ikut keluar.

Kala 4 (observasi pasca persalinan)

Selama 2 jam setelah plasenta keluar, kondisi ibu akin terus di pantau. Pasalnya, beragam masalah pacapersalinan bias muncul di tahapan ini, seperti robekan

Jalan lahir berdarah lagi atau kontraksi rahim berlangsung lemah tapi tidak ketahuan. Bila pendarahan berlangsung cukup hebat, kondisi ibu bias fatal.

Memang mengherankan dan ajaib sekali bahwa sang bayi sesudah kelahirannya yang berat itu begitu kerasan dalam lingkungan barunya. Baru sajaa ia dikeringkan dan dibungkus dalam selimut hangat, ia mulai terbatuk, menguap, bersin dan melihat-lihat dunia barunya. Kalau ia dibaringkan dekat dada iibu dengan segera ia mulai menghisap, bias anya dengan hasil baik. Sesudahnya kegiatannya berkurang lengan dan kakinya ditariknya ke atas megabit sikap kesayangannya dalam rahim dan dia tertidur dengan sehat dan nyenyak.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Haith M. Marshall & Miller A. Scott, Child Psychology, New York: John Wiley & Sons, Inc (1999).
  2. Papalia E. Diane & Olds Wendkos Sally, Human Development, New York: Mc-Graw Hill, (1995).
  3. Santrock John W. Perkembangan Anak (terj), jakarta (2007).
  4. Janet Whalley, RN, BSN, Kehamilan dan Persalinan.
  5. Phillip D. Sloane, Mph, Petunjuk Lengkap Kehamilan.
  6. M. Emerita S, Permata Hati
  7. G. L. Flanaga N, The First Nine Months of Live, New York (1962)
  8. Oktafandi Poernomo, Sp. Og, nakita Perkembangan Janin dari Minggu ke Minggu.
  9. Bahan-bahan internet:
  • Dictionary: Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
  • Azmi Elvita dkk, Genetika Dasar, Faculty of Medicine of Riau (2008)

PENDAHULUAN

Bahasa merupakan alat yang penting bagi setiap orang dalam berkomunikasi. Melalui berbahasa seseorang atau anak akan dapat mengembangkan kemampuan lainnya diantaranya kognitif dan sosialnya. Anak dapat mengekspresikan pikirannya menggunakan bahasa sehingga orang lain dapat menangkap apa yang dipikirkan oleh anak. Komunikasi antar anak dapat terjalin dengan baik dengan bahasa sehingga anak dapat membangun hubungan sehingga tidak mengherankan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu indikator kesuksesan seorang anak. Anak yang dianggap banyak berbicara, kadang merupakan cerminan anak yang cerdas.

Di samping itu, bahasa dapat dimaknai sebagai suatu sistem tanda yang akan menjelaskan sesuatu hal, baik lisan maupun tulisan dan merupakan sistem komunikasi antar manusia. Proses penandaan inilah yang dilakukan pula oleh anak-anak sebagai ekspresi maupun komunikasi dengan orang lain.

Perolehan bahasa pada anak-anak tidak serta-merta dapat langsung sempurna namun melalui proses perkembangannya yang bersegmentasi dari tahap perkembangan. Untuk memperoleh bahasa yang baik dalam kalimat yang terstruktur juga berproses dari pengenalan huruf, bunyi dari penggabungan antara huruf sampai pada tingkatan mengerti akan makna dari kata maupun kalimat yang bersusun.

PEMBAHASAN

ASPEK PERKEMBANGAN BAHASA

Aspek perkembangan bahasa terdiri dari empat, yaitu mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis. Seefeldt & Wasik (2008:324) menjelaskan keempat aspek tersebut masing-masing akan dijabarkan sebagai berikut[1]

Mendengarkan (menyimak)

Anak-anak mengembangkan kemampuan mendengarkan agar memahami lingkungan mereka. Supaya mereka belajar, mereka harus menerima masukan informasi dan mengolahnya. Mendengarkan dan memahami informasi adalah langkah dasar dalam memperoleh pengetahuan karena fungsi indra pendengaran sangat mempengaruhi perolehan informasi. Mendengar bukan merupakan kemampuan alami, sejak lahir. Untuk itu kemampuan ini dipelajari lewat bimbingan dan pengajaran orang tua, guru, dan orang lain di lingkungan anak-anak.

Berbicara

Dickinson dan Snow menurut Seefeldt dan Wasik menyatakan bahwa untuk belajar bahasa, anak-anak memerlukan kesempatan untuk bicara dan didengarkan. Dialog efektif antara orang dewasa dan anak termasuk orang dewasa yang mendengarkan ketika anak itu berbicara, mengajukan pertanyaan yang mendorong anak itu bicara lebih banyak, dan memperluas serta mengolah apa yang dikatakan anak itu.

Membaca

Membaca merupakan kemampuan individu dalam mengolah kata-kata dan sistem bahasa pada huruf dan kata tercetak. Kuncinya adalah memahami kombinasi huruf dan kata yang tercetak. Sistem bahasa yang berpengaruh disini adalah kemampuan anak dalam hal semantik, dan sintaksis serta pragmatis bahasa.

Suatu hal yang penting dalam perolehan membaca pada anak usia dini adalah bahasa yang digunakan haruslah konkret dan konteksual, dimana anak tahu tata bahasanya dengan melihat bentuk konkret dari bendanya yang berasal dari lingkungan sekitar. Cara tersebut mempermudah kemampuan anak membaca dan memahami apa yang dibacanya. Berikut tahap-tahap perkembangan membaca dalam Muiz (2007)[2].

1. Tahap Fantasi(magical stage)

2. Tahap Pembentukan Konsep Diri (self concept stage)

3. Tahap Membaca Gambar (briggingreading stage)

4. Tahap Pengenalan Bacaan (take-off reader stage)

5. Tahap Membaca Lancar (independent reader stage)

Menulis

Menulis merupakan bagian yang paling rumit dalam perolehan bahasa anak. Hal tersebut karena dalam menulis anak sudah mampu membaca. Namun, walalupun demikian proses yang dialami tentunya bertahap. Kemampuan anak menulis diawali dengan kemampuannya mencoret yang abstrak bertahap menjadi jelas bentuk hurufnya.

Sulzby menyatakan bahwa ketika anak tertarik pada buku dan huruf cetak, mereka mulai mengerti bahwa huruf cetak, seperti juga bahasa membawa sebuah pesan. Anak-anak pemula dimotivasi untuk menulis guna mengungkapkan ide dan pikiran mereka dengan huruf cetak.

Menulis, seperti juga membaca, terus berkembang sepanjang anak-anak mempunyai pengalaman yang berulang dengan huruf cetak. Yang penting juga untuk dipahami bahwa anak menulis atau mencoba untuk mengungkapkan diri mereka dalam huruf cetak meskipun apa yang mereka buat tidak kelihatan seperti huruf cetak konvensional. Menulis dalam Muiz (2007) juga memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut.

Scribble Stage

Anak mulai membuat tanda dengan alat tulis.

Linear Repetitive Stage

Anak menelusuri bentuk tulisan yang horizontal.

Random Letter Stage

Anak belajar berbagai bentuk yang merupakan satu tulisan dan mengulang berbagai kata atau kalimat.

Letter Name Writing or Phonetic Writing

Anak mulai menyusun dan menghubungkan antara tulisan dan bunyinya.

TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PERKEMBANGAN BAHASA (GRAMATIKA)

Perkembangan bahasa pada anak terdiri dari dua macam yaitu bahasa awal (pertama) dan bahasa kedua. Bahasa awal adalah bahasa komunikasi antara anak dengan ibunya bisanya dalam bentuk prilaku/ gerak dan suara maupun tangisan. Ada penelitian yang menyatakan bahwa bahasa awal ini sudah dimiliki anak bahkan sejak dalam kandungan. Sedangkan bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh anak dari lingkungnnya baik keluarga, sekolah maupun masyarakat, misalanya bahasa daerah, bahasa sehari-hari dll. Menurut beberapa ahli perpembangan bahasa pada anak-anak terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut (Crain)[3]?

Bahasa Awal

Bahasa awal ini merupakan bahasa pertama bagi bayi atau biasa disebut bahasa ibu, artinya bahasa komunikasi antara bayi dengan ibunya. Bahasa ini bernilai universal, yaitu bahasa yang pada semua bayi sama di seluruh dunia. Pada usia satu bulan mendeguk dan menjekut, dan pada usia enam bulan mereka biasanya mulai meraban, membuat suara-suara getaran bibir dan lidah seperti ‘ba ba ba’ atau ‘da da da’.

Pengucapan Satu-Kata

Pada usia sekitar satu tahun, bayi mulai memproduksi kata-kata tunggal. Beberapa peneliti percaya kalau mereka berusaha menggunakan kata-kata tunggal untuk mengekspresikan kalimat. Misalnya ‘kue’ berarti ‘aku ingin kue’ atau ‘di sana ada kue’, bergantung pada konteksnya. Namun sangat berbahaya kalau kita terlalu banyak terserap ke dalam ucapan bayi.

Pengucapan Dua-Kata

Sekitar mulai satu setengah tahun, anak-anak meletakkan dua kata bersama-sama, dan bahasa mereka menunjukkan struktur tertentu. Berikut sejumlah ucapan dua kata.

Jenis Contoh
1. Penamaan Kucing itu
2. Pengulangan Melompat lagi
3. Penegasian Bola hilang
4. Kepemilikan Mobil saya
5. Atribut Anak besar
6. Agen-aksi Andi memukul
7. Aksi-objek Memukul bola
8. Agen-objek Ibu roti (artinya, ‘ ibu sedang memotong roti’

Pengembangan Gramatika

Anak usia dua sampai tiga tahun, anak biasanya meletakkan tiga atau lebih kata secara bersamaan, sekarang mulai menggunakan subjek dan predikat yang melampai fungsinya sekadar sebagai agen dan tindakan saja. Ucapan anak-anak biasanya mengikuti urutan S-P-O, sesuatu yang integral dengan struktur.

Setelah mulai mengucapkan tiga atau lebih kata secara bersamaan, anak mulai menunjukkan bahwa mereka memahami ketergantungan pada struktur/ hubungan antar kata dalam kalimat.

Perubahan-perubahan

Antara tiga sampai enam tahun, gramatika anak-anak berubah dengan cepat menjadi cukup kompleks. Bellugi-Klima (Crain, 2007) mempelajari bagaimana anak membentuk kata tanya ‘Dimana’, ‘apakah’, dan ‘Kenapa’ dari pengubahan struktur dalam kalimat itu sendiri. Di samping itu, anak usia ini sebetulnya memahami struktur (S-P-O) dari kalimat namun terkadang terjadi kesalahan dalam menempatkan/ mengucapkan kata-kata penghubung.

Mendekati Gramatika Orang Dewasa

Meskipun anak menguasai banyak aspek gramatika di usia lima atau enam tahun, namun sejumlah pengubahan kalimat yang kompleks masih tidak mampu mereka lakukan. Sebagai contoh, mereka tampaknya kesulitan pada kalimat pasif sampai usia tujuh tahun atu lebih. Namun begitu, usia 5 sampai 10 tahun tetap penting untuk ementukan kemampuan kemampuan gramatika anak yang paling halus dan kompleks.

Jamaris (2006:34) juga mengklasifikasikan perkembangan bahasa sebagai berikut[4]:

0 – 3 bulan Anak sudah melakukan kontak mata serta menaruh minat pada orang yang berbicara dengannya. Ia senang melihat gerakan lidah. Anak menangis untuk menyatakan keinginannya
6 bulan Anak mulai mengulangi suku kata. Ia mampu mengucapakan  kata “ma….pa…”
9 bulan Anak sudah mulai memahami kata-kata yang mempunyai arti. Ia mampu mengikuti perintah sederhana.
12 bulan Anak mampu mengulangi kata-kata dengan sengaja. Diusia ini sudah menguasai sekitar 200 kata
15 bulan Anak mulai mengenal obyek kata yang mempunyai nama
18 bulan Anak mulai mengucapkan kata
21 bulan Anak mulai mengucapkan frase
24 bulan Anak mulai mengucapkan kalimat. Diusia ini, orang tua bisa memahami apa yang dibicarakannya karena anak sudah mampu mengucapkannya dengan artikulasi jelas
2-3 tahun Anak mengerti dan dapat menggunakan lebih banyak kata. Ia juga mampu membuat kelimat sederhana
3-4 tahun 1.  Memahami konsep persamaan dan perbedaan2.  Mampu membuat kalimat lengkap yang terdiri dari 5-6 kata. Sudah mampu menempatkan subyek, predikat dan obyek dengan benar3.  Mulai dapat bercerita dengan pengucapan yang jelas dan relative mudah dimengerti
4-6 tahun Bisa merangkai kalimat yang lebih dari 6 kata. Mempunyai perbendaharaan kata hingga 10.000 kata. Memahami bahwa antara huruf dan bunyi terdapat hubungan. Mampu menyebutkan nama dan alamat. Sudah mampu bercerita lebih panjang dengan kalimat yang lebih kompleks.  Beberapa anak bahkan mampu menuliskannya. Bisa menggunakan bahasa untuk mengekspresikan empati

Sujiono (2005) mengklasifikasikan karakteristik perolehan bahasa anak sebagai berikut[5].

O-6 bulan

– Mendengarkan suara yang berada di dekatnya

– Bereaksi terhadap suara atau bunyi yang didengarnya

– Membuat suara lembut seperti “oo” dalam tanggapannya terhadap orang lain

– Mengeluarkan tiga suara yang berbeda

– Mengoceh walau belum jelas apa yang diucapkannnya seperti baba..da..da..

7-12 bulan

– Mengocehnya  meningkat, kadang-kadang kedengaran seperti pembicaraan yang sebenarnya dengan intonasi naik turun. Kata-kata pertama, mama, papa.

– Mengenal suara-suara disekitarnya seperti suara kucing, ayam, tukang jualan, dll

– Menirukan suara atau mengulang bunyi yang didengar

– Memberikan nama atau label pada benda berdsarkan suara, misalnya meong untuk kucing.

– Bereaksi cepat ketika namanya dipanggil, dengan cara menoleh

– Mampu mengikuti satu perintah sederhana

1 tahun

– Mengucapkan kalimat yang terdiri dari dua kata

– Produksi kata-kata bunyi umum yang biasanya digunakan dalam kata-kata pertama yang terdiri dari huruf-huruf mati p,b,v,t,d,m dan n. huruf hidup seperti o dan e

– Mengetahui dan mengerti lebih banyak kata-kata daripada yang dapat mereka ucapkan

– Dapat menggunakan bahasa isyarat

– Mengerti perintah yang sederhana

– Berani mengeluarkan pendapat

– Menyebut tiga benda sesuai dengan kegunaannya

2 tahun

– Melaksanakan dua perintah sekaligus

– Menggunakan kalimat tanya dan kalimat sangkal ‘ya/tidak’

– Menyebut nama diri dan mempergunakan kata ganti Aku dan jenis kelamin

– Dapat menyatakan hak milik/benda kepunyaannya

– Mampu merangkai 2 kata seperti ; ‘Apa ini?’

– Bertanya dan mengerti kata-kata yang ditujukan kepadanya seperti ;apa dan dimana

– Menambah perbendaharaan kata sebanyak 50 kata

– Menceritakan suatu kejadian dengan melihat gambar

– Mengerti larangan ‘jangan’, tidak dan lain-lain

– Mulai menggunakan kata sandang, kata yang menunjukkan tempat, kata hubung dan kata kerja

– Menggunakan beberapa frase kata dan mempergunakan kata benda jamak, contoh mobil-mobil

– Membuat kalimat negatif; saya tidak dapat membuka ini.

– Menggunakan kata ganti orang ketika menyebut orang lain, seperti; kamu..

– Menyatakan kebutuhan dan permintaan

– Senang menikmati buku cerita sederhana selama 5-10 menit untuk meminta dibacakan kembali.

3-5 tahun

– Dapat berbicara dengan baik dengan menggunakan kalimat sederhana yang terdiri dari empat sampai lima kata

– Mampu melaksanakan tiga perintah lisan secara berurutan dengan benar

– Senang mendengarkan dan menceritakan kembali cerita sederhana dengan urut dan mudah dipahami

– Menyebutkan nama, jenis kelamin dan umurnya.

– Menyebut nama panggilan orang lain

– Dapat menggunakan kata sambung, misalnya ‘dan’, ‘karena’, ‘tetapi’

– Mengerti bentuk pertanyaan dengan menggunakan kata ‘apa’, ‘mengapa’, ‘bagaimana’, ‘kapan’

– Mengajukan pertanyaan;apa, siapa dan kenapa

– Menggunakan kata keterangan lampau, menceritakan pengalaman yang lalu

– Menggunakan kata depan; di dalam, di atas, di bawah , di samping

– Menggunakan kata depan; di dalam, di atas, di bawah, di samping

– Mengenal tulisan sederhana

– Mungkin mempunyai kosa kata yang terdiri dari 900 kata (3 tahun)

– Mungkin memiliki kosa kata sebanyak 1500 kata (4 tahun)

– Mungkin memiliki kosa kata sebanyak 3000 kata (5 tahun)

– Mampu berperan serta dalam suatu percakapan dan tidak mendominasi untuk selalu ingin di dengar

– Menjawab telepon dan menyampaikan pesan sederhana

– Dapat mengulang kalimat yang terdiri dari 9 dan 10 suku kata.

6-8 tahun

– Memiliki lebih kurang 14000 kata

– Memperkenalkan diri, nama, alamat dan keluarganya dengan jelas dan dapat dimengerti

– Menggunakan kalimat yang terdiri dari 6 kata

– Menceritakan banyak hal, diantaranya cerita mengenai keadaan di rumah, di sekolah, ibu, guru dan permainan yang disukainya

– Dapat menyebutkan seluruh anggota badan sambil bernyanyi

– Anak mengerti bahwa beberapa kata mempunyai arti dan fungsi yang sama dan berbeda

– Anak dapat bercerita sendiri dengan gambar yang dibuatnya

– Membaca, menyempurnakan kalimat sederhana dan menirukan kata

– Membaca, menirukan huruf dan menyempurnakan huruf atau suku kata

– Menyempurnakan kalimat dan mengisi titik-titik

– Menyempurnakan kalimat secara lisan sesuai dengan gambar

– Menceritakan kegiatan berdasarkan gambar dan membaca percakapan

– Menjawab pertanyaan , menyanyikan lagu puisi yang sesuai dengan gambar

– Membaca nyaring dengan lafal dan intonasi yang wajar

– Mendeklamasikan dan melagukan puisi yang sesuai untuk anak-anak

– Menyapa dengan tutur kata yang sopan.

Menurut Morrow (1993:72) perkembangan bahasa memiliki tingkatan-tingkatan berdasarkan usia yang di jelaskan sebagai berikut [6]:

Lahir – 1 tahun

Di awal bulan infancy, bahasa orang yang terdiri dari sebuah percobaan anak atau permainan dengan suara. Anak menangis ketika mereka merasa tidak nyaman dan dekut, mengoceh ketika merasa senang. Orang tua dapat membedakan teriakan/tangisannya. Tangisan pertama untuk bahasa lapar dan yang lain untuk sakit, sebagai contohnya. Infant belajar dari hasil perbedaan teriakan/tangisan. Mereka berkomunikasi secara non verbal secara baik dengan menggerakkan tangan dan lengan untuk mengekspresikan kesenangan atau tangisan.

Ketika seorang bayi berusia 6 bulan, ocehan menjadi lebih halus. Anak pada usia tersebut biasanya mampu mengkombinasikan macam-macam suara dengan vokal. Mereka mengulangi kombinasi yang baik dan semakin baik. Pada tingkatan ini orang tua kadang-kadang berpikir mereka sedang mendengarkan satu kata anak-anak. Pengulangan konsonan dan vokal , seperti da, da, da atau ma, ma, ma adalah seperti suatu kata yang sempurna. Kebanyakan orang tua menguatkan  prilaku positif anak pada tingkatan ini.

Dari delapan sampai 12 bulan, penguasaan bahasa anak meningkat secara komprehensif; mereka memahami bahasa melebihi kemampuan yang di hasilkan. Bagaimanapun penguasaan bicara satu kata, biasanya lebih dikenal dan bermakna bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari.  Seperti papa, mama, dada, cucu, dan, ndk, secara langsung.

1 – 2 tahun

Bahasa awal seorang anak tumbuh cepat antara satu dan dua tahun. Selanjutnya dengan ucapan satu kata, anak mengucapkan banyak suara dengan intonasi orang dewasa seperti ketika bicara dalam sebuah kalimat. Ucapan ini sulit dipahami bagi orang dewasa, bagaimanapun juga. Anak memulai menggunakan ucapan telegrapik dari 12 bulan- inilah bukti awal pengetahuan mereka tentang syntaksis. Ucapan telegrapik menggunakan makna kata, seperti kata benda dan kata kerja, tetapi mengabaikan fungsi kata, seperti konjungsi. Misalnya, “ayah rumah”, maksudnya “ayah datang ke rumah” atau “burung tinggi” maksudnya ”burungnya sedang terbang tinggi”.

Bahasa melonjak secara pesat pada suatu kejadian ketika anak mengkombinasikan kata-kata.

2 – 3 tahun

Pada usia ini kemungkinan yang dramatik muncul pada perkembangan bahasa. Tipenya, bahasa awal seorang anak tumbuh dari 300 hingga 1000 kata. Anak dapat tahu lebih menyeluruh, tetapi tidak mampu menggunakannya, 2000 hingga 3000 tambahan kata. Kalimat dua atau tiga kata berlanjut menjadi lebih kompeks, dan anak  berkesempatan menggunakan fungsi kata seperti pronon, konjungsi, dan preposisi.

3 – 4 tahun

Kosakata dan pengetahuan seorang anak pada struktur kalimat  berkembang cepat selama pada waktu empat tahun. Struktur sinktaksis muncul pada daftar nyanyian anak yang yang didalamnya bermacam-macam kata kerja dan kata benda.

5 – 6 tahun

Perkembangan bicara pada anak usia ini sangat banyak seperti orang dewasa ketika berbicara. Bagaimanapun, kosakata mereka selalu bertambah dan begitu juga komplesitas siktaksis dari bahasa mereka. Mereka memiliki 2500 kata yang tepat, dan secara ekstrim dapat diucapkan. Banyak, bagaimanapun, masih memiliki kasulitan pada prounoun dari beberapa suara. Khususnya pada l, r, dan sh di akhir kata. Mereka sadar kata yang diucapkan lebih memiliki lebih dari satu maksud. Mereka juga kreativ dalam menggunakan bahasa. Ketika mereka tidak memiliki sebuah kata yang menjelaskan sesuatu kondisi, mereka menirukan orang di dekatnya.

7 – 8 tahun

Saat anak pada usia tujuh sampai delapan dan seterusnya, mereka mengembangkan tata bahasa yang hampir sesuai dengan orang dewasa. Tentu mereka tidak menggunakannya secara luas dari tata transformasi tata bahasa yang diperoleh dari bahasa orang dewasa. Tujuh sampai delapan tahun memiliki percakapan sempurna yang berbicara pada bagian pada diri mereka sendiri.

Dari uraian karakteristik perkembangan bahasa dari setiap periodenya di atas disimpulkan bahwa terjadi perbedaan-perbedaan pada setiap tahap-tahapnya. Proses yang terjadi merupakan aspek alamiah dari tahap-tahap perkembangan anak dimana secara normal anak memiliki tingkatannya sendiri dalam perkembangan bahasanya. Memang, terkadang anak memperoleh kemampuan bahasanya melebihan periode-periode dari perkembangannya. Hal tersebut akan di jelaskan dalam bagian lain pada makalah ini.

SISTEM BAHASA

Setiap bahasa terdiri dari sistem-sistem utama/elemen dasar bahasa. Pada anak usia dini umumnya terdapat 5 sistem bahasa, diantaranya

Fonologi (fonemik)

Menurut IRA (International Reading Association) dalam Seefeldt dan Wasik[7] (2008:326) fonologi (fonemik) merupakan pengertian  mendalam tentang bahasa lisan dan khususnya tentang pemilahan bunyi-bunyi yang dipakai dalam komunikasi bicara. Pemahaman fonologi’ (fonemik) bukan penguasaan bunyi di dalam kata tetapi kesadaran akan bunyi itu di dalam kata. Anak-anak bisa menyadari bunyi yang dihasilkan kata-kata tanpa mengetahui huruf atau label untuk bunyi di dalam kata-kata yang bersajak.

Berkenaan dengan ketentuan yang mengatur struktur, distribusi dan urutan dan atau kombinasi bunyi, serta bentu ucapan. Contoh kata yeng berbunyi “ng”, juga pada intonasi suara yang akan menjadikan perbedaan makna karenanya.

Munn dan Stoel dalam Santrock[8] (2008:353) menyatakan bahwa setiap bahasa dibentuk dari suara-suara dasar. Fonologi adalah sistem suara dari suatu bahasa, termasuk suara-suara yang digunakan dan bagaimana suara-suara tersebut dikombinasikan.

Morfologi

Berkenaan dengan organisasi kata-kata secara internal, ada kata yang dapat berdiri sendiri seperti: buku, sepatu, meja, sekolah, dan lain-lain, dan yang tidak dapat berdiri sendiri, seperti awalan ber-, me-, di-, atau kata kerja. Morfen itu sendiri adalah unit terkecil dari bunyi kata yang harus dikombinasikan dengan kata-kata lain sehingga mempunyai makna. Beberapa kombinasi dari morfem. Sebagai contoh morfen kata kucing, disini kucing memiliki makna bebas tetapi jika mempunyai makna lebih khusus maka harus ada morfem dibelakangnya, misalnya memandikan kucing.

Santrock (2008:353) mengacu pada unit-unit makna yang membentuk formasi kata. Sebuah morfem adalah unit terkecil yang masih memiliki makna; yang berupa kata (atau bagian kata) yang tidak dapat dipecah lagi menjadi bagian bermakna yang lebih kecil. Misalnya, kata “girl” adalah satu morfem, atau unit bermakna: tidak dapat dipecah lagi menjadi unit lebih kecil.

Syntaksis

Pada dasarnya sintaksis berkenaan dengan atur-aturan dalam pembentukan kata dan kalimat, yakni memiliki subjek, predikat, objek. Contoh: Adik minum susu.

Sintaksis menunjukkan peran yang dihasilkan dalam frase, klausa, dan kalimat (Morrow, 1993)[9]. Peggunaan sintaksis dari bahasa yang kita keluarkan membantu anak memahami apa yang mereka dengar dan apa yang akan mereka baca. Sintak memasukkan peran untuk pola dasar, peran untuk mentransformasi pola dalam perintah untuk mengeneralisasikan kalimat baru, dan peran untuk menanamkan, memperluas, dan menggabungkan kalimat dalam suatu perintah menjadi sesuatu yang kompleks.

Sedangkan Santrock[10] (2008:354) menyatakan meliputi bagaimana kata-kata dikombinasikan sehingga membentuk frasa-frasa dan kalimat-kalimat yang dapat dimengerti. Misalnya, “Sabastian mendorong sepeda” memiliki arti yang berbeda dengan “Sepeda mendorong Sabastian”.

Semantik

Semantik merupakan sistem aturan yang mengendalikan makna isi kata atau kalimat. Santrock (2008:355) berpendapat bahwa mengacu pada makna kata dan kalimat. Setiap kata memiliki sekumpulan makna sematik atau atribut-atribut penting terkait dengan makna. Misalnya, mengetahui arti tiap-tiap kata—dengan kata lain, memahami kosakata. Contohnya, sematik termasuk mengetahui arti kata-kata seperti jeruk, transportasi, cerdas.

Proses perkembangan semantic biasanya dimulai pada usia sekitar 2 tahun. Vasta (1999)[11], mendeskripsikan bahwa perkembangan semantic tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan. Pertama, anak tidak hanya mendengar ribuan kata, tapi juga harus mempelajari bahwa kata terdiri dari jenis-jenis yang berbeda, yaitu kata benda (topi, susu), kata kerja (makan, bicara) dan keterangan (senang, merah). Kedua, perkembangan semantic sangat erat kaitannya dengan perkembangan konsep anak-anak. nama benda seperti ‘kucing’, biasanya melabelkan keseluruhan kelompok dari benda (binatang peliharaan keluarga, mainan dan Garfield), seperti itu pula dengan nama aksi/kata kerja, dan sebagainya. Lebih jauh lagi, beberapa benda dapat disebut dengan banyak nama yang berbeda (seperti, binatang, kuda, stallion, Champ). Bagaimana anak kecil dapat tahu bahwa kelompok benda dapat sesuai dengan pada kata baru dan bagaimana perkembangan belajar ini adalah isu yang penting untuk memahami perkembangan pemerolehan bahasa.

Pragmatik

Perangkat terakhir dari aturan bahasa adalah pragmatik, yaitu penggunaan bahasa yang tepat dalam konteks-konteks yang berbeda. Berkenaan dengan penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan tujuan tertentu.  Misalnya, menggunakan bahasa yang sopan dalam situasi-situasi yang tepat, seperti ketika berbicara dengan guru. Berbicara bergiliran dalam suatu percakapan melibatkan pragmatik.

Pragmatic, menurut keyakinan para fungsionalist, bahwa anak senantiasa berjuang untuk mencari jalan yang lebih baik untuk mengkomunikasikan ide, permintaan dan keberatan mereka pada orang lain. Mereka termotivasi untuk memperoleh bahasa karena bahasa menyediakan bagi mereka alat yang sangat kuat- kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain secara mudah dan untuk mendapatkan keinginan-keinginan mereka secara efektif.(Hickman, 1986;Ninio & Snow, 1988 dalam Vasta,1999:430)[12].

Speech Acts (bicara instan)

Sebelum dapat berbicara, bayi menggunakan alat lain untuk berkomunikasi seperti menangis, ekspresi muka dan gerak tubuh. kemudian setelah mampu mengucapkan kata kepada orang lain, anak akan memperoleh berbagai keinginan. Oleh para fungsionalis, hal ini disebut dengan speech acts (Astington, 1988;Dore,1976 dalam Vasta, 1999). Contohnya, ketika anak berkata “mama”, biasanya digunakan baik untuk memanggil ibunya  dan untuk meminta benda dari nya (Ninio & Snow, 1988 dalam Vasta 1999)[13].

Percakapan

Percakapan adalah bahasa yang digunakan dalam interaksi social.

Ketika seseorang melakukan percakapan, tentu saja mereka harus memperhatikan aturan gramatikal untuk dapat mengerti ucapan orang lain. Selain itu mereka juga harus mengikut aturan social dalam percakapan seperti pergiliran. Anak-anak kemungkinan besar mempelajari aturan ini pada masa preverbal (Collis,1985 dalam Vasta, 1999)

Aturan percakapan lain yang muncul kemudian seperti; 1) mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan perkatan pembicara sebelumnya, 2) mengatakan sesuatu yang sesuai dengan tema yang dibicarakan, 3) mengatakan sesuatu yang bukan sudah dikatakan oleh pembicara sebelumnya dan peraturan lain yang anak-anak belum menggunakannya secara konsisten sampai pada umur 6-7 tahun.(Conti & Camras, 1984 dalam Vasta 1999).

Komunikasi  yang dimengerti oleh social (Social Referential Communication)

Bentuk komunikasi dimana pembicara mengirimkan pesan yang dimengerti oleh pendengarnya. Kemampuan berbahasa ini jarang ditemukan dapat dilakukan sempurna oleh anak-anak usia dini. Kesalahan yang sering dilakukan seperti mengangguk untuk menjawab pertanyaan di telepon, atau menanyakan “yang ini?” pada orang lain yang tidak bisa melihat aksinya.

Namun terkadang anak berusia 2 tahun menunjukkan kemampuan untuk merubah pesan yang disampaikan ketika mengatahui lawan bicaranya tidak memahami perkataannya (Shwe & Markman, 1997 dalam Vasta 1999). Namun pada umumnya, bagaimanapun juga, sensitivitas akan respon balik pendengar, sangat terbatas pada anak usia dini, yang sering kali mengulangi pesan yang sama walaupun si pendengar tidak mengerti ( Robinson, 1981 dalam Vasta, 1999)

PENGARUH BIOLOGIS DAN LINGKUNGAN

Perolehan bahasa pada anak dipengaruhi oleh dua hal yaitu biologis dan lingkungan, berikut akan dijelaskan secara khusus.

Pengaruh Biologis

Menurut Chomsky dalam Santrock (2007:269) manusia secara biologis terprogram untuk belajar bahasa pada waktu tertentu dan dengan cara tertentu. Anak dilahirkan ke dunia dengan perangkat perolehan bahasa (language Acquisition Device (LAD)), yakni suatu warisan biologis yang memampukan anak mendeteksi gambaran dan aturan bahasa, termasuk fonologi, sintaksis, dan sematik. Anak-anak dipersiapkan oleh alam dengan kemampuan mendeteksi bunyi-bunyi bahasa, dan untuk mendeteksi dan mengikuti aturan-aturan seperti bagaimana membentuk kata benda jamak dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan. Pendukung teori ini menyebutkan kesamaan munculnya kejadian-kejadian penting berbahasa (bahasa pertama dan ledakan kosa kata) antara berbagai bangsa dan budaya di dunia ini sebagai bukti bahwa anak-anak menciptakan bahasa bahkan kala anak-anak menerima pendidikan yang memadai dan mengalami pengurangan kemampuan akibat faktor biologis.

Sebagaimana kekacauan genetik yang membuat bayi sulit memahami pikiran dan dunia, terdapat pula kekacauan genetik yang membuat bahasa jadi sukar. Dan, hal ini memperlihatkan bahwa kita mempunyai kemampuan bawaan yang memungkinkan kita mengerti dan berbicara (Gopnik, Meltzoff dan Kuhl 2006:197)[14]. Masalah ini terlihat pada perbedaan individu dalam pemerolehan bahasa.

Pengaruh Lingkungan

Pengaruh lingkungan dapat ditinjau dari teori behavioral yang berpendapat bahwa bahasa adalah rangkaian respon yang dicapai melalui penguatan. Bagaimanapun kita tidak dapat menyangkal bahwa terjadinya ledakan bahasa pada anak dipengaruhi oleh peran lingkungan pertumbuhan. Banyak ditemukan kasus perolehan bahasa terhadap lingkungan, misalnya, kasus Genie yang ditemukan di hutan dan tidak dapat berbicara layaknya manusia normal. Begitu juga dengan Merlyn yang awalnya mampu berbicara (berbahasa) kemudian diasingkan orang tuanya di hutan, kemudia bahasa yang dimiliki berubah menjadi bahasa hewan karena tidak dipergunakannya ketika berada di hutan.

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa lingkungan berpengaruh besar terhadap perolehan bahasa anak. Lingkungan yang pertama terjadinya ledakan bahasa pada anak tentunya di awali dalam lingkungan keluarga.

BAHASA DAN OTAK

Penelitian terhadap aspek biologis manusia ditemukan bahwa terdapat hubungan yang erat antara perolehan bahasa dengan otak manusia. Di temukan bahwa di dalam otak manusia terdapat bagian-bagian yang memproses (mengolah) bahasa. Karena bahasa sangat penting dalam menentukan spesies, tidak mengejutkan bahwa area substansial dari “cerebral cortex”, bagian tertinggi dari ptak, dipersembahkan untuk fungsi-fungsi bahasa. Salah satu misteri terbesar mengenai otak manusia adalah hemispheric (belahan).

Bagi kebanyakan manusia, fungsi-fungsi bahasa dihadirkan dalam cerebral cortex bagian kiri hemisfer, sesuai dengan kenyataan bahwa kebanyakan dari kita menggunakan tangan kanan. Petunjuk awal bahwa bahasa memiliki tempat yang khusus di otak, diawali oleh ahli syaraf dan antropologi Prancis yang bernama Paul Broca.

Berikut sebuah kasus yang ditemukan oleh Broca dalam penelitiannya[15]:

Ia mencatat sebuah kasus dari seorang pasien yang telah kehilangan kemampuan dalam menghasilkan bahasa kecuali untuk suku kata tunggal “tan”. Tapi orang ini mampu memahami pertanyaan-pertanyaa sederhana dan menyatakan ya atau tidak melalui inflection (modulasi suara) beberapa dari “tan”. Pasien ini meninggal dua tahun kemudian, dan Broca telah mendapatkan otaknya. Sejalan dengan itu, dia tidak membedah otak tersebut tapi mengawetkan semuanya. Sesungguhnya kerusakan notak tersebut sangat luas. Para pasien dengan luka lebih kecil pada area umum yang sama dari cuping bagian depan (lobus frontal) bagian kiri hemisphere, memiliki gejala-gejala yang kurang parah. Mereka mampu berbicara, tetapi kesulitan dalam melakukannya, memiliki tatabahasa yang buruk, dan mengabaikan kebanyakan kata-kata yang dimodifikasi. Ini adalah klasik afasia (kehilangan kemampuan memakai atau memahami kata-kata karena suatu penyakit otak) Broca.

Selain Broca, seorang ahli syarat Carl Wernicke mencatat penelitiannya tentang orang yang memiliki permasalahan mampu berbicara namun sedikit arti, selain itu, mereka juga tidak dapat memahami pembicaraan. Ditemukan bahwa terjadi kerusakan pada cuping sementaranya (lobus temporal). Dengan penemuannya ini nama Wernicke diabadikan menjadi nama bagian otak ini.

Orang yang memiliki kerusakan seperti yang disebutkan tadi dikenal menderita Wernicke afasia (ketidak mampuan menggunakan ikatan besar serabut syaraf). Ketika ikatan ini rusak, seperti halnya penyakit stroke (serangan orang yang biasanya disertai kelumpuhan). Jika area Wernicke bertahan, maka permahaman bahasa baik-baik saja. Dan di area Broca bertahan maka kemampuan bicara juga baik-baik saja.

Bukti-bukti penelitian saat ini menunjukkan bahwa area Broca sebenarnya mencakup sub-sub area yang bersangkutan dengan semua aspek fundamental kemampuan bicara: fonologi, sintaksis, dan semantik (arti). Hal in mengejutkan, karena area Wernicke sepertinya juga mencakup hal ini. Satu area berhubungan dengan persepsi pacaindra dari kemampuan bicara dan bunyi bukan bicara; sementara area lainnya menyangkut produksi kemampuan bicara, dan area yang lebih posterior (belakang) merespon pembicaraan eksternal dan diaktifkan oleh ingatan kata-kata.

Tampak sekali bahwa bagian terakhir ini penting untuk mempelajari memori jangka panjang terhadap kata-kata baru. Area total dari bagian kemampuan bicara posterior ini lebih besar dari pada area Wernicke dan mencakup parietal serta area yang berhubungan dengan temporal dari korteks. Penelitian gambaran otak menunjukkan bahwa otak besar, sistem “motorik” juga terlibat banyak di dalam bahasa. Tentu saja, otak besar terlibat dalam aspek motoris berbicara tapi juga dalam aspek arti suatu bahasa, seperti halnya mendapatkan kembali kata-kata dari memori. Gambaran otak tersebut disimpulkan bahwa hemisfer sebelah kanan juga terlibat dalam beberapa aspek bahasa.

INTERVENSI YANG MEMPENGARUHI PEROLEHAN BAHASA

Berikut hal-hal yang dapat mempercepat perkembangan bahasa anak:

1. Anak berada dalam lingkungan yang positif dan bebas dari tekanan. Pada lingkungan yang kaya bahasa akan menstimulasi perkembangan bahasa anak. Stimulasi tersebut akan optimal jika anak tidak merasa tertekan. Anak yang tertekan akan takut mengekspresikan pikirannya dalam pembicaraan sehingga mempengaruhi bicaranya. Seperti yang terjadi pada anak gagap yang dipengaruhi oleh tekanan lingkungan.

2. Menunjukkan sikap dan minat yang tulus pada anak. Anak usia dini memiliki emosi yang masih kuat karena itu guru harus menunjukkan minat dan perhatian tinggi kepada anak. Orang dewasa perlu merespon anak dengan tulus.

3. Menyampaikan pesan verbal diikuti pesan non verbal. Dalam bercakap-cakap dengan anak, orang dewasa perlu menunjukkan ekspresi yang sesuai dengan ucapannya. Perlu diikuti gerakan, mimik muka, dan intonasi yang sesuai. Misalnya: orang dewasa berkata, “saya senang” maka perlu dikatakan dengan ekspresi muka senang, sehingga anak mengetahui seperti apa kata senang itu sesungguhnya.

4. Melibatkan anak dalam komunikasi. Orang dewasa perlu melibatkan anak untuk ikut membangun komunikasi. Kita menghargai ide-idenya dan memberikan respon yang baik terhadap bahasa anak.

KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan bahasa pada anak usia dini:

– Perkembangan pada setiap anak mengikuti pola universal seperti preverbal

– Perkembangan bahasa anak usia dini terdiri dari bahasa awal yaitu bahasa komunikasi antara anak dan ibunya, sedangkan bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh anak dari lingkungannya, bahasa kedua sudah mulai terstruktur pada usia 2 tahun

– Beberapa ahli mengemukakan beberapa tingkat perkembangan bahasa dari usia 0-5 tahun, bahkan Sujiono dan Marrow mengklasifikasikan sampai 8 tahun, tapi pada dasarnya tahapan-tahapan perkembangan tersebut sama antara satu dan yang lain

– bagian otak manusia yang mendeskripsikan posisi area bahasa (Wernicke dan Broca), area Wernicke merupakan area yang berfungsi untuk memperoleh pemahaman bahasa, sedangkan Broca merupakan area yang berfungsi untuk memperoleh kemampuan bicara.


[1] Seefeldt & Wasik, 2008.  Pendidikan anak Usia Dini. Indeks : Jakarta.

[2] Azizah Muiz, 2007. Bahan Kuliah Bahasa Prasekolah. UNJ: Jakarta.

[3] Crain, William, 2007. Teori Perkembangan. Penerjemah: Yudi Santoso. Pustaka Pelajar : Yogyakarta

[4] Martini Jamaris, 2006. Perkembangan an Pengembangan Anak. Grasindo: Jakarta.

[5] Yuliani Nuaini Sujiono dan Bambang Sujiono, 2005. Menu Pembelajaran Anak Usia Dini. Yayasan Citra Pendidikan Indonesia : Jakarta.

[6] Lesley Mandel Morrow, 1993. Literacy Development in The Early Years. Allyn & Bacon: USA

[7] Seefeldt & Wasik, 2008.  Pendidikan anak Usia Dini. Indeks : Jakarta.

[8] John W. Santrock, 2007. Perkembangan Anak (jilid 1). Erlangga: Jakarta.

[9] Lesley Mandel Morrow, 1993. Literacy Development in The Early Years. Allyn & Bacon: USA

[10] John W. Santrock, 2007. Perkembangan Anak (jilid 1). Erlangga: Jakarta.

[11] Ross Vasta, Marshal M Haith, Scott A.Miller.1999. Child Psykology. John Willey & Sons. New York.

[12] ibid

[13] Ibid

[14] Alison Gopnik, Andrew N. Meltzoff, dan Patricia K. Kuhl, 2006. Keajaiban Otak Anak. Kaifa: Jakarta.

[15] Thomson&Madigan, 2007. Memori: The Key to Consciousness. Terjemah: Setya Ambar Pertiwi Transmedia:Jakarta. p. 245

PENDAHULUAN

Perkembangan zaman saat ini menginjak pada suatu zaman yang menurut Alvin Toffler merupakan gelombang ketiga dari revolusi perkembangan zaman, yaitu revolusi teknologi elektronika dan informatika. Secara umum perkembangan dalam informasi menurut Miarso (2004) menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: (1) meningkatnya daya muat untuk mengumpulkan, menyimpan, memanipulasi, dan menyajikan informasi; (2) kecepatan penyajian informasi yang meningkat; (3) miniaturisasi perangkat keras yang disertai dengan ketersediaan yang melimpah; (4) keragaman pilihan informasi untuk melayani berbagai macam kebutuhan; (5) biaya perolehan informasi, terutama biaya untuk transmisi data yang cepat dalam jarak jauh, yang secara relatif semakin turun; (6) kemudahan penggunaan produk teknologi komunikasi dan informasi, baik yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak; (7) kemampuan distribusi informasi yang semakin cepat dan luas, dan karen itu informasi lebih mudah diperoleh, dengan menembus batas-batas geografis, politis, maupun kedaulatan; (8) meningkatnya kegunaan informasi dengan keanekaragaman pelayanan yang dapat diberikan hingga memungkinkan pemecahan masalah yang ada secara lebih baik serta dibuatnya prediksi masa depan yang lebih tepat. Era teknologi seperti yang disebutkan di atas membawa perubahan-perubahan serta pengembangan dalam berbagai segi kehidupan. Tidak terkecuali dalam bidang pendidikan.[1]

Besarnya peran teknologi komunikasi dan informasi membawa peran tersendiri bagi pendidikan baik sebagai pendukung sistem maupun media pendidikan. Pada makalah ini penulis akan memfokuskan perannya sebagai media pendidikan yang dikhususkan pada anak usia dini.

HAKIKAT BELAJAR PADA ANAK USIA DINI

Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak dan Raudhatul Athfal berpedoman pada prinsip belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar (Depdiknas, 2004). Bermain merupakan tuntutan dan kebutuhan bagi anak usia Taman Kanak-Kanak, sehingga kegiatan pembelajarannya dilakukan dengan berbagai macam permainan dalam suasana yang menyenangkan dan merangsang anak untuk terlibat secara aktif.

Bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberikan kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak (Sudono, 2000). Sedangkan belajar merupakan aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap (Darsono, 2000). Jadi bermain sambil belajar merupakan kegiatan bermain yang di dalamnya terdapat unsur-unsur belajar. Melalui bermain, tuntutan akan kebutuhan perkembangan dimensi motorik, kognitif, kreatifitas, bahasa, emosi, interaksi sosial, nilai-nilai, dan sikap hidup dapat terpenuhi. Ketika bermain, anak akan berimajinasi dan mengeluarkan ide-ide yang tersimpan dalam dirinya. Anak mengekspresikan pengetahuan yang dia miliki tentang dunia sekitarnya. Melalui kegiatan bermain, anak mempunyai kesempatan lebih banyak untuk bereksplorasi, sehingga pemahaman tentang konsep maupun pengertian dasar suatu pengetahuan dapat dipahami anak dengan lebih mudah.

DEFINISI ICT

ICT (Informations and Communication Technologies) atau di-Indonesiakan menjadi Teknologi Informasi dan Komunikasi merupakan suatu system yang terdiri dari sistem informasi dan komunikasi. Masing-masing memiliki definisi dan ruang lingkup tersendiri.

Teknologi Informasi

Teknologi informasi merupakan studi atau penggunaan peralatan elektronika, terutama komputer untuk menyimpan, menganalisis dan mendistribusikan informasi apa saja, termasuk kata-kata, bilangan dan gambar. Lucas ( dalam munir, 2008) menyatakan bahwa teknologi informasi adalah segala bentuk teknologi yang diterapkan untuk memproses dan mengirim informasi dalam bentuk elektronik, micro komputer, komputer mainframe, pembaca barcode, perangkat lunak memproses transaksi, perangkat lembar kerja dan peralatan komunikasi dan jaringan merupakan contoh teknologi informasi. Informasi yang disampaikan berupa pesan-pesan elektronik.

Teknologi Komunikasi

Teknologi komunikasi merupakan perangkat-perangkat teknologi yang terdiri dari hardware, software, proses dan sistem, yang digunakan untuk membantu proses komunikasi, yang bertujuan agar komunikasi berhasil.

Keterkaitan Teknologi Informasi dan Teknologi Komunikasi

Teknologi Informasi menekankan pada pelaksanaan dan pemrosesan data seperti menangkap, mentransmisikan, menyimpan, mengmbil, memanipulasi atau menampilkan data dengan menggunakan perangkat-perangkat teknologi elektronik terutama komputer. Sedangkan teknologi komunikasi menekankan pada penggunaan perangkat teknologi elektronika dan lebih menekankan pada aspek ketercapaian tujuan dalam proses komunikasi, sehingga data dan informasi yang diolah dengan teknologi informasi harus memenuhi kriteria komunikasi yang efektif.

Secara singkat disimpulkan bahwa teknologi informasi lebih pada sistem pengolahan informasi sedangkan teknologi komunikasi berfungsi untuk pengiriman informasi. Teori lain merumuskan definisi dari teknologi informasi dan komunikasi sebagai sesuatu yang mengijinkan kita memperoleh informasi untuk berkomunikasi dengan setiap orang atau untuk memiliki sebuah pengaruh pada lingkungan yang sedang menggunakan peralatan elektronik dan digital.[2]

ICT DALAM PENDIDIKAN

ICT dalam pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa di samping sebagai pendukung kinerja sistem pendidikan, ICT juga bermanfaat sebagai media pendidikan. Pendidikan ICT bagi anak usia dini telah membawa kita pada cara yang baru dalam mengembangkan teknologi pembelajaran.

Mengkaji pendidikan ICT pada anak usia dini ini memiliki banyak persepsi, diataranya, pemanfaatan ICT sebagai media belajar atau mengajarkan ICT pada mereka. Namun demikian, keduanya terkadang saling berhubungan walaupun banyak juga perbedaan dalam segi orientasi dan pemanfaatan.

ICT sebagai Media Pembelajaran

Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Medoe adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.[3]

Pemanfaatn ICT sebagai media pembelajaran merupakan hal yang baru dalam pendidikan. Hal tersebut tentu diiringi oleh perkembangan zaman saat ini. Dikeluarkannya komputer mini (netbook) oleh pabrikan komputer di dunia yang niat awalnya didistribusikan untuk kunsumsi pelajar, merupakan salah satu jalan bagi dunia pendidikan dalam memanfaatkan ICT tersebut. Walaupun saat ini pemanfaatnya telah berkembang. Clark mengklasifikasinnya media dalam pembelajaran menjadi 5 perspektif[4], yaitu:

1. Media sebagai teknologi dan mesin

2. Media sebagai tutor

3. Media sebagai alat sosialisasi

4. Media sebagai motivator dalam belajar

5. Media sebagai alat mental untuk berpikir dan memecahkan masalah

Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melaluisaluran atau media tertentu k penerima pesan. Pesan, sumber pesan, saluran/media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi. Pesan yang dikomunikasikan adalah sebuah informasi.

Jenis dan Karakteristik Media

Sedangkan untuk media sendiri memiliki taksonominya yaitu:

Rudy Bretz

Ciri utama media dibagi menjadi 3 unsur pokok, yaitu, suara, visual dan gerak. Visual dibedakan menjadi tiga, yaitu gambar, garis, dan simbol yang merupakan suatu kontinum dari bentuk yang dapat ditangkap dengan indra penglihatan. Di samping itu Bretz juga membedakan antara media siar (telecomunikation) dan media rekam (recording) sehingga terdapat 8 klasifikasi, yaitu : 1) media audio visual gerak, 2) media audio visual diam, 3) media audio semi gerak, 4) media visual gerak, 5)media visual diam, 6)media semi gerak, 7) media audio, 8) media cetak.

Menurut Sadiman karakteristik media terdiri dari [5]:

Media Grafis

Media grafis termasuk media visual yang berkaitan dengan indra penglihatan. Pesan yang disampaikan dituangkan k dalam sibol-simbol komunikasi visual. Diantara media grafis adalah gambar/foto, sketsa, diagram, bagan/chart, grafik, kartun, poster, peta, papan buletin, dll,

Media Audio

Media audio berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan yang disampaikan dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif, baik verbal maupun non verbal. Jenis-jenis media audio diatnaranya adalah radio, alat perekam pita magnetik, lab. Bahasa,

Media Proyeksi Diam

Media proyeksi diam memiliki persamaan dengan media grafik dalam arti penyajian rangsangan-rangsangan penyajian visual. Perbedaanya adalah pada media grafis dapat secara langsung berinteraksi dengan pesan media yang bersangkutan, pada media proyeksi pesan tersebut harus diproyeksikan dengan proyektor agar dapat dilihatoleh sasaran. Diantara median proyeksi diam adalah film bingkai, film rangkai, media transparansi, proyektor, mikrofis, film, tv, video.

Menurut Munadi[6] karakteristik media terdiri dari 4 macam yaitu:

Media Audio

Pembahasan tentang proses komunikasi pembelajaran dengan menggunakan media audio tidak lepas dari pembahasan aspek pendengaran. Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk mendengarkan dari pada untuk melakukan komunikasi lainnya. Pada tahun 1926 ditemukan bahwa 70% dari waktu bangun kita dipakai untuk berkomunikasi, yaitu membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Bila waktu yang digunakan untuk beraktivitas tersebut di bagi-bagi, hasilnya menunjukkkan bahwa 42% dipakai untuk mendengarkan, 32% untuk bercakap-cakap, 15% untuk membaca, dan 11% untuk menulis.

Mendengarkan sesungguhnya suatu proses rumit yang melibatkan empat unsur: (1) medengar, (2) memperhatikan, (3) memahami, dan (4) mengingat. Jadi definisi mendengarkan adalah” Proses selektif untuk memperhatikan, mendengar, memahami, dan mengingat simbol-simbol pendengaran”.

1. Medengar. Mendengar merupakan proses fisiologis otomatis penerimaan ransangan pendengaran. Dalam tahap inilah gangguan fisik pada alat pendengaran seseorang dapat menimbulkan kesulitan dalam proses mendengarkan. Mendengar merupakan proses dimana gelombang suara masuk melalui telinga di bagian tengah telinga dan menimbulkan getaran-getaran yang kemudian merangsang impuls-impuls saraf sampai ke otak.

2. Perhatian. Memperhatikan rangsangan di lingkungan kita berarti memusatkan kesadaran kita pada rangsangan khusus tertentu. Indra penerima secara konstan dihujani sekian banyak rangsangan sehingga kita tidak mungkin menanggapi semuanya sekaligus pada saat yang sama. Sel khusus dalam sistem syaraf kita (saraf penghambat) berfungsi membuang sejumlah sensasi yang datang, menjauhkan sensasi-sensasi tersebut dari kesadaran kita. Namun demikian, meskipun memiliki syaraf penghambat, kita masih sering kali tidak mampu memusatkan perhatian pada satu peristiwa tunggal lebih dari beberapa detik setiap kali, karena rangsangan yang lain biasanya berlomba merebut perhatian kita. Fenomena ini -kita sering memperhatikan rangsangan tertentu sambil membuang rangsangan yang lainnya- disebut perhatian selektif.

3. Memahami. Unsur ini adalah yang paling rumit dalam mendengarkan. Memahami biasanya diartikan sebagai proses pemberian makna pada kata yang kita dengar, yang sesuai dengan makna yang di maksudkan oleh si pengirim pesan. Menapsirkan suatu pesan adalah memberi makna secara harfiah pada pesan itu. Ini berdasarkan pada pemahaman atas gramatika bahasa, pengenalan dan pemahaman atas maksud sumber (sinis, bergurau, serius), pemahaman atau implikasi situasi (mencakup lingkungan fisik, hubungan dengan orang-orang yang lainnya, dan iklim perjumpaan).

4. Mengingat. Kebanyakan tes mendengarkan menguji berapa banyak kita dapat mengingat apa yang telah kita dengar dan kita pahami. Mengingat adalah menyimpan informasi untuk diperoleh kembali.

Karakteristik Media Audio

Ciri utama dari media audio dituangkan dalam lambang auditif, baik verbal maupun non verbal. Adapun kelebihannya adalah sebagai berikut.

1. Mampu mengatasi keterbatasan ruang dan waktu dan memungkinkan menjangkau sasaran yang luas.

2. mampu mengembangkan daya imajinasi pendengar.

3. mampu memusatkan perhatian anak pada penggunaan kata-kata, bunyi, dan arti dari kata/bunyi tersebut.

4. dll.

Sedangkan kekurangan media audio adalah sifat komunikasinya hanya satu arah. Memiliki kekuarang dari sudut perolehan informasi dalam belajar.

Media Visual

Media visual adalah media yang melibatkan indra penglihatan. Terdapat dua jenis pesan yang dimuat dalam media visual, yakni pesan verbal dan nonverbal. Pesan verbal-visual terdiri atas kata-kata dalam bentuk tulisan dan pesan non verbal-visual adalah pesan yang dituangkan ke dalam simbol-simbol nonverbal-visual. Secara garis besar unsur-unsur yang terdapat pada media visual terdiri atas garis, bentuk, warna, dan tekstur.

Pentingnya pesan verbal dalam pembelajaran yaitu untuk melakukan pengeriman pesan melalui bahasa verbal untuk menghasilkan makna. Kata-kata merupakan unsur dari bahasa yang dapat digunakan sebagai simbol verbal. ”Kata” hanya akan mempunyai ”makna” setelah ia diasosiasikan dengan ”refrensi/rujukan”.

Karakteristik Media Visual

Pesan visual dapat dituangkan dalam bentuk: gambar, grafik,  diagram, bagan, peta. Sedangkan penyaluranpesan visual verbal-nonverbal-grafis dapat dilakukan melalui: buku dan modul, komik, majalah dan jurnal, poster, papan visual. Di samping itu pesan visual juga dapat berupa benda asli atau tiruan (miniatur)

Media Audio Visual

Media audiovisual dapat dibagi menjadi dua jenis. Jenis pertama, dilengkapi fungsi peralatan suara dan gambar dalam satu unit, dinamakan media audiovisual murni, seperti film gerak, video, televisi. Jenis kedua adalah media audio visual tidak murni yakni apa yang kita kenal dengan slide, OHP dan peralatan visual lainnya bila diberi unsur suara dari rekaman kaset yang dimanfaatkan secara bersamaan dalam satu waktu atau satu proses pembelajaran.

Salah satu media audiovisual adalah film. Dilihat dari indera yang terlibat, film adalah alat komunikasi yang sangat membantu proses pembelajaran efektif. Apa yang terpandang oleh mata dan terdengar oleh telinga, lebih cepat dan lebih mudah diingat dari pada apa yang hanya dilihat atau di dengar saja. Manfaat dan karakteristik lainnya dari media film dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran, diataranya.

1. Mengatasi keterbetasan jarak dan waktu

2. Mampu menggambarkan peristiwa-peristiwa masa lalu secara realistis dalam waktu yang singkat.

3. Dapat diulang, untuk memperkuat pengingatan.

4. Mengembangkan pikiran dan pendapat.

Multimedia

Media dalam konteks pembelajaran merupakan bahasa, maka multimedia dalam konteks tersebut adalah multibahasa, yakni ada bahasa yang mudah dipahami oleh indra pendengaran, penglihatan, penciuman, peraba dan lain sebagainya; atau dalam bahasa lain multimedia pembelajaran adalah media yang mampu melibatkan banyak indera dalam satu organ tubuh selama proses pembelajaran berlangsung.

Pemanfaatan Multimedia Berbasis Komputer dalam Pembelajaran

Bentuk dari multimedia dalam pembelajaran antara lain :

1. Multimedia Presentasi

2. Program Multimedia Interaktif

3. Sarana Simulasi

4. Video Pelajaran

ICT DAN ANAK USIA DINI

Bagaimana cara pemberian  IT pada Anak Usia Dini?

Teknologi bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda, yang memiliki sisi positif dan negatif. Sehingga implementasinya pun akan berbeda pada setiap usia perkembangan anak.

Pada anak usia dini 0 – 8 tahun sesuai dengan konvensi anak dunia, serta 0 – 6 tahun menurut konsep pendidikan yang ada di Indonesia, maka banyak cara mengenalkan teknologi pada anak usia dini, yaitu :

1. Usia 0 – 2 tahun: Pada perkembangan anak usia ini, anak mulai belajar mendengar dan mengenal sekitarnya, dari rangsangan-rangsangan yang ditimbulkan melalui gerakan, serta suara.  Kemudian anak mulai menirukan ketika mereka mulai belajar berbicara.  Pemberian IT pada usia anak demikian, dapat melalui multimedia dengan cara diputarkan lagu-lagu rohani atau lagu anak.  Mengenalkan warna juga dapat melalui multimedia dengan memutarkan film-film kartun anak, yang tentunya mendidikan. Mengapa? Karena film-film kartun saat ini pun memiliki unsur warna yang beragam, sehingga anak dapat mengenalnya walau tidak sekaligus, tetapi warna-warna yang dominan. Hal ini pun dapat membantu pembentukan karakter anak.

2. Usia 3 – 4 tahun: Pada usia ini, anak mulai menggunakan  kalimat yang hampir lengkap, hal ini dapat dilihat dari cara mereka menanyakan sesuatu hal. Menurut Piaget, cara anak mengajukan pertanyaan menunjukkan perkembangan kognitif seorang anak. Pada anak yang berasal dari latar belakang orang tua otoriter,  anak kurang belajar berbicara, ketimbang dalam keluarga yang demokratis, dimana anak bukan saja belajar “mendengar” tetapi juga “didengar”.   Oleh karenannya penting diberikan IT melalui multimedia, dengan cara seperti pada usia anak 0 – 2 tahun, tetapi cara pembelajarannya sedikit meningkat disesuaikan dengan usia anak yang telah dapat menerima rangsangan lebih banyak.  Misalnya mulai diajarkan melafalkan ayat-ayat suci Al Qur’an, atau dikenalkan cerita-cerita Kitab Suci melalui film-film, tentu saja perlu pendampingan orang tua sehingga dapat terlihat sejauh mana anak mampu untuk belajar.  Semakin banyak kesempatan anak belajar untuk berbicara, dapat membantu anak menumbuhkan rasa percaya dirinya sehingga pada usia sekolah mereka dapat mengenalkan dan mengungkapkan dirinya secara lisan.

3. Usia 5 – 6 tahun: Pada usia ini, pengenalan dunia IT sudah lebih meningkat. Pengenalan dapat berupa pengenalan perangkat keras komputer (hardware) yang bisa dilihat dan dipegang langsung oleh anak, misalnya : CPU, Monitor, Mouse, Keyboard dan Printer.  Pengenalan perangkat keras ini juga dilengkapi dengan penjelasan fungsi dari masing-masing alat dengan cara langsung dipraktekkan (learning by doing).

4. Usia 7 – 8 tahun: pada usia ini, pengenalan dunia IT sudah masuh pada tingkat program interaktif, dimana anak sudah bisa berinteraksi dengan program aplikasi pembelajaran.

Dampak Negatif yang ditimbulkan

1. Efek radiasi monitor yang perlu diwaspadi.

2. Jarak pandang yang terlalu dekat dan pencahayaan yang kontras dapat mengganggu indera penglihatan anak.

3. Pengaturan waktu penggunaan komputer. Pada anak usia dini sebaiknya waktu penggunaan 1 – 2 jam sehari.

4. Bermain bersama teman sebaya perlu diperhatikan, sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan orang lain.

Komputer dan Kecerdasan Intektual dan Emosional

Penelitian tentang pengaruh komputer terhadap perkembangan intelegensi telah banyak dilakukan oleh para pakar. Hasilnya diperoleh bahwa penggunaan komputer secara cerdas akan secara timbal balik mempengaruhi kecerdasan. Komputer mampu memenuhi rasa ingin tahu manusia. Di samping itu, kecepatan, kecermatan, keterkinian informasi dapat diperoleh melalui sistem jaringan komputer. Dengan demikian terjadi pengayaan fungsi otak, yang pada gilirannyameningkatkan produksi sel neuro glial, yaitu sel khusus yang mengelilingi sel neuron, sehingga menambah aktivitas sel neuron. Mengingat bahwa ”pabrik otak” itu diwujudkan sebagai hasil interaksi antar cetak biru genetis dan pengaruh lingkungan. Menurut Clark bahwa otak berfungsi hanya 5%, sehingga sebagian besar informasi tidak digunakan. Pada gilirannya kerja fungsi intelegensi yang bersumber dari otak secara timbal balik dipengaruhi dan mempengaruhi pembelajaran, akan dipersoalkan sampai dimana pengaruhnya dalam peningkatan kecerdasan emosi pada anak.

Dampak Komputer terhadap Perkembangan Intelegensi

Riset yang dilakukan terhadap pengaruh komputer terhadap  perkembangan intelegensi diperoleh pengaruh yang positif dari keduanya. Hal tersebut karena ”kerjasama’ antara komputer-otak dan intelegensi yang satu dengan lainnya mendorong manusia untuk makin tahu memenuhi rasa ingin tahunya, yang merupakan sifat khas manusia. Komputer dengan jaringannya dalam kehidupan kini tidak terpisahkan dari berbagai kepentingan untuk memperoleh informasi yang cepata, cerman, lengkap, dan aktual. Dengan demikian akan membawa kita secara amat signifikan dalam menyelesaikan berbagai persoalan berkat informasi yang dihadapi.Dengan demikian tidak salah jika penggunaan komputer dengan program yang sesuai dengan umur anak-anak dapat dilakukan.

Intelegensi Emosional

Goleman (1996) dalam bukunya Emotional Intelligence menjelaskan bahwa dalam kehidupan mental seorang anak ada dua aspek, yaitu rasio dan emosi, yang masing-masing tidak pernah berdiri secara terpisah, melainkan dihayati secara bersamaan, bercirikan pemahaman dan kesadaran yang berasal dari otak seseorang; sedangkan emosi yang bersifat kuat dan impulsif bersumber dari hati sanubari atau bahkan juga dari hati nurani seseorang.

Emosi merupakan suatu kondisi tergerak untuk berbuat, dengan demikian, emosi memiliki beberapa komponen yaitu gerak untuk bertindak, menghayati perasaan yang bersifat subjektif, dan kesadaran tentang emosi itu atau dengan kata lain, memiliki unsur subjektif, perilaku, fisiologis.

Leventhal, mengalihkan paradigma tersebut dalam menjelaskan rasio dan emosi yang terkait dengan information processing sebagai berikut : ada 4 sistem yang terintegrasi dalam model emosi ini, yaitu 1) interpretasi sistem dalam mewujudkan penghayatan emosi, 2) sistem ekspresif, yang merupakan umpan balik yang menandai kualitas subjektif emosi, 3) sistem tindak instrumental dan 4) sistem reaksi jasmaniah.

Teori ini didasarkan atas tujuh asumsi, yaitu 1) kajian emosi harus beranjak dari laporan verbal pengalaman subjektif, 2) kondisi emosional adalah suatu bentuk kebermaknaan, sehingga kalau kognisi adalah makna, emosi membentuk kognisi, 3) ada berbagai bentuk kognisi abstrak, 6)sistem kebermaknaan berkembang dan berubah, 7)perlu sistem makna khusus.

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa saat ini kita tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), karena telah menjadi bagian dari kehidupan dan kebutuhan. Pola kehidupan tersebut berimbas pada pengembangan pendidikan yang memanfaatkan TIK khususnya sebagai media pendidikan. Sebagai usaha mengembangakan kemampuan individu dalam penggunaan TIK secara praktis maka perlu dikenalkan sejak usia dini.

Pengembangan kemampuan anak usia dini dalam TIK harus tetap dilakukan dengan konsep pendidikan anak usia dini yaitu belajar sambil bermain. Materi belajar yang diberikan juga harus bervariasi dengan berbagai karakteristik TIK sebagi media pembelajaran agar imajinasi dari anak tersebut berkembang. Sehingga semakin meningkatkan kemampuan intelektual dan emosional mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Miarso, Yusufhadi, 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Pustekom: Jakarta.

Munadi, Yudhi, 2008. Media Pembelajaran. GP. Press: Jakarta.

Munir, 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Alfabeta: Bandung

Sadiman, dkk, 2009. Media Pendidikan. rajaGrafindi : Jakarta

Win W. D, 1996. Comunication, Media, and Instrumentation in International Encyclopedia of Educational Technology. Pergamon: UK.

Arsyad, Azhar. 2009. Media Pembelajaran. Rajagrafindo: Jakarta.

Semiawan, Conny, 2008. Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar. Indeks: jakarta.

Internet.


SEQUENCED MODEL

Posted: Januari 11, 2011 in Uncategorized

PENDAHULUAN

Salah satu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia sekolah, adalah pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta rohani. Hal tersebut dimaksudkan agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan selanjutnya.

Berbagai pihak (pemerintah, sekolah, masyarakat) telah banyak menunjukan kepedulian kepada pendidikan sehingga berbagai upaya perbaikan terus dilakukan agar tujuan pembelajaran tercapai. Tujuan tersebut adalah untuk menentukan perubahan perilaku yang diharapkan sebagai hasil berlajar melalui pendekatan pembelajaran yang terpadu dan peningkatan kompetensi khusus yang perlu dikuasai oleh peserta didik beserta indikator-indikator hasil belajar melalui penentuan materi pembelajaran.

Pendekatan-pendekatan pembelajaran akan mengarahkan peserta didik untuk mengembangkan pengalaman belajar. Kompetensi khusus yang harus dikuasai peserta didik akan menentukan di dalam penyusunan materi-materi pembelajaran. Materi-materi pembelajaran ini terkait dengan metode pembelajaran yang diberikan, kegiatan pembelajaran  yang dilaksanakan, penataan lingkungan belajar apakah di dalam kelas atau luar kelas, media pembelajaran yang digunakan, dan alokasi waktu yang diberikan apakah harian, mingguan atau bulanan.

Dalam mengevaluasi pencapaian atau hasil belajar yang diperoleh dari pengalaman belajar dan penguasaan materi pembelajaran, digunakan standar atau indikator tingkat perkembangan berisi kaidah pertumbuhan dan perkembangan anak  dari lahir sampai usia sekolah.  Tingkat perkembangan yang dicapai merupakan aktualisasi potensi semua aspek perkembangan yang diharapkan dapat dicapai oleh anak pada setiap tahap perkembangannya.

Standar pendidik dan tenaga kependidikan memuat kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan, dan mempunyai peran yang sangat penting karena terlibat langsung dalam proses pembelajaran sehingga menjadi faktor yang menentukan dalam keberhasilan anak.  Standar isi, proses, dan penilaian meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan program yang dilaksanakan secara terpadu sesuai kebutuhan anak.  Standar sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan mengatur persyaratan fasilitas, manajemen, dan penyelenggaraan pendidikan dengan baik.

Sequenced Model atau Model Berurutan, adalah salah satu dari sepuluh model pembelajaran terpadu yang akan dibahas dalam makalah ini. Pembelajaran terpadu sendiri mempunyai sifat realistis dengan menyajikan secara menyeluruh suatu topik atau tema pada kegiatan-kegiatan pembelajaran yang  berhubungan satu dengan yang lainnya.

KARAKTERISTIK PENDIDIKAN ANAK USIA 11 TAHUN (KELAS V SEKOLAH DASAR)

Belajar merupakan proses perubahan yang relatif permanen pada pengetahuan atau tingkah laku yang disebabkan oleh suatu pengalaman  (Woolfolk, 2004) atau perubahan prilaku, pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai hasil dari pengalaman menurut Santrock (2004).

Anak sebagai mahluk yang unik dengan karakteristiknya yang khas selalu berubah. Perubahan tersebut pada tumbuh dan berkembangnya sejak dalam kandungan, lahir, sampai berakhir pada masa remaja. Tumbuhnya anak (pertumbuhan) adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat. Sedangkan  berkembangnya anak (perkembangan) adalah bertambahnya kemampuan struktur dan fungsi tubuh kearah yang lebih kompleks sebagai proses pematangan (bersifat komulatif) yang dapat dilihat dari kemampuan fungsi gerak, bahasa, emosi, sosialisasi dan kemandirian. Kemampuan tersebut mempunyai peran yang sangat  penting dalam kehidupan anak sebagai manusia yang utuh.  Oleh karena itu pendekatan pembelajaran harus memperhatikan dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik (Developmentally Appropriate Practice). Sementara belajar harus dijelaskan melalui perilaku/pengalaman yang dapat diobservasi dan melalui proses mental, yang di dalamnya mencakup pikiran, perasaan dan motif-motif, yang akan dijelaskan sebagai berikut:

Bahasa

Bahasa adalah komunikasi yang diucapkan, ditulis, atau dilambangkan berdasarkan sistem lambang (symbol)[1] atau sistem komunikasi berdasarkan kata dan tatabahasa yang diucapkan dari suara yang bukan suara (misalnya menangis, menggumam, berceloteh dan imitasi sengaja maupun imitasi tidak sengaja dari suara tanpa mengerti artinya.[2]. Menurut Elizabeth B. Hurlock (McGraw-Hill 1978) Bahasa dan Berbicara adalah berbeda: bahasa merupakan sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan maknanya kepada orang lain sedangkan bicara merupakan bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksudnya. Sehingga bicara merupakan ketrampilan mental motorik, yaitu tidak hanya melibatkan koordinasi kumpulan otot mekanisme suara, tapi juga aspek mental yakni kemampuan mengaitkan arti dengan bunyi yang dihasilkan.

Bahasa mempunyai ciri-ciri generativitas yang tak terbatas, yaitu kemampuan memproduksi kalimat bermakna dalam jumlah tak terbatas, dengan menggunakan aturan-aturan kata yang terbatas sebagai suatu karaktristik umum dari semua bahasa manusia dan sifat bahasa sendiri adalah teratur (fonem, morfem, sintaksis, semantik, dan pragmatik).

Anak kelas 5 SD (usia 11 tahun) sudah melewati masa kanak-kanak akhir dengan karakteristik  bahasa sudah  memahami dan menggunakan tata bahasa yang lebih kompleks. Anak juga  sudah memiliki kemampuan bahasa pragmatik dalam berkomunikasi (keterampilan bertutur dan bercakap), sudah memiliki kesadaran metalinguistik  dengan mengenal kognisi tentang bahasa dan    SPOK, dapat menghubungkan kalimat yang satu dengan yang lain dan menghasilkan deskripsi, definisi, dan cerita (narasi); dan sudah memiliki kemampuan membaca.

Pendekatan ”Whole Language” adalah salah satu pendekatan yang menekankan bahwa pelajaran membaca harus sesuai dengan kemampuan pembelajaran bahasa alami anak yang dalam pengimplementasiannya memiliki lima kunci dasar yang perlu diperhatikan[3], yaitu:

1. Immersion: menenggelamkan anak pada lingkungan yang kaya akan bahasa tulisan.

2. Opportunity and resource: menyediakan waktu, material, ruang, dan berbagai aktifitas dimana anak dapat menjadi pendengar, pembicara, pembaca dan penulis.

3. Meaningful communication: memfokuskan komunikasi pada hal yang bermakna, dimana pengalaman berbicara, mendengar, membaca dan menulis dapat dikomunikasikan secara menyeluruh.

4. Acceptance: menerima anak sebagai pembaca dan penulis yang berkemampuan secara menyeluruh sehingga dengan demikian terjadi komunikasi yang bermakna.

5. Expectancy: menciptakan atmosfer yang mengandung harapan yang berpengaruh terhadap iklim yang dapat mendorong dan membantu tumbuhnya budaya aksara secara terus menerus.

Kognitif

Dalam teori perkembangan kognitif yang disampaikan oleh Piaget, anak kelas V SD (usia 11 tahun) sudah masuk pada tahap operasional konkrit (7 – 11 tahun) menuju hahap operasional formal (11 – 12 tahun).

Tahap operasional konkrit memilki ciri-ciri, anak sudah mampu menggunakan operasi dimana pemikiran anak tidak lagi didominasi oleh persepsi karena sudah mampu memecahkan masalah secara logis dan sudah dapat berpikir sistematis. Permasalahan yang dihadapai adalah permasalahan yang konkrit dan anak sudah dapat menggunakan penalaran ilmiah serta dapat menerima pandangan orang lain.

Tahap operasional formal memiliki ciri-ciri, pola berpikir orang dewasa  dimana  anak sudah dapat mengaplikasikan cara berpikir terhadap permasalahan semua kategori baik yang abstrak maupun yang konkret. Anak sudah dapat memikirkan buah pikirannya, mempunyai gagasan, dan berpikir secara realistis.

Aspek besar lainnya yang ada hubungan dengan perkembangan kognitif menurut Piaget antara lain:

1. Pendewasaaan/kematangan, merupakan pengembangan dari susunan syaraf.

2. Pengalaman fisis, merupakan pengalaman dengan benda-benda dan stimulus-stimulus terhadap benda-benda tersebut.

3. Interaksi sosial, merupakan pertukaran gagasan antara individu dengan individu

4. Keseimbangan, merupakan sistem pengaturan  yang bekerja untuk menyelesaikan peranan pendewasaan, pengalaman fisis, dan interaksi sosial.

Piaget memandang belajar sebagai tindakan kognitif yang menyangkut pikiran, penataan, dan pengadaptasian terhadap lingkungan sehingga belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi akibat adanya pengalaman dan sifatnya relatif tetap. Terjadinya belajar didasari atas empat konsep dasar, yaitu:

1. Skema, adalah proses organisme beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan.

2. Asimilasi, adalah proses organisme memanipulasi dunia luar dengan cara membuatnya serupa dengan dirinya. Pengalaman pertama diperoleh dari pengamatan yang kemudian disimpan.

3. Akomodasi, adalah proses organisme memodifikasi dirinya sehingga menjadi lebih menyukai lingkungannya. Pengalaman berikutnya akan mengacu pada pengalaman yang pertama.

4. Keseimbangan, dicapai berdasarkan menggunakan pengalaman yang diperoleh.

Motorik

Dalam The moral judgement of  the Child (1923), Piaget melakukan pengamatan pada anak-anak yang bermain kelereng, suatu permainan yang lazim dilakukan oleh anak-anak diseluruh dunia dan permainan itu jarang diajarkan secara formal oleh orang dewasa. Dengan demikian permainan itu mempunyai  peraturan yang jarang atau malah tidak sama sekali ada campur tangan orang dewasa.Dari hasil pengamatannya, Piaget menyimpulkan bahwa pikiran manusia akan menjadi semakin taat pada peraturan karena kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan)  dan pelaksanaan dari peraturan itu. Sejalan dengan bertambahnya usia, maka orientasi perkembangan anakpun berkembang dari sikap heteronom (bahwasannya peraturan itu berasal dari diri orang lain yang seharusnya dipatuhi, dihormati, diikuti dan ditaati) menjadi otonom (kesadaran dari dalam diri sendiri  bahwa peraturan-peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama).  Hal ini dapat di lihat pada tahapan kognitif anak pada usia :

– anak umur 7 – 10  tahun sudah mulai beralih dari kesenangan yang semata-mata psikomotor kepada kesenangan yang didapatkan dari persaingan dengan teman sebaya, dengan mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku dan disetujui bersama.

– anak  umur 11 – 12 kemampuan berfikir abstraknya sudah mulai berkembang dan  kodifikasi (penentuan) peraturan sudah dianggap perlu bahkan kadang-kadang sudah tertarik pada peraturan dari pada menjalankan permainannya sendiri.

Sosio Emosional

Perkembangan kepribadian merupakan wujud dari hasil interaksi antara kebutuhan dasar dan pengungkapannya yang berupa tindakan-tindakan sosial dan menurut teori perkembangan kepribadian oleh Erikson[4] fungsi budaya lebih realistis karena didasarkan pada tiga alasan berikut :

1. Ego merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia

2. Perubahan terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan.

3. Menggambarkan secara eksplisit gabungan antara pengertian secara klinik dengan sosial serta latar belakang yang dapat memberikan kemajuan dalam perkembangan kepribadian

Perkembangan psikososial yang dikemukakan oleh Erikson, anak usia sekolah ( 6 – 11 tahun) berada pada tahapan  “Industry vs Inferiority” yang antara lain mempunyai ciri-ciri:

– sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya

– menghindari perasaan rasa rendah diri, dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil baik di sekolah atau di tempat lingkungan tempat ia bermain

– dituntut untuk mengembangkan kemampuan bekerja keras

Melalui tuntutan-tuntutan anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin dan berhasil dalam belajar. Oleh karena itu, peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka dan memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia ini sangat penting. Jika anak berhasil di sekolah maka ada nilai positip yang dapat diambil dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi. Anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar yang  tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku atau biasa dikenal dengan istilah formal. Sedangkan jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat dan peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.

Moral dan Agama Islam

Pada waktu lahir, anak belum beragama tetapi sudah memiliki fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama dan memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan ber”Tuhan”.

Muatan, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi  oleh keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan dari orang tuanya bahkan keadaan jiwa orang tua sudah berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak sejak janin didalam kandungn.

Sejalan dengan perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontionuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan kesadaran beragama itu berlanjut, namun setiap fase perkembangan menunjkkan adanya cirri-ciri tertentu. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak antara lain:

a. Pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris (0 – 2 Tahun)

Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak melalui hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional diwarnai kasih sayang dan kemesraan antara orang tua dan anak akan menimbulkan proses identifikasi. Proses identifikasi yaitu proses peniruan dan penghayatan yang  tidak sepenuhnya disadari oleh  anak terhadap sikap dan prilaku orang tua. Orang tua merupakan tokoh idola bagi  anak, sehingga apapun yang diperbuat oleh orang tua akan diikuti oleh  anak. Anak menghayati Tuhan lebih sebagai pemuas kebutuhan biologisnya, seperti kalau berdoa akan memohon kepada Tuhan untuk diberikan mainan, kue atau alat pemuas kebutuhan biologis lainnya yang bersifat konkret dan segera. Oleh karena itu penanaman kesadaran beragama anak yang berhubungan dengan pengalaman keTuhanan hendaknya menekankan pada kepuasan afektif. Tujuannya adalah agar anak dapat menghayati dan merasakan bahwa Tuhan Maha Pengasih, Penyayang, Pelindung, dan Pemuas kebutuhan alam perasaan lainnya. Untuk itu orang tua harus bersikap sebagai pengasih, penyayang, pelindung, dan pemuas kebutuhan emosional anak.

b. Keimanan bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju ke fase realistik ( 3 – 6 Tahun )

Keimanan anak kepada Tuhan belum merupakan suatu kenyakinan sebagai hasil pemikiran yang objektif, akan tetapi lebih kepada   bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwa akan kasih sayang, rasa aman, dan kenikmatan jasmani.

c. Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiassaan yang kurang dihayati ( Usia 6 -12 tahun )

Pada umur 6 – 12 tahun perhatian anak yang tadinya lebih tertuju kepada dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju kepada dunia luar terutama perilaku orang-orang disekitarnya. Ia berusaha untuk mejadi makhluk sosial dan mematuhi aturan-aturan, tata kerama, sopan santun, dan tata cara bertingkah laku yang sesuai dengan lingkungan rumah dan sekolah.

Walaupun sekitar umur 8 tahun sikap anak makin tertuju ke dunia luar, namun hubungan anak dengan Tuhan masih merupakan hubungan emosional antara kebutuhan pribadinya dengan sesuatu yang tidak tampak (gaib) yang dibayangkan secara konkret sebagai pelindung, pemberi kasih sayang dan pemberi kekuatan gaib. Pemenuhan kepuasan kebutuhan dan keinginan pribadi anak  bersifat egosentris, konkret dan keinginan untuk segera  mendapatkan sesuatu sebagai kekuatan dan keistimewaan  tanpa usaha yang ulet dan tabah.

Seiring bertambahnya umur, pemikiran yang bersifat tradisional konkret beralih pada nilai wujud atau eksistensi hasil pengamatan. Pemikiran pada Tuhan semakin menuju kepada kebenaran yang diajarkan oleh pendidiknya. Pengamatan kepada Tuhan yang tadinya bersifat konkret emosional berubah menuju tanggapan kepada Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara. Hubungan dengan Tuhan sedikit demi sedikit mulai disertai pemikiran dan logika. Tuhan bukan pencipta dirinya tapi Tuhan adalah juga pencipta alam semesta yang melimpahkan rahmatNya bagi seluruh makhluk. Kepercayaan pada hantu, azimat, benda keramat yang memiliki kekuatan gaib adalah sejalan dengan fungsi kognitifnya yang mempersepsikan segala sesuatu sebagai bernyawa dan dinamis. Pengamatan yang bersifat physiognomis dengan menangkap segala sesuatu mempunyai kehidupan spiritual dilanjutkan dengan personifikasi yaitu memanusiakan manusia yang bukan manusia. Kecendrungan  personifikasi itu dapat membawa anak pada tanggapan yang bersifat anthropomorphis terhadap Tuhan, Tuhan diberi cirri-ciri dan sifat manusia, melihatnya Tuhan sama dengan penglihatan manusia. Namun setelah anak mampu berfikir secara abstrak dan logis, ia akan memahami bahwa Tuhan tidak dapat ditangkap dengan panca indra dan tidak munkin di bayangkan oleh khayalan fikiran.

Pada usia 12 tahun pertama merupakan tahun-tahun sosialisasi disiplin, dan tumbuhnya kesadaran moral. Dengan adanya kesadaran bermoral dan disiplin, perhatian anak pada kehidupan keagamaan semakin bertambah kuat. Surga, neraka bukan lagi bersifat khayalan akan tetapi merupakan keharusan moral yang dibutuhkan guna mengekang diri dari perbuatan salah dan mendorong untuk mengerjakan kebaikan dan kebenaran. Tuhan bukan hanya pemberi kepuasan emosional, tetapi juga hakim yang maha adil sebagai keharusan kehidupan bermoral. Tuhan akan selalu mengawasi dan mengetahui segala sikap dan prilakunya serta akan memberikan pertolongan dan ganjaran apabila ia berbuat kebaikan. Kegiatan ibadah seperti shalat, puasa yang pada awalnya hanya meniru prilaku orangtua atau karena diperintahkan kepadanya, lambat laun semakin dihayati dan dilaksanakan dengan kesungguhan . Ia betul-betul mencari keridhaan Allah dan memohon perlindungannya dalam menghadapi berbagai kesukaran yang timbul dalam hidupnya. Peningkatan rasa keTuhanan dalam hubungan emosional yang diperkuat dengan ikatan moral akan dapat menumbuhkan penilaian, bahwa kebaikan tertinggi adalah mengikuti perintah Allah dan meninggalkna laranganNya. Sedangkan kejahatan terbesar adalah durhaka kepada Allah dan mendustai agama. Akhirnya anak berusaha menyesuaikan dirinya dengan ajaran dan kehendak Tuhan.

PEMBELAJARAN TERPADU

Pengertian pembelajaran terpadu adalah “suatu konsep pendekatan belajar yang melibatkan beberapa bidang untuk memberikan pengalaman yang bermakna bagi anak”. Dikatakan bermakna Karena dalam pembelajaran terpadu anak akan memahami konsep-konsep yang dipelajari mellui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep-konsep lain yang sudah dipahami anak melalui kesempatannya  mempelajari apa yang berhubungan dengan tema atau peristiwa otentik.

Pembelajaran terpadu adalah “kegiatan belajar yang terorganisasi-kan secara lebih terstruktur yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pada pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya (Center of interest; Cohen dan Manian (1992) dan Brand (1991).

Pembelajaran Terpadu adalah “pendekatan pembelajaran yang memperhatikan dan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan anak didik (Developmentally Appropriate Practice).

Pembelajaran Terpadu adalah “proses pembelajaran dengan melibatkan/mengaitkan berbagai bidang studi, sehingga diharapkan anak akan memperoleh pemahaman terhadap konsep-konsep yang mereka pelajari dengan melalui pengalaman lengsung menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami; Prabowo (2000:2).

a. Model-model Pembelajaran terpadu

Robin Fogarty[5], menyatakan bahwa sangat dibutuhkan keterampilan yang tinggi baik dari guru maupun siswa dari sepuluh model kurikulum  yang diterapkan dengan sederhana hingga yang sangat rumit. Sepuluh model kurikulum ini berorientasi pada mata pelajaran yang terpotong-potong hingga model pembelajaran terpadu, antara lain :

1. The Fragmented Model ( Model Fragmentasi )

2. The Connected model ( Model Terhubung )

3. The nested Model ( Model Tersarang )

4. The Sequenced Model ( Model Terurut  )

5. The Shared Model ( Model Terbagi )

6. The Webbed Model ( Model Jaring laba-laba )

7. The Threaded Model ( Model pasang Benang )

8. The Integrated Model ( Model Integrasi )

9. The Immersed Model ( Model Terbenam )

10. The Networked Model ( Model Jaringan )

b. Model Pembelajaran Terpadu Berdasarkan Kelompok

Dari sepuluh model pembelajaran terpadu yang dikemukakan Forgarty (1991 : 64-67 ),  dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu:

1. Model pembelajaran terpadu berdasarkan keterpaduan di dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang ada dalam satu disiplin ilmu, yaitu model Fragmented, Connected, dan Nested.

2. Model pembelajaran terpadu berdasarkan keterpaduan yang ada pada  beberapa mata pelajaran, dari yang sederhana hingga yang rumit dari suatu mata pelajaran. Model ini terdiri dari Sequenced, Shared, Webbed, threaded.

3. Model pembelajaran terpadu berdasarkan pendekatan lintas beberapa disiplin ilmu. Model ini terdiri atas integrated, Immersed, Networked.

SEQUENCED MODEL

Pengertian Sequenced Model menurut Forgarty[6] adalah model pembelajaran terpadu dimana suatu mata pelajaran dapat disusun kembali urutan topiknya ke dalam urutan pengajaran dalam topik yang sama atau relevan. Pada saat guru mengajarkan suatu mata pelajaran, ia dapat menyusun kembali urutan topik dan memasukkan topik mata pelajaran lain ke dalam urutan  pengajarannya karena ada kesamaan dan relevansi diantara keduanya.

Metode Sequenced Model sebenarnya merangkai dua mata pelajaran atau disiplin ilmu yang berbeda namun dengan topik yang relevan, sehingga materi dari kedua mata pelajaran tersebut dapat diajarkan secara paralel. Contohnya, seorang guru bahasa Inggris mengajarkan mengenai novel atau cerita sejarah  yang terjadi pada kurun waktu tertentu (“Diary of Anne Frank”) dan disaat yang sama (paralel),  guru sejarah sedang mengajarkan sejarah tentang “World War II” yang terjadi dalam kurun waktu yang sama pula.

Hamalik[7] (2008:48), menyatakan bahwa Sequenced Model adalah susunan atau urutan pengelompokan kegiatan atau langkah-langkah yang dilakukan dalam perencanaan kurikulum dengan lebih mengacu pada ”kapan” dan ”di mana” pokok-pokok bahasan tersebut ditempatkan dan dilaksanakan. Langkah-langkah menyusun sequence adalah :

1. Mulai dari yang paling sederhana menuju yang kompleks;

2. Mengikuti alur kronologis

3. Kebalikan dari alur kronologis

4. Mulai dari keadaan geografis yang dekat sampai ke yang jauh

5. Mulai dari keadaan geografis yang  jauh menuju ke yang dekat.

6. Dari konkret ke abstrak

7. Dari umum menuju khusus,dan

8. Dari khusus menuju umum

Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (Oliva, 1992) mengemukakan bahwa terdapat tiga konsep sequence yaitu menurut kebutuhan, makro, dan mikro. Dalam proses sequence, pengembang kurikulum harus bisa memperhatikan tingkat kedewasaan, latar belakang pengalaman, tingkat kematangan dan ketertarikan atau minat siswa, serta tingkat kegunaan dan kesukaran materi pelajaran.

a. Kelebihan Sequenced Model

Kelebihan dari Sequenced Model antara lain :

1. Model ini memfasilitasi transfer pembelajaran untuk lintas mata pelajaran.

2. Guru dapat mengatur ulang urutan topik dan materi sesuai dengan prioritasnya tanpa harus selalu mengikuti format dalam buku.

3. Untuk siswa, pengaturan ulang topik dari disiplin ilmu yang berbeda dapat membantu mereka untuk dapat lebih memahami mata pelajaran yang diberikan.

b. Kelemahan Sequenced Model

Kelemahan dari Sequenced Model adalah model ini memerlukan kolaborasi yang terus menerus dan fleksibilitas yang tinggi karena guru-guru memiliki lebih sedikit otonomi untuk mengurutkan (merancang) kurikulum.

c. Prinsip Pelaksanaan Sequenced Model

Prinsip dari pelaksanaan Sequenced Model adalah dengan membuat suatu perencanaan kurikulum dan membuat konsep evaluasi untuk melihat hasil antara yang diharapkan dan sebenarnya.

1. Kurikulum hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek perkembangan anak (fisik, emosi, sosial, spiritual, dan kognitif)  dengan cara yang terintegrasi atau terpadu. Jika salah satu aspek perkembangan distimulus, maka akan mempengaruhi aspek perkembangan lainnya.

2. Kurikulum hendaknya memperhatikan proses belajar  interaktif dengan  keterlibatkan anak secara aktif dan dapat mengarahkan anak  dalam mencari solusi permasalahannya. Dengan demikian anak akan merasa berhasil dan rasa keberhasilan dapat memotivasi mereka untuk terus aktif belajar dan bereksplorasi.

3. Kurikulum hendaknya selalu dimodifikasi seiring berjalannya waktu pembelajaran dengan mengenal kekuatan, bakat, minat, dan kebutuhan setiap anak.

4. Kurikulum hendaknya dapat merencanakan suatu kegiatan dengan mempertimbangkan latar belakang budaya keluarga anak dibesarkan.   Permainan, norma-norma sosial, dan lagu-lagu yang relevan dengan latar belakang anak dapat dipakai.  Seluruh kegiatan belajar dan material yang digunakan juga harus kongkrit, nyata, dan relevan dalam kehidupan anak.

5. Konsep evaluasi:

– Dalam mengevaluasi keberhasilan anak hendaknya tidak memakai  standar orang dewasa tetapi melalui eksplorasi dan interaksi antar sesama guru.

– Hasil proses belajar hendaknya dapat meningkatkan minat anak untuk berpikir dan bertanya tidak hanya sebatas baik dan tidak baik.

– Partisipasi aktif anak untuk mengarahkan dirinya terlibat dalam kegiatan yang konkrit dan pengalaman hidup yang nyata,  merupakan motivasi yang ada dalam dirinya dan kunci keberhasilan.

– Guru hendaknya  tahu dan mengerti kapan anak  perlu diberikan kegiatan yang lebih  menantang karena umumnya sesuatu yang sudah dikuasai anak akan membuat mereka bosan. Cara yang dilakukan  dapat berupa melontarkan pertanyaan-pertanyaan, memberikan usulan-usulan, atau menambahkan material yang lebih kompleks.

Implementasi dari Program Pembelajaran Sequenced Model

Dalam pembuatan program pembelajaran terpadu sequenced model, kami membuat program di Madrasah Ibtidaiyah (MI), yaitu sekolah formal yang berciri agama Islam dibawah naungan Departemen Agama dan setara dengan jenjang Sekolah Dasar (SD). Program pembelajaran  di MI,  mata pelajaran umum  sama seperti di SD, tetapi di MI  ditambah dengan pelajaran Agama Islam yang meliputi:

1. Aqidah Akhlak, yaitu berhubungan dengan keimanan manusia terhadap Tuhannya (Allah), dan Akhlak antara sesama manusia. Seperti rukun Islam, rukun iman, asmaul husna, hari kiamat, dll.

2. Al-Qur’an Hadist, yaitu menerangkan tentang makharijul huruf, surat-surat pendek dalam Al-Qur’an, kandungan dan asbabun nuzulnya (Sebab-sebab turunnya Ayat dalam Al-Qur’an)

3. Fiqih, yaitu tata cara pelaksanaan ibadah kepada Allah dan Hubungan muamalah kepada sesama manusia, seperti jual beli, qurban, zakat, dll.

4. Sejarah Kebudayaan Islam, yaitu peristiwa para Nabi dan Rasul, sahabat, tabiin dan tokoh/ulama dalam perjuangan islam.

5. Bahasa Arab, yaitu berhubungan dengan tata bahasa arab, arti, percakapan dan kaidah-kaidah penulisan bahasa arab.

Pembelajaran Agama Islam mulai diberikan pada anak di kelas satu dan materinya disesuaikan dengan tingkat usia dan perkembangan anak.

Desain Sequenced Model

FIQIH SKI

Kisah Nabi Ismail

– Akhlak Nabi Ismail

– Peristiwa  Ismail disembelih oleh ayahnya

Qurban

– arti qurban menurut bahasa dan istilah

– hukum  qurban

Sifat/perilaku sosial

– Arti sosial, memberi contoh sikap sosial terhadap orang lain

– Penerapan sikap sosial terhadap teman atau orang lain  melalui kegiatan

FIQIH IPS

Tatacara pelaksanaan

– Waktu pelaksanaan berqurban

– Urutan tata cara berqurban

– Pembagian hewan qurban

Standar Kompetensi Bidang Studi IPS Kelas 5 SD, semester 1:

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
  1. Siswa memahami makna bersyukur dan dan berempati terhadap orang lain serta dapat bekerja sama dalam lingkungannya
1.1 Mengetahui arti bersyukur1.2 Menjelaskan arti bersyukur1.3 Mengaplikasikan rasa bersyukur kepada diri sendiri dan orang lain

1.4 Menjelaskan arti empati

1.5 mengaplikasikan rasa empati terhadap temannya

1.6 Menjelaskan arti kerja sama

Standar Kompetensi Bidang Studi Fiqih Kelas 5 MI, semester 1:

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
  1. Anak memahami tentang qurban dan tata cara pelaksanaannya.
1.1     Menjelaskan tentang qurban1.2     Menyebutkan hewan-hewan untuk berqurban1.3     Menyebutkan cirri-ciri hewan qurban

1.4     Menjelaskan tatacara pelaksanaan dalam berqurban

Standar Kompetensi Bidang Studi Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) – Kelas 5 MI, semester 1:

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
  1. Memahami kisah Nabi Ibrahim dan Ismail dan sejarah peninggalannya
1.1   Menjelaskan kisah Nabi Ibrahim1.2   Menjelaskan kisah nabi Ismail1.3   Menjelaskan Sejarah peninggalan nabi Ibrahim dan Ismail

1.4   Mengambil hikmah dari kisah nabi Ibrahim dan Ismail

FIQIH SKI IPS
  1. Qurban

Arti qurban menurut bahasa dan istilah

Hukum  qurban

– Hewan qurban

– Nama hewan untuk berqurban

Ciri-ciri hewan qurban

– Membedakan setiap jenis hewan qurban

– keadaan fisik hewan yang diperbolehkan untuk berqurban

Tatacara pelaksanaan dalam berqurban

– Menyebutkan pelaksanaan berqurban

– Menyebutkan urutan tata cara berqurban

– Mengetahui pembagian hewan qurban

1 . Kisah Nabi Ibrahim- Ibrahim mencari Tuhan- Ibrahim dan keluarganya

Kisah nabi IsmaiL

Akhlak Nabi Ismail

Peristiwa Nabi Ismail disembelih oleh ayahnya

Sejarah peninggalan Nabi Ibrahim

– Bangunan Ka’bah

– Maqam Ibrahim

– Hikmah dari kisah nabi Ibrahim

Sejarah jejak  nabi Ismail

– Hukum tentang berqurban

– pelaksanaan berqurban

– Hikmah dari kisah Ismail

1.  Bersyukur- Makna Bersyukur- Bersyukur pada diri sendiri dan orang lain

– Mengaplikasikan rasa bersyukur pada diri sendiri dan orang lain

Sifat/perilaku sosial

– Arti sosial, memberi contoh sikap sosial terhadap orang lain

– Penerapan sikap sosial terhadap teman atau orang lain  melalui kegiatan

Kerja sama

– Arti kerja sama

– Contoh kerja sama dirumah dan lingkungan sekitar

– Mengaplikasikan kerja sama di lingkungan sekitar anak

Urutan Topik Fiqih dan SKI

Fiqih SKI
  1. Qurban

arti qurban menurut bahasa dan istilah

Hukum  qurban

Hewan-hewan untuk berqurban

– Nama hewan untuk berqurban

Ciri-ciri hewan qurban

– Membedakan setiap jenis hewan qurban

– keadaan fisik hewan yang diperbolehkan untuk berqurban

Tatacara pelaksanaan dalam berqurban

Menyebutkan pelaksanaan berqurban

Menyebutkan urutan tata cara berqurban

Mengetahui pembagian hewan qurban

1. Kisah nabi IsmaiLAkhlak Nabi ismailPeristiwa  Ismail disembelih oleh ayahnya

Kisah Nabi Ibrahim

– Ibrahim mencari tuhan

– Ibrahim dan keluarganya

Sejarah peninggalan nabi Ibrahim

– Bangunan Ka’bah

– Maqam Ibrahim

– Hikmah dari kisah nabi Ibrahim

Sejarah jejak  nabi Ismail

– Hukum tentang berqurban

– Pelaksanaan berqurban

– Hikmah dari kisah Ismail

Urutan Topik Fiqih dan IPS

Fiqih IPS
  1. Qurban

– arti qurban menurut bahasa dan istilah

– Hukum  qurban

Hewan-hewan untuk berqurban

– Nama hewan untuk berqurban

Tatacara pelaksanaan dalam berqurban

Menyebutkan pelaksanaan berqurban

Menyebutkan urutan tata cara berqurban

Mengetahui pembagian hewan qurban

Ciri-ciri hewan qurban

– Membedakan setiap jenis hewan qurban

– keadaan fisik hewan yang diperbolehkan untuk berqurban   

  1. Bersyukur

– Makna Bersyukur

– Bersyukur kepada diri sendiri dan orang lain

– Mengaplikasikan rasa bersyukur kepada diri sendiri dan orang lain

Kerja sama

– Arti kerja sama

– contoh kerja sama dirumah dan lingkungan sekitar

– Mengaplikasikan kerja sama di lingkungan sekitar anak

Sifat/perilaku sosial

– Arti sosial, memberi contoh sikap sosial terhadap orang lain

– Penerapan sikap sosial terhadap teman atau orang lain  melalui kegiatan


Contoh:

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Mata Pelajaran:  Pembelajaran Terpadu Fiqh dan SKI

Kelas                  :  V

Semester           :  1 (Satu)

Waktu                 :  4 x 40 Menit

STANDAR KOMPETENSI/ KOMPETENSI DASAR INDIKATOR
  1. Memahami tentang qurban dan cara pelaksanaannya (Fiqh)

1. Menjelaskan tentang qurban

2. Menyebutkan hewan-hewan untuk berkurban

3. Memahami kisah nabi Ibrahim dan Ismail serta sejarah peninggalan-nya (SKI).

2.1. Menjelaskan kisah Nabi Ibrahim

2.2. Menjelaskan kisah Nabi Ismail

  1. Menjelaskan arti qurban menurut bahasa
  2. Menjelaskan arti qurban menurut istilah
  3. Menyebutkan hewan yang diperbolehkan untuk berkurban
  1. Menjelaskan ahlak Nabi Ismail
  2. Menjelaskan peristiwa Nabi Ismail disembelih oleh ayahnya
  3. Dramatisasi tentang Nabi Ismail

Tujuan Pembelajaran

Siswa dapat mengerti tentang arti qurban dan hewan qurban serta dapat mengkaitkannya dengan sejarah qurban dari cerita-cerita sejarah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Materi Pembelajaran

Arti Qurban dan Sejarah Nabi Ismail

Metode Pembelajaran

a. Ceramah

b. Pemodelan

c. Tanya jawab

d. Dramatisasi

Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran

Pertemuan Pertama (2 x 40 menit = 80 menit)

a. Kegiatan awal (15 menit)

– Siswa mendengarkan penjelaskan guru tentang arti berqurban dan hewan untuk berqurban

– Tanya jawab guru dan siswa tentang sejarah Nabi Ismail

– Siswa berkelompok

b. Kegiatan Inti (55 menit)

– Siswa membaca tentang arti qurban

– Siswa menuliskan tentang qurban dan hewan qurban

– Siswa menyebutkan akhlak nabi Ismail

– Siswa Mennjelaskan hukum berqurban

– Siswa menyimpulkan tentang materi yang di baca

c. Kegiatan akhir (10 menit)

– Siswa dan guru melakukan refleksi dengan tanya jawab

Pertemuan Kedua (2 x 40 menit)

a. Kegiatan awal (15 menit)

– Siswa dan guru bertanya jawab tentang pelajaran yang lalu.

– Siswa berkelompok

b. Kegiatan Inti (55 menit)

– Guru membimbing siswa ntuk membentuk kelompok drama

– Secara berkelompok siswa mendramatisasikan cerita tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail

– Secara berkelompok siswa menyimpulkan isi sejarah Nabi Ismail

– Siswa dan guru memperhatikan kelompok lain yang sedang mendramatisasi cerita Nabi Ismail

c. Kegiatan akhir (10 menit)

– Siswa dan guru melakukan refleksi dengan tanya jawab dan mmbuat kesimpulan bersama tentang qurban dan dan sejarah tentang Nabi Ismail .

Media dan Sumber Belajar

a. Buku pelajaran Fiqih

b. Buku pelajaran SKI

c. Kain putih

d. Domba yang terbuat dari gumpalan koran

Penilaian

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembelajaran terpadu dengan Sequenced Model antara lain :

1. Model Sequenced adalah model pembelajaran terpadu dimana dua disiplin ilmu yang berbeda tetapi memiliki topik yang relevan dirangkaikan sehingga materi dari kedua disiplin ilmu tersebut dapat diajarkan secara parallel.

2. Melalui metode ini, guru tidak harus memberikan materi sesuai dengan urutan format dibuku (dari bab awal sampai akhir), sebaliknya guru dapat mengatur ulang urutan topik sesuai dengan prioritasnya.

3. Metode ini akan membuat siswa lebih memahami mata pelajaran yang diberikan.

4. Karena metode ini merangkaikan lebih dari satu bidang studi, maka dibutuhkan kerja sama antar guru masing-masing bidang studi untuk membuat rangkaian kurikulum baru.

DAFTAR PUSTAKA

Fogarty, Robin,How To Integrate The Curricula. Illinois: IRI/Skylight Publishing, Inc,1991.

Drake Susan M.,Creating Standards-Based Integrated Curriculum, Colifornia : A Sage Publications Company Thousand Oaks, 2007

Drs. H. Abdul Azis Abyadi,  Psikologi Agam,. Bandung : Sinar Baru, 1987.

Mulyasa,  Kurikulum Yang Disempurnakan, Bandung : PT. Rosdakarya, 2006

Departemen Pendidikan Nasional, Kurikulum TK, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan TK dan SD, 2004

Departemen Pendidikan Nasional, Acuan Menu Pembelajaran Pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu Pembelajaran Generik),Jakarta: Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Dan Pemuda, 2002

Hamalik Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008

John W. Santrock, Child Development, The McGraw-Hill Companies, Inc., 2007

Papalia, Olds, Feldman, Human Development, New York, The McGraw-Hill Companies, 1995

Modul Perkuliahan  “Metodologi Pengembangan Bahasa”, S1-PAUD, UNJ

http://www.learningplaceonline.com/stages/organize/Erikson.htm


PSIKOANALISIS

Posted: Januari 11, 2011 in Uncategorized

PENDAHULUAN

Psikoanalisa menjadi pembicaraan dan landasan dari teori-teori psikologi perkembangan. Tentu timbul banyak reaksi dan pandangan mengenai teori tersebut, termasuk dari mereka yang menentangnya. Teori psikoanalisa adalah teori yang membahas tentang tentang dunia batin dari perasaan, impuls dan fantasi manusia. Diantara pakar-pakar yang fokus mengembangkan teori psikoanalisis ini adalah Sigmund freud dan Erick H. Erikson yang secara terperinci akan di jelaskan sebagai berikut.

TEORI PSIKOANALISIS

SIGMUND FREUD

Freud adalah seorang developmentalis artinya percaya bahwa perubahan psikologis diatur oleh kekuatan-kekuatan batin, khususnya kedewasaan biologis. Freud juga melihat bahwa pendewasaan membawa bersamanya energi seksual dan agresif tak terkendali, dimana masyarakat harus menekannya. Karena itu kekuatan kekuatan sosial juga berperan kuat.

Freud lahir di Freiberg, Moravia sekarang bagian dari Negara Chekoslowakia.Dia putra pertama dari ibu yang berusia 20 tahun dan ayah berusia 40 tahun. Dan ayahnya memiliki dua putra lain yang sudah dewasa dari pernikahan sebelumnya. Ketika masih kecil Freud adalah anak yang cerdas, dan keluarga mendukung penuh studinya. Ketertarikan intelektual Freud meliputi beragam topik, dan ketika usianya cukup untuk masuk universitas dia memilih fakultas kedokteran, karena bidang ini memberinya kesempatan untuk melakukan penelitian. Di fakultas kedokteran ini , Freud melakukan beberapa penelitian penting tentang otak depan petromyzon, salah satu jenis ikan.

Antara usia 26 sampai 35 than, Freud dengan gigih menyelidiki sebuah bidang tempat dia melakukan sebuah penemuan  penting. Dia memutuskan meneruskan risetnya dibidang neurologi, namun kemudian lebih tertarik Pada kemunkinan terpobosan-terobosan yang lain. Untuk sesaat ,Freud mengira sudah menemukan revolusi penggunaan kokain, jenis obat yang tampaknya dia sendiri kecanduan untuk sementara waktu. Freud juga mengunjungi laboratorium Charcot di Paris, dimana Charcot sedang menyelidiki misteri hysteria. Studi tentang penyimpangan ini menjadi titik awal kontribusi Freud terbesar bagi psikologi.

Istilah hysteria kemudian diaplikasikannya kepada penyakit-penyakit ringan seperti kelupaan, karena untuk kasus ini tidak ada penjelasan fisiologi yang memadai. Karya Freud yang pertama tentang hysteria berisi salah satu contoh kasus Josef Breuer yang menangani seorang wanita (‘Anna O’) dengan membantu menyingkapkan pikiran dan perasaan terpendamnya lewat hipnotis. Tampaknya bagi Breuer dan Freud paien-pasien hysteria memiliki penghalang (block-off), atau sesuatu yang merepresi, bagi harapan dan emosi kesadarannya. Energi yang terhalang ini kemudian berubah menjadi gejala-gejala fisik. Terapinya kalau begitu terdiri atas penyingkapan dan pembebasan emosi-emosi yang telah diasingkan kebagian pikiran yang berbeda – ketaksadaran.

Karya awal Freud  tentang hysteria bisa diilustrasikan lewat kasus seorang wanita yang disebutnya Elizabeth Von R. Ia menderita penyakit hysteria dipahanya, rasa sakit yang jadi semakin buruk setelah berjalan-jalan bersama kakak iparnya, Elizabeth merasakan rasa simpati yang ganjil, namun kemudian hilang begitu saja karena hal itu hanya dianggap kedekatan sebagai keluarga. Kakak perempuannya meninggal, Elizabeth datang ke makamnya. Namun ketika Elizabeth berdiri disamping ranjang bekas jasad kakak perempuannya itu, tiba-tiba untuk sesaat menyeruak dibenaknya sebuah pemikiran, yang bisa dikerangkai dengan kata-kata ini; “ sekarang dia sudah bebas dan aku bisa menikahinya. Keinginannya tentu tidak bisa diterima oleh pemahaman moralnya, jadi dia segera merepresinya. Elizabeth setelah itu mengalami sakit dengan penderitaan hysteria yang menyakitkan, dan ketika Freud merawatnya, dia sudah lupa dengan pemikiran yang pernah muncul saat berada disamping ranjang kakak perempuannya dulu. Dibutuhkan berjam-jam penanganan psikoanalitik untuk menyingkapkan memori ini dan memori-memori lainnya, karena Elizabeth mempunyai alasan yang kuat untuk menghilangkan semua itu dari kesadarannya. Akhirnya dia sanggup mencapai kembali kesadaran akan perasaan-perasaan itu, dan ketika dia bisa mengingat memori-memori tersebut, maka hal-hal itu tidak lagi memunculkan gejala-gejala pada tubuhnya.

Dalam menangani Elizabeth tidak menggunakan hipnotis, karena hipnotis hanya bisa digunakan terhaap beberapa kasus saja, itupun hanya menemukan kesembuhan yang sementara. Di titik ini Freud menggantinya dengan metode asosiasi bebas (Free association), dimana pasien disuruh membiarkan pikirannya berjalan kesana-kemari dan melaporkan apapun yang muncul, apalagi menyensornya.

Ketika membangun teorinya, Freud bersepekulasi bahwa tidak hanya histeri dan pasien-pasien neurotic lainnya yang menderita konflik internal seperti itu. Kita semua mempunyai pikiran bahwa kita tidak boleh membuka aib diri sendiri. Didalam neurosis, represi dan konflik menjadi mendalam dan tidak bisa diatur lagi sehingga menghasilkan gejala-gejala. Dari konflik inilah kita tahu kondisi orang yang kita hadapi.

Breuer dan Freud kemudian menerbitkan sebuah buku bersama Studies on Hysteria (1895) yang menjadi karya klasik pertama di dalam teori psikoanalitik. Namun Breuer tidak melanjutkan penelitiannya di wilayah ini. Freud semakin menemukan bahwa emosi utama dihalangi para penderita hysteria  dari kesadaran adalah hasrat seksual sebuah temuan yang dirasakan Breuer benar namun dia sendiri secara pribadi tidak nyaman dan merasa terganggu.

Ketika Freud menggali lebih dalam bidang ini, dia menemukan bahwa memori terpendam pasiennya mengarah lebih jauh kebelakang, kemasa lalunya- kemasa kanak-kanak mereka. Namun kemudian dia menyimpulkan bahwa fantasi juga mengatur hidup kita. Pikiran dan perasaan bisa menjadi sama pentingnya dengan peristiwa-peristiwa aktual. Pada tahun 1897, Freud kebingungan untuk menemukan kebenaran dari memori-memori pasiennya, dia memulai garis  penyelidikan kedua- sebuah analisis diri. Termotivasi oleh gangguan yang dirasakan pada saat ayahnya meninggal, Freud mulai menguji mimpi-mimpi, memori-memori dan pengalaman kanak-kanaknya sendiri. Lewat analisis ini, dia meraih konfirmasi independen atas teori seksualitas kanak-kanaknya dan menemukan apa yang dianggapnya sebagai pengertian paling heboh masa itu: Komplek Oedipus pada anak. Artinya freud menyatakan bahwa dia (dan mungkin semua anak pada umumnya) mengembangkan sebuah persaingan mendalam dengan orang tua dari jenis kelamin yang berbeda. Freud pertama menerbitkan teorinya didalam Interpretation of dreams (1900). Dia menyebutnya  interpretasi mimpi ini sebagai “ Jalan raya menuju ketaksadarannya.

Analisis diri Freud bukan proses yang mudah dilakukan. Dia menyelidiki wilayah ini yaitu ketaksadaran-tanpa peduli apakah “Tuhan tahu jenis makhluk yang akan merayap keluar dari daLamnyya.

Sekitar tahun 1901 Freud berusia 45 tahun, dia mulai bangkitd ari pengucilan Intelektualnya. Penelitiannya menarik beragam ilmuwnan dan penulis muda, bahkan  beberapa dari mereka bertemu dengannya untuk diskusi mingguan. Kelompok diskusi ini berkembang dan mempunyai murid  Alfred Adlerdan Carl Gustav jung. Freud terus mengembangkan dan merevisi teorinya sampai akhir hayatnya, dan meninggal pada usia 83 tahun.

Tahap-tahap Perkembangan Psikoseksual

Penelitian Freud telah membawanya untuk percaya bahwa perasaan-perasaan seksual mestinya aktif pada usia kanak-kanak. Namun begitu, konsep konsep seksualitas Freud ini sangat luas.

1. Tahap oral

Bagian pertama dimulai dari bayi samapi 6 bulan, bahwa bayi telah  mengalami kesenangan menghisap putting ibunya untuk bertahan hidup. Itu sebabnya , bayi sampai terbawa–bawa menghisap jarinya sendiri atau objek lain meskipun perutnya tidak lapar. Freud menyebut kesenangan dari menghisap ini otoerotik. Artinya, ketika bayi menghisap jarinya sendiri, mereka tidak mengarahkan impuls-impuls kepada orang lain selain menemukan kenikmatan lewat tubuh mereka sendiri.

Namun aktivitas-aktivitas otoerotik tidak terbatas hanya kepada tahap oral. Ditahap berikutnya, contohnya masturbasi anak-anak juga dianggap sebuah otoerotik. Seperti Piaget, Freud melihat bahwa selama enam bulan pertama atau lebih dari kehidupan pertamanya, dunia bayi ‘tidak terobjek’, artinya, bayi tidak memiliki konsepsi tentang orang atau hal-hal yang eksis dalam dirinya sendiri. Saat digendong, contohnya, bayi kecil mengalami rasa nyaman pelukan ibu namun dia tidak menyadari bahwa kepribadian ibu sebagai pribadi yang terpisah. Terkadang Freud melukiskan kondisi tak terobjek ini sebagai salah satu narsisisme utama. Istilah narsisisme berarti mencintai diri sendiri, sebuah istilah yang diambil mitos yunani kuno tentang seorang anak laki-laki bernama Narcisus yang jatuh cinta kepada bayangannya sendiri dipermukaan air danau. Yang dimaksud dengan kondisi narsisistik dasar adalah tidur, ketika bayi merasa hangat dan cukup dengan dirinya sendiri, sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada dunia luar.

Bagian kedua tahap oral ,kira-kira sejak usia 6 bulan, bayi mulai mengembangkan konsepsi tentang orang lain, khususnya ibu, sebagai pribadi yang berbeda dan terpisah dari dirinya namun dibutuhkan. Mereka jadi cemas bila ibu meninggalkannya atau ketika mereka bertemu dengan orang asing tempat ibunya.

Pada saat yang sama, perkembangan penting lainnya sedang terjadi: pertumbuhan gigi dan dorongan untuk menggigit. Dititik ini, Karl Abraham (1924) menunjukkan bahwa secara samar-samar bayi membentuk gagasan bahwa mereka bisa membuat ibu menjauh dari mereka- lewat dorongan mereka untuk menggigit dan menangis. Kehidupan ditahap ini kemudian jadi makin kompleks dan mengganggu. Agak mengherankan bahwa orang dewasa tanpa sadar ingin kembali ketahap oral ini, dimana segala sesuatu terlihat jauh lebih sederhana dan menyenangkan.

Fiksasi dan regresi. Menurtu Freud, kita semua melewati tahapan oral sama seperti kita melewati tahap-tahap perkembangan psikoseksual lainnya. Namun begitu, kita bisa juga mengembangkan sebuah fiksasi ditahap apapun tak peduli seberapa jauh kita sudah melampauinya, kita masih mempertahan keasyikan tertentu dengan kesenangan dan persoalan ditahap-tahap awal ini. contohnya, jika kita terfiksasi ditahap oral ,kita mungkin menemukan  diri kita terus menerus diasyikkan dengan makanan-atau kita menemukan kalau kita bekerja paling nyaman saat menghisap atau menggigit objek tertentu seperti pensil, atau memperoleh kesenangan terbesar dari aktivitas-aktivitas seksual yang bersifat oral, atau merasa kecanduan untuk merokok  atau minuman. Freud mengatakan bahwa dia tidak begitu pasti dengan penyebab fiksasi, namun para psikoanalis umumnya percaya bahwa fiksasi dihasilkan oleh kesenangan berlebihan atau rasa prustasi yang berlebihan ditahap perkembangan tertentu.

Kecendrungan regresi ditentukan oleh kekuatan fiksasi dimasa kanak-kanak dan daya tolak frustasi yang dialaminya saat ini. Jika kita memiliki fiksasi oral yang kuat, maka frustasi yang relatif kecil di dalam hidup sehari-hari saja sudah cukup menjadi penyebab munculnya regresi oral. disisi lain, frustasi besar bisa menyebabkan sebuah regresi ketahap perkembangan awal meski fiksasinya tidak begitu kuat.

Jenis-jenis regresi yang sudah kita bahas ini bisa saja terdapat di dalam diri kita masing-masing pada orang yang relatif normal. Kita semua menemukan bahwa hidup banyak menghadapkan kita kapada rasa frustasi, sehingga entah sekarang atau kemudian kita akan mengalami regresi ke cara-cara bertindak lebih awal dan lebih kekanak-kanakan. Regresi ini sifatnya hanya parsial dan temporer bukan bersifat patologis.

Menurut Abraham, regresi ketahap oral juga menjadi jelas di dalam kasus-kasus depresi berat, seperti akibatnya  kehilangan orang yang sangat dicintai, dan gejala umum adalah penolakan untuk makan. Mungkin pasien sedang menghukum dirinya sendiri, karena tanpa sadar mereka merasa kalau kemarahan oral merekalah perusak objek cintanya.

2. Tahap Anal

Selama tahun kedua atau ketiga kehidupan anak, wilayah anal menjadi fokus ketertarikan seksual mereka. Anak-anak jadi semakin sadar akan sensasi-sensasi menyenangkan yang dihasilkan gerakan-gerakan isi perut di membran selaput lendir didaerah anal. Ketika sudah dapat mengontrol otot-otot dubur ini, kadang-kadang mereka belajar menahan gerakan perut mereka sampai detik terakhir untuk kemudian meningkatkan tekanan di dubur yang membawa kesenangan tertinggi saat fases akhirnya terlepas. Anak-anak juga sering tertarik dengan hasil dari kerja itu dan menikmati kegiatan memegang dan membaui fases mereka sendiri. Di tahap inilah anak kali pertama mengendalikan kesenangan instingtual mereka dengan cara yang dramtis. Segera anak siap orangtua mulai melatih mereka pelajaran toilet. Pelatihan menggunakan toilet memunculkan rasa marah dan takut yang cukup bisa membuat anak mengalami fiksasi. khususnya di Amerika serikat yang sangat ketat dengan hal ini. Akibatnya, kebanyakan orang munkin berkembang sekurang-kurangnya menuju suatu tendensi entah ‘anal ekspulsif’ atau ‘anal kompulsif’.

3. Tahap Falik atau Odipal

Antara usia 3 sampai 6 tahun, anak memasuki tahap Falik atau Odipal. Freud memahami tahap ini lebih baik pada anak laki-laki dari pada anak perempuan.

Krisis odipal anak laki-laki

Krisis odipal dimulai saat anak laki-laki mulai tertarik kepada penisnya. Organ ini, yang begitu mudah di buat senang dan berubah bentuk, dan begitu kaya akan sensasi. Menyalakan rasa ingin tahunya, anak lalu ingin membandingkan penisnya dengan penis pria lainnya atau dengan hewan, dan berusaha melihat organ seksual anak perempuan dan wanita. Dia munkin juga menikmati memperlihatkan penisnya dan yang lebih umum, membayangkan peran yang dimainkannya sebagai pria seksual dewasa. Dia mulai bereksperimen dan memutar fantasi dimana dia menjadi pria heroik dan agresif, seringkali mengerahkan intensinya menuju objek cinta pertamanya, sang ibu. Dia mulai mencium ibunya dengan agresif, atau tidur bersamanya ketika malam, atau membayangkan menikahinya. Dia mungkin tidak memahami hubungan senggama, mungkin dia malah heran bagaimana cara melakukan hal itu dengan ibunya.

Biasanya anak laki-laki menyelesaikan konflik Odipal lewat serangkaian manufer pertahanan (defensive maneuvers) dia menghilangkan hasrat inses terhadap ibunya lewat represi- memendam perasaan seksual apapun terhadapnya kebawah alam sadarnya. Dia masih mencintai ibunya, tentu saja, namun sekarang dia melakukannya menurut yang diperbolehkan secara sosial saja. Cinta yang ‘disublimkan’-rasa cinta yang tinggi dan murni untuk menaklukkan krisis Odipal ini, akhirnya, si anak menginternalisasi superegonya. Artinya, dia mengadopsi pandangan moral orangtua sebagai pandangannya sendiri, dan dengan cara ini menciptakan sejenis polisi hati yang menjaganya melawan impuls dan hasrat berbahaya dalam dirinya. Superego mired dengan yang kita sebut suara hati- dia seperti suara dari dalam hati yang memperingatkan kita dan membuat kita mnerasa bersalah karena sudah berfikir dan bertindak buruk. Sebelum anak menginternalisasikan superegonya, dia hanya menderita dari kritikan dan penghukuman eksternal. Sekarang dia bisa mengkritik dirinya sendiri, dan dengan demikian memiliki benteng hati mlawan impuls-impuls terlarang.

Hasil – hasil yang tipikal

Ketika anak laki-laki menyelesaikan kompleks Oedipus di usia 6 tahun atau lebih, hasrat-hasrat persaingan dan insesnya dipendam untuk sementara waktu. Dia akan memasuki masa priode latensi, yang membuat dia relatif terbebas untuk sesaat dari kekhawatiran ini. Namun begitu, perasaan– perasaan odipal ini terus eksis di dalam ketaksadarannya. Mereka mengancam untuk mematahkan kesadaran sekali lagi di masa pubertas, dan membawa pengaruh kuat bagi kehidupan orang dewasa. Pengaruh ini memiliki banyak variasi, tapi uniknya dirasakan didua wilayah utama berikut: persaingan dan cinta.

Kompleks Odipus anak perempuan

Freud mencatat bahwa anak perempuan, diusia 5 tahun atau lebih, menjadi kecewa dengan ibunya. Dia merasa dicampakkan karena ibunya tidak lagi memberinya cinta dan perhatian yang konstan seperti yang diperolehnya dulu saat bayi dulu, terlebih jika adik bayi baru lahir, dia merasa sangat kekurangan dengan perhatian yang diterimanya. Lebihg jauh lagi, dia semakin marah dengan larangan ibu seperti masturbasi. Akhirnya dan yang paling mengecewakan, si gadis menemukan bahwa tidak memiliki penis-sebuah fakta yang membuatnya menyalahkan ibu.

Namun akhirnya anak perempuan mulai bisa memulihkan kebanggaan feminimnya. Ketika dia mengapresiasikan perhatian ayah. Sama seperti anak laki-laki, si anak perempuan menemukan bahwa dia tidak memiliki hak untuk memiliki objek cintanya yang baru ini. Dia menyadari bahwa dia tidak bias menikahi ayahnya, atau tidur bersamanya, atau dipeluk atau tidur sepanjang malam sesuka hatinya.

Menyelesaikan krisis Odipal

Karena dia takut kehilangan cinta kedua orang tuanya. Dari situlah dia merepresi semua hasrat insesnya, mengidentifikasi diri denga figur ibu dan membangun superego untuk mengecek dirinya terhadap impuls dan hasrat terlarang. Kalau begitu sama dengan anak laki-laki, anak perempuan menghibur dirinya dan kemudian meninggalkan fantasi-fantasi persaingan  dan inses.

4. Tahap Latensi

Dengan terciptanya pertahanan yang kuat terhadap perasaan-perasaan odipal, anak memasuki priode latensi, yang bertahan sekiar usia 11 tahun. Fantasi-fantasi seksual dan agretifitas sekarang tersembunyi dalam-dalam, di dalam tak kesadarannya. Freud melihat bahwa pada masa ini replesi seksualitas cukup luas, karena tidak hanya mencakup perasaan dan memori odipal, namun juga perasaan odan anal. Karena impuls dan fantasi yang berbahaya sudah tersimpan, anak tidak begitu terganggu dengan hal ini, dan periode laten relatif berjalan lembut. Anak sekarang bebas mengarahkan kembali energinya pada pengejaran pengejaran konkret yang bisa diterima secara sosial, seperti olahraga, permainan dan aktivitas-aktivitas intelektual.

5. Pubertas ( Tahap genital )

Pada fase pubertas, dimulai sekitar usia 11 tahun untuk anak perempuan, dan 13 tahun untuk anak laki-laki, energi seksual sudah terbentuk dalam kekuatan penuh orang dewasa dan mengancam untuk membobol pertahanan yang sudah dibangun selama ini. Sekali lagi, perasaan-perasaan odipal mengancam untuk membobol keluar menuju kesadaran, dan sekarang anak-anak muda ini sudah cukup besar untuk membawanya ke dalam realitas.

Freud mengatakan bahwa dari pubertas kedepan, tugas terbesar individu adalah ”membebaskan diri dari perwalian orangtua”. Bagi remaja laki-laki, ini artinya membebaskan ikatan dengan ibu dan menemukan wanita yang disukainya. Remaja pria juga harus menyelesaikan persaingannya dengan ayah dan membebaskan diri dari dominasi ayah atas dirinya. Untuk remaja putri, tugasnya sama, dia harus bisa memisahkan diri dari perwalian orangtua dan membangun hidupnya sendiri. Namun Freud mencatat  bahwa indepedensi tidak pernah datang dengan mudah. Selama bertahun-tahun sebelumnya kita sudah membangun ketergantungan yang kuat degan orangtua, dan sangat menyakitkan jika harus memisahkan diri secara emosional dari mereka. Untuk sebagian besar dari kita, tujuan indepedensi yang sejati tidak pernah bisa diraih seutuhnya.

ANA FREUD TENTANG MASA REMAJA

Ana Freud adalah putri dari Freud yang memberikan banyak kontribusi bagi study psikoanalisis tentang masa remaja. Titik awal Anna Freud sama dengan Freud: pengalaman masa remaja terhadap munculnya perasaan-perasaan Odipal yang membahayakan. Yang khas disini adalah anak muda sadar akan kebencian yang semakin besar terhadap orang tua dari jenis kelaminnya yang sama. Perasaan-perasaan inses terhadap orangtua berjenis kelamin beda masih tetap tak tersadari.

Anna Freud menyatakan bahwa ketika anak remaja mengalami kemunculan pertama kali perasaaan –perasaan Odipal ini lagi, impuls pertama mereka adalah melarikan diri. Mereka merasakan tegangan dan kecemasan terhadap kehadiran orangtua dan merasa aman jika terpisah dari mereka. Beberapa remaja biasanya melarikan diri dari rumah pada waktu-waktu ini, sementara yang lain masih tetap tinggal dirumah “mengikuti tingkah laku orang kebanyakan”. Mereka menutup diri dikamar dan merasa nyaman hanya jika berkumpul dengan teman-teman sebayanya.

Para remaja juga berusaha mempertahankan diri terhadap perasaan dan impuls mereka, tanpa mempedulikan objek-objek tempat mereka dilekatkan. Salah satu strateginya adalah Asketisme– berusaha mengabaikan semua kesenangan fisik. Anak laki dan perempuan bisa melakukan diet makanan yang sangat ketat Asketisme– berusaha mengabaikan semua kesenangan fisik, menolak kesenangan dari pakaian-pakaian yang menarik, tarian, musik, atau apapun yang menyenangkan atau sembrono-atau berusaha menguasai tubuh melalui latihan-latihan fisik yang melelahkan.

Pertahan lain terhadap impuls-impuls adalah intelektualisasi. Para remaja berusaha mengubah masalah seks dan agresi menjadi bentuk intelektual dan abstrak. Dia bisa mengkonstruksikan teori-teori elaboratif tentang hakikat cinta dan keluarga, tentang kebebasan dan otoritas. Meskipun teori-teori remaja bisa brilian dan orisionil, namun secara tersamar mereka memadukannya dengan upaya-upaya mengatasi masalah Odipal ditataran intelektual murni. Anna Freud juga mengamati  kalau gangguan masa remaja, pertahanan diri dan strategi yang penuh keputusasaan diperiode ini merupakan hal yang normal yang bisa kita prediksi. Biasanya dari tidak merekomendasikan remaja menjalani psikoterapi. Sebaliknya, Anna malah berfikir kalau remaja mestinya diberikan ruang dan waktu tersendiri untuk mencari solusinya. Namun begitu orang tua juga memerlukan bimbingan, karena terdapat “sejumlah situasi di dalam hidup yang lebih sulit mereka tangani ketimbang kesulkitan yang ditanggung remaja yang berusaha membebnaskan dirinya.

BAGIAN-BAGIAN JIWA

Setelah membahas tahap-tahap perkembangan mental manusia menurut Freud, selanjutnya akan dibahas tentang bagian-bagian jiwa. Konsep Freud yang paling terkenal adalah mengenai id, ego, dan superego.

Id

Id adalah bagian dari kepribadian yang awalnya disebut Freud “ketidaksadaran”. Ini adalah bagian kepribadian paling primitif, mengandung refleks-refleks dan dorongan-dorongan biologis dasariah. Freud membayangkan id seperti lubang yang “penuh kesenangan menggelegak”, semuanya saling mendesak untuk menyembul keluar. Jika diselidiki motivasinya, maka id bisa dikatakan didominasi oleh prinsip kesenangan. Tujuannya adalah memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit. Jadi id adalah sumber dan tempat dari dorongan biologis.

Bayi yang baru lahir dikendalikan oleh id, yang bekerja di bawah prinsip kesenangan (pleasure principle) dorongan untuk mencari kepuasan kebutuhan dan hasrat dengan segera. Ketika kepuasan tertunda, sebagaimana ketika bayi harus menunggu  untuk diberi makan , mereka mulai memandang dirinya terpisah dari dunia luar

Awalnya, aspek kejiwaan bayi didominasi hampir seluruhnya oleh id. Bayi sangat gelisah dengan sedikit saja ketidaknyamanan di tubuhnya sehingga berusaha melepaskan semua tegangan itu secepat mungkin. Contohnya, mereka harus menunggu sekian waktu untuk bisa diberi makan. Yang dilakukan id di titik ini kemudian adalah menghalusinasikan sebuah bayangan mengenai objek yang diinginkan, sehingga dia bisa memuaskan dirinya untuk sesaat. Dan kita dapat melihat fantasi-fantasi pemenuhan-keingian seperti ini bekerja ketika seseorang yang kelaparan menghalusinasikan bayangan makanan, atau ketika pemimpi yang kehausan memimpikan segelas air di tangan sehingga dia tidak perlu lagi bangun dan mengambil gelas sebenarnya. Fantasi-fantasi demikian adalah contoh utama dari yang disebut Freud proses berpikir primer.

Ego

Jika kita terus diatur oleh id, maka kita tidak akan hidup lama. Untuk bertahan, kita tidak bisa bertindak semata-mata di atas dasar halusinasi atau sekedar, mengikuti impuls-impuls. Kita harus belajar menghadapi realitas. Ego adalah mekanisme untuk beradaptasi terhadap realitas. Karena itu ego merepresentasikan akal-budi atau akal sehat, mulai berkembang pada tahun-tahun pertama kehidupan dan bertindak atas dasar prinsip realitas, mencari cara yang dapat diterima dalam pemuasan kebutuhan. Karena itu, ego biasanya menunda energy psikis yang berasal dari id sampai ia menemukan jalan yang paling dapat diterima oleh realitas. Tujuan ego adalah menemukan cara yang realistis utnuk memuaskan id yang dapat diterima oleh super ego yang berkembang pad usia 5 atau 6 tahun.

Contohnya, seorang anak laki-laki segera belajar bahwa dia tidak bisa mengambil makanan karena terdorong secara impulsif di mana pun dia melihat makanan. Jika dia mengambil makanan itu dari seorang anak yang lebih besar, maka dia akan kena pukul. Dia harus belajar memahami realitas sebelum bertindak. Bagian-bagian jiwa yang menunda impuls secara langsung dan memahami realitas seperti ini disebut ego. Ego bertindak sebagai mediator antara id dan superego.

Freud mengatakanbahwa jika id “berisi hasrat-hasrat yang tak terjinakkan”, maka ego “berisi penalaran dan pemahaman yang tepat”. Karena ego memahami realitas, Freud menyebutnya mengikuti prinsip realitas. Ego berusaha menekan tindakan sampai dia memiliki kesempatan untuk memahami realitas secara akurat, memahami apa sudah terjadi di dalam situasi-situasi serupa di masa lalu, dan membuat rencana-rencana yang realistik ke masa depan. Cara berpikir yang menggunakan penalaran seperti ini disebut proses berpikir sekunder, mencakup apa yang umumnya kita kenal sebagai proses kognisi atau perseptual. Awalnya fungsi ego ini berkaitan dengan tubuh atau aspek motorik. Contohnya, ketika anak pertama-tama belajar berjalan, dia menahan impuls untuk melakukan gerakan acak, memahami di mana dia harus menghindari tabrakan, dan melatih control ego atasnya.

Freud menekankan bahwa meskipun ego berfungsi secara independen dari id, namun dia meminjam semua energinya dari id. Dia membayangkan hubungan ego dan id  seperti penunggang dan kudanya. “Kuda menyediakan energy gerak, sementara penunggang memiliki hak untuk memutuskan tujuan  dan mengarahkan gerakan hewan yang sangat kuat ini”.

Superego

Ego kadang-kadang disebut sebagai satu di antara sejumlah “system kontrol” kepribadian (Redl dan Wineman, 1951). Ego mengontrol hasrat yang buta dari id untuk melindungi organisme dari luka. Kita sudah menyebutkan bagaimana anak laki-laki harus belajar menahan impuls untuk mengambil makanan sampai dia bisa menentukan apakah tindakan ini aman untuk dilakukan  di dalam realitas. Namun kita juga mengontrol tindakan kita karena alasan-alasan lain. Kita menahan diri dari tindakan mengambil barang milik orang lain karena alasan-alasan lain. Kita menahan diri dari tindakan mengambil barang milik orang lain karena kita percaya tindakan seperti itu keliru secara moral. Standar kita tentang benar dan salah mendasari system kontrol kepribadian yang kedua, disebut superego. Menurut Miller dalam psikologi perkembangan anak, superego mewakili nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat yang disampaikan oleh orang tua atau anggota masyarakat lainnya.

Freud menulis tentang superego seolah-olah dia mengandung dua bagian. Salah satu bagian disebutnya suara hati. Ini adalah bagian superego yang bersifat menghukum, negatif dan kritis  yang mengatakan pada kita apa yang tidak boleh dilakukan dan menghukum kita dengan rasa bersalah jika kita melanggar tuntutannya. Sedangkan bagian yang lain disebutnya ego ideal, karena terdiri atas aspirasi-aspirasi positif. Tapi ego ideal bisa juga lebih abstrak. Dia berisi ideal-ideal positif kita seperti keinginan untuk menjadi lebih murah hati, berani, atau berdedikasi tinggi bagi prinsip-prinsip keadilan dan kebebasan.

Peran utama ego

Di dalam analisis terakhir Freud, kemampuan kita menghadapi hidup –yaitu keseimbangan jiwa kita- terletak pada kemampuan ego menghadapi beragam tekanan yang menimpanya. Lebih spesifiknya, ego adalah bagian eksekutif yang harus berfungsi seperti tiga “penguasa tiranik” –id, realitas dan superego. Ego akhirnya harus memenuhi tuntutan-tuntutan biologis id, namun dengan suatu cara yang menghargai  realitas eksternal dan tidak mengganggu kemampuan superego mempersepsi. Tugas ini sulit karena ego pada dasarnya lemah. Seperti disebutkan di atas, ego sendiri tidak memiliki energy dalam dirinya selain meminjamnya dari id.

Di kebanyakan tulisan Freud, ego tampaknya menganggap id dan superego sebagai musuh, petarung kuat yang bagaimanapun harus ditaklukan dan dikendalikan. Namun begitu Freud juga mengakui kebutuhan vital ego terhadap id dan superego, dan beberapa pengikut Freud yang paling getol telah mengelaborasikan dan cara-cara positif ego memanfaatkan bagian-bagian jiwa ini.

Mimpi

Freud sangat tertarik kepada mimpi, yang baginya bisa mengatakan banyak hal kepada kita tentang cara kerja ketaksadaran yang misterius. Namun di dalam mimpi, ketiga bagian jiwa ini sebenarnya bekerja semuanya.

Mimpi dimulai sebagai keinginan-keinginan dari id. Contohnya, seorang anak yang lapar bermimpi bahwa dia sedang menyantap makanan lezat.mimpi seperti itu cukup lugu dan langsung mengarahkan keinginan id. Namun kebanyakan harapan id bertentangan dengan standar-standar superego, jadi ego memerlukan sejumlah distorsi atau samaran terhadap keingingan asli tersebut sebelum mengizinkan mimpi muncul ke permukaan menuju kesadaran.

Di dalam psikoanalisis, pasien diminta menceritakan dengan bebas mimpi-mimpinya. Dia diminta mengatakan apa saja yang muncul dibenaknya terkait dengan setiap aspek mimpi tersebut. Tentu saja pasien tida merasa kesulitan untuk berasosiasi bebas, karena tidak harus menyensor pikiran dan fantasi yang “immoral” terlebih dahulu, sedangkan psikoanalisisnya dapat menggunakan proses tersebut untuk melihat makna yang melandasi mimpi-mimpinya tersebut

Mekanisme Pertahanan Diri

Ancaman dan bahaya yang datang dari id dan lingkungan secra kosntan dapat menimbulkan  kecemasan. Sedapat mungkin ego menanggulanginya secara realistis dengan menggunakan keterampilan pemecahan masalah yang dimilikinya. Namun apabila kecemasan yang dialami sangat berlebihan sehingga mengancam akan melanda ego, maka dipergunakan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) untuk menghadapinya. Mekanisme pertahanan diri akan mengontrol dan mengurangi kecemasan dengan cara mengubah-ubah realitas. Walaupun cara ini kurang tepat dan hanya akan memuaskansebagian dari dorongan yang menuntut pemuasan, namun bagi individu yang sedang cemas keadaan ini lebih menguntungkan daripada tidak. Berikut adalah beberapa mekanisme pertahanan diri yang banyak digunakan.

1. Regresi

Regresi adalah suatu keadaan dimana seseorang kembali pada tingkat perkembangan sebelumnya. Jadi kembali pada ciri-ciri perilaku pada tingkat usia sebelumnya. Misalnya anak sudah duduk di Taman Kanak-kanak tetapi kembali menghisap jari dan mengompol. Bila krisis telah berlalu dan kecemasan hilang biasanya perilaku yang kurang sesuai ini akan menghilang.

2. Proyeksi

Menyalahkan orang lain atau objek lain di lingkungannya atas pikiran atau perasaan yang ada pada dirinya sendiri yang sebetulnya tidak dapat diterima olehnya. Contohnya, seorang anak Taman Kanak-kanak yang iri hati kepada adiknya, tetapi malah mengatakan bahwa adiknya yang iri hati.

3. Reaksi Formasi

Mengganti perasaan yang dapat menimbulkan kecemasan dengan perasaan yang sebaliknya. Contohnya: Budi seorang anak Taman Kanak-kanak, mengatakan bahwa ia tidak mau bermain dengan Andi karena ia tidak menyukai Andi. Padahal sebetulnya ia suka bermain dan berkawan dengan Andi tetapi takut kalau-kalau Andi tidak menyukainya dan tidak mau bermain bersamanya.

4. Represi

Menghambat pikiran-pikiran yang mencemaskan agar tidak muncul ke tingkat kesadaran. Misalnya, untuk menghindari kecemasan kita melupakan suatu peristiwa yang menyakitkan bagi kita. Kita menganggap bahwa kalau kita melupakan peristiwa tersebut, maka peristiwa itu tidak akan menyakiti kita lagi.

5. Sublimasi

Memberi kesempatan untuk menyalurkan dorongan-dorongan seksual atau agresifitas ke dalam kegiatan yang secara sosialdapat diterima. Misalnya melalui kegiatanbelajar, bekerja, olah raga dan hobi.

6. Fiksasi

Yaitu bula salah satu komponen dalam perkembangan kepribadian seseorang terhenti. Fiksasi dapat muncul apabila suatu perilaku itu dirasa sangat memuaskan sehingga si anak mempertahankannya. Misalnya anak sangat menyukai minum susu dari botol dengan menggunakan dot sehingga sukar melepaskan kebiasaan tersebut walaupun usianya sudah lebih besar.

TEORI PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ERIC H. ERIKSON

Teori perkembangan kepribadian (pertumbuhan ego) yang dikemukakan Erik Erikson membawa aspek kehidupan sosial dengan menganggap fungsi budaya lebih realistis karena didasarkan pada tiga alasan:

1. Ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia.

2. Perubahan terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan.

3. Menggambarkan secara eksplisit gabungan pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.

Teori Erikson ini banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia dilihat dari pertumbuhan egonya. Dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme sehingga menjadi matang secara fisik dan psikologis. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic, yaitu :

(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.

(2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.

Tahapan perkembangan kepribadian/psikososial manusia[1] menurut Erikson :

Developmental Stage Basic Components
Infancy (0-1 thn)Early childhood (1-3 thn)Preschool age (4-5 thn)

School age (6-11 thn)

Adolescence (12-10 thn)

Young adulthood ( 21-40 thn)

Adulthood (41-65 thn)

Senescence (+65 thn)

Trust vs MistrustAutonomy vs Shame, DoubtInitiative vs Guilt

Industry vs Inferiority

Identity vs Identity Confusion

Intimacy vs Isolation

Generativity vs Stagnation

Ego Integrity vs Despair

Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan) à 0 – 1 tahun (infancy)

Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.

Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk menggantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya. Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.

Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu à 1 – 3 tahun (early childhooh)

Tahap pertama ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.

Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan.

Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman  baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan  yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima kontrol dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain. Oleh karena itu orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini harus “tegas namun toleran”, tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya.

Keseimbangan diperlukan di sini karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.

Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.

Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.

Inisiatif vs Kesalahan 4 – 5 tahun (preschool age)

Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.

Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.

Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.

Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.

Kerajinan vs Inferioritas 6 – 11 tahun (School age)

Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.

Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.

Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.  Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.

Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.

APLIKASI PSIKOANALISIS

Ranah aplikasi psikoanalisis cukup bevariasi, yang terpenting diantaranya aplikasi di bidang psikopatologi, psikoterapi, psikosomatis, dan pengasuhan anak. Namun pada dasarnya psikoanalisis dapat memberi sumbangan dalam berbagai bidang kemanusiaan, seperti masalah persekolahan, narapidana, kemiliteran, advertensi, sosial-antropologi, kreativitas, seni, dan sebagainya.

Psikopatologi

Psikoanalisis memahami psikopatologi sebagai masalah perkembangan, akibat gangguan semasa melewati tahap-tahap psikoseksual. Perkembangan kepribadian dipandang sebagai sesuatu yang kumulatif, sehingga gangguan pada masa awal perkembangan akan menjadi peristiwa traumatik yang pengaruhnya tersa sampai dewasa. Orang dewasa yang fondasi kepribadiannya lemah bisa menjadi mengalami psikopatologi. Berikut dinamika jiwa psikoanalisis pada beberapa jenis psikopatologi:

1. Histeria, disebut juga conversion disorder: kelumpuhan tanpa sebab-sebab fisik, ini terjadi karena adanya transformasi dari konflik-konflik psikis menjadi malfungsi fisik. Contoh: seorang remaja menjadi tuli karena ayahnya sangat keras dalam mengkritik/memarahi tanpa alasan yang jelas.

2. Fobia, ketakutan yang sangat tidak pada tempatnya, ini terjadi karena dampak dari kecemasan yang dialihkan, bisa kecemasan yang berkaitan dengan impuls seksual atau kecemasan akibat peristiwa traumatik. Contoh: seorang wanita yang fobia naik kapal, karena pernah mengalami perkosaan di sebuah kapal.

3. Obsesi-kompulsi, mempunyai tema yang sangat bervariasi. Tema kebersihan, penyakit, kekejaman, dilatar belakangi oleh konflik seksual pada fase anal. Contoh: karena buang air kecil sembarangan seorang ayah menakut-nakuti anaknya dengan pisau yang kebetulan sedang dibawanya, setelah anak ini dewasa dan menjadi ayah yang terobsesi membunuh anak yang dicintainya. Dia sembunyikan semua senjata tajam di tempat tertentu, dan terus menerus dicek-nya (kompulsi) apakah pisau itu masih berada di sana.

4. Depresi: perasaan tidak mampu, tidak kompeten, kehilangan harga diri, dan merasa bertanggung jawab terhadap semua kejadian buruk (pada dirinya dan lingkungannya). Ini terjadi karena kehilangan cinta pada Oedipus complex, yyang membuat orang marah pada diri sendiri, karena dia kehilangan cinta dari orang tua, teman, bahkan dari negaranya.

5. Ketagihan obat/alkohol: Interpretasi psikoanalisis terhadap ketagihan obat/alkohol bervariasi. Freud menganggap adiksi dilatarbelakangi oleh insting mati. Pakar lain mengatakan adiksi menjadi salah satu cara mengalahkan kontrol superego. Orang menjadi bebas memperoleh apa yang diinginkannya (walau hanya sebentar). Ada juga yang menganalisis botol minuman sebagai representasi dari buah dada ibu pada fase oral.

Psikoterapi

Aplikasi psikoanalisis yang terpenting adalah psikoterapi. Ini bisa dipahami karena pada dasarnya Freud mengembangkan teori dari praktik psikoterapi yang dilakukannya. Tujuan dari psikoterapi bukan semata-mata menghilangkan sindrom yang tidak dikehendaki, tetapi terutama bertujuan memperkuat ego sehingga mampu mengontrol impuls insting, dan memperbesar kapasitas individu untuk mencintai dan berkarya. Klien belajar bagaimana mensublimasi impuls agresi dan impuls seksual, belajar bagaimana mengarahkan keinginan dan bukan malahan diarahkan keinginan. Adapun teknik yang dipakai dalam psikoterapi adalah sebagai berikut:

1. Asosiasi Bebas: Klien selama sesi terapi mengatakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya, tidak peduli hal itu remeh, memalukan, tidak logis, dan atau kabur. Dari ungkapan kesadaran tanpa sensor ini terapis mencoba memahami masalah kliennya. Ada tiga asumsi yang menjadi dasar free association: 1). apa saja yang dikatakan dan dilakukan seseorang sekarang, mempunyai makna dan berhubungan dengan perkataan dan perbuatannya di masa lalu, 2). Materi taksadar berpengaruh penting terhadap tingkah laku, dan 3). Materi taksadar dapat dibawa ke kesadaran dengan mendorong ekspresi bebas setiap kali mereka ke dalam pikiran. Asumsi ini menganggap dengan teknik asosiasi bebas, terjadi asosiasi antara even nyata dengan gambaran mental (ingatan dan mimpi) yang dapat mengungkap materi yang direpres. Jadi asosiasi bebas tidak benar-benar bebas, tetapi secara khusus membuat hubungan-hubungan, dan alurnya ditentukan oleh proses taksadar yang aktif saat itu. Menurut Freud, walaupun pasien menghalangi topik tertentu dan berusaha menyembunyikannya, suatu ketika terbentuk rantai asosiasi yang membuat terapis dapat memahami konflik mental dan emosional pasien itu.

2. Analisis mimpi: Ketika tidur, kontrol kesadaran menurunn dan mimpi adalah ungkapan isi-isi taksadar karena turunnya kontrol kesadaran itu. Klien melaporkan apa yang dimimpikannya dalam asosiasi bebas, menjadi bahan yang kaya untuk dianalisis terapis.

3. Freudian slip, meliputi: salah ucap, salah membaca, salah dengar, salah meletakkan objek, dan tiba-tiba lupa. Semuanya itu menurut Freud bukan kejadian kebetulan, tetapi kejadian yang dipengaruhi oleh insting ketidaksadaran. Analisis akan dapat mengungkap gambaran mental yang ada dibalik slip itu.

4. Interpretasi: mengenalkan kepada klien makna yang tidak disadarinya dari pikiran, perasaan dan keinginannya.

5. Analisis resistensi: resistensi adalah mekanisme pertahanan klien, dan analisis akan mengungkap unsur yang penting dari masalah yang ingin disembunyikan klien.

6. Transference: pengungkapan isi-isi ketidak sadaran yang tersimpan sejak anak-anak, dengan memakai terapis sebagai medianya.

7. Working through: terus menerus menginterpretasi dan mengidentifikasi masalah klien, mengulang resistensi dan tranferensi, pada seluruh aspek pengalaman kejiwaan.

Psikosomatis

Pada histeria, gangguan fisiknya adalah kelumpuhan, sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan tingkah laku. Psikosomatis adalah patologi organik yang diawali atau kemudian gejalanya diperberat oleh stimulasi lingkungan nonpatologik. Gangguan alergi, eksim, asma, diare yang psikosomatis, ketika diobati memakai mediko-kimia dapat sembuh, namun tidak sempurna atau mudah kambuh dengan sebab yang tidak berkaitan dengan penyakit itu, dan membantu pengobatan dengan psikoterapi agar kesembuhan menjadi permanen.

Pengasuhan anak

Perhatian terhadap pertumbuhan anak sampai usia balita, secara langsung atau tidak langsung merupakan sumbangan penting dari psikoanalisis. Konsep seksual infantil dan odipus kompleks memang banyak mendapat kritikan; namun bahwa perkembangan masa kecil merupakan pondasi kepribadian, umumnya diterima, dengan berbagai variasi. Paling tidak, psikoanalisis mendorong orang tua untuk menghindari kemungkinan terjadi frustasi, jangan ada konflik, agar terhindar dari patologi psikis. Lakukan toilet training secara lembut, lakukan penanaman moral secara bijak, lakukan pengenalan peran seksual pada saat yang tepat, agar kepribadian anak berkembang sempurna.

KESIMPULAN

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sasaran dari psikoanalisis adalah ”untuk memahami diri sendiri”. Kita adalah pemimpin, pemandu bagi diri sendiri untuk menjalani hidup di dunia ini, untuk membuat keputusan-keputusan, untuk mempunyai prioritas, untuk memiliki nilai. Jika diri ini memutuskan dan bertindak sesuatu yang tidak dipahami sebagaimana mestinya, maka tindakan dan keputusan ini akan terlaksana setengah membabi buta atau dalam kondisi setengah sadar.

Manusia merupakan bagian dari kosmos ini. Oleh karena itu, eksistensi dari aspek lahir manusia berpengaruh pada kestabilan dunia ini. Sedangkan aspek lahir itu sendiri dipengaruhi oleh kesadaran bathin yang tak terlihat. Ketika kita telah mencapai ranah yang tak terlihat, kita akan mendapati energi dalam kondisi termurninya. Karena kekuatan terhebat di alam adalah kekuatan yang tak terlihat.

DAFTAR PUSTAKA

Crain, Willliam, 2007. Teori Perkembangan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Hadis, F.A, 1996. Psikologi Perkembangan Anak. Depdikbud: Jakarta.

Santrock, J. W, 2007. Perkembangan Anak (edisi 11 Jilid 1). Erlangga: Jakarta

Gunarsa, Singgih, 1997. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. PT. BPK Gunung Mulia: Jakarta.

Fromm, Erich, 2002. The Art of Listening. Jendela: Yokyakarta.

Seefeldt C.& Wasik, B, 2008. Pendidikan Anak Usia Dini. Indeks: Jakarta.

Internet


[1] “Childhood and Society”, 1963, Erikson